Search

Merayakan Maulid

Umat Islam Indonesia merayakan Maulid Nabi Muhammad Saw. (Republika)

Oleh: Dr. Muhsin Labib*

Merayakan hari kelahiran seorang pahlawan atau tokoh adalah ekspresi manusiawi apresiasi atas jasanya, apalagi memperingati kelahiran manusia suci dan utusan termulia. Tak perlu dalil teks dan teori rumit untuk mengafirmasi proposisi sederhana ini.

Pada dasarnya setiap individu Muslim dalam beragam kelompok dan aliran mencintai Nabi Muhammad tanpa kecuali. Artinya, siapa pun yang tak menghormatinya bukanlah umatnya.

Advertisements

Memperingati setiap momen penting dalam sejarah hidup Nabi Saw, termasuk kelahirannya, adalah manifestasi penghormatan.

Umat Islam pengikut Nabi Muhammad Saw tersebar ke aneka suku dan bangsa dan menempati mancanegara dan wilayah.

Setiap bangsa dan suku di setiap daerah dan negara punya tradisi dan cara khas sesuai proses yang mengonstruksinya.

Namun perlu dipahami bahwa cara mengungkapkan penghormatan tidak seragam karena perbedaan budaya dan watak.

Di Indonesia dan sejumlah negara sebagian besar umat Islam menyelenggarakan peringatan kelahiran Nabi Saw dengan prosesi khas seperti membaca teks Arab narasi sejarah kelahiran beliau disertai sejumlah teks riwayat karya beberapa sastrawan dan sejarawan ternama, antara lain Al-Habsyi, Al-Barzanji, Ad-Diba’i juga Al-Bushiri dan Al-Azab dalam rangkaian tata cara khas seperti qiyam beriring rebana dan lainnya. Namun di banyak negara peringatan maulid Nabi diselenggarakan sesuai tradisi masyarakatnya masing-masing. Sebagian bahkan menyelenggarakannya dengan pawai atau lainnya. Ada pula yang memperingatinya dengan berbagi makanan dan minuman.

Sebenarnya tidak ada tata cara baku dan prosesi tunggal dalam peringatan kelahiran Nabi Saw. Setiap orang dan kelompok berhak memilih caranya masing-masing dalam penyelenggaraan maulid.

Boleh jadi pembid’ahan tidak ditujukan kepada peringatan kelahiran Nabi Saw tapi ditujukan kepada pembakuan satu cara tertentu dalam penyelenggaraannya. Namun bila pembid’ahan memang ditujukan kepada semua aktivitas peringatan maulid dengan ragam prosesinya, maka itu jelaslah paradoks dan ironi. Pengklaim pengikut seorang tokoh tak mungkin mengharamkan (membid’ahkan) penghormatan kepada tokoh yang diikutinya.

Andai seorang pemimpin bijak berkata kepada para pengikutnya, “tak perlu merayakan ulang tahunku”, apakah mereka menganggap perkataan itu sebagai perintah absolut sehingga menganggap perayaan hari kelahirannya sebagai penentangan terhadapnya ataukah itu adalah memastikan perkataan itu sebagai ekspresi kerendahan hati dan keagungannya yang justru membuat para pengikutnya makin mencintai dan memuliakannya dengan ragam cara, termasuk merayakan hari lahirnya? (*Cendekiawan Muslim)

Advertisements

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
POPULER BULAN INI
Advertisements
INDEKS BERITA