Oleh: Dr. Muhsin Labib*
Republik Islam Iran terus bertahan dan bahkan menguat dengan visi resistensi vis-a-vis imperialisme dan zionisme. Sebaliknya, para monarki Teluk justru kian merapat ke bahu imperialisme dan zionisme untuk sekadar dijadikan budak, proksi, sekaligus kaki tangannya di Asia Barat (sudah saatnya istilah resisten ini digunakan untuk menggantikan istilah “Timur Tengah” yang bertendensi orientalisme dan kolonialisme Barat).
Sebagaimana majikannya, para monarki otoriter itu terkenal hipokrit sehingga kerap mencipta dilema bagi Iran yang dipaksa untuk melawan kejahatan implisit maupun eksplisit mereka. Namun, semua agresi, intrik, dan manipulasi kotor para monarki tribal itu selalu sukses dipatahkan Iran. Seluruh keberhasilan itu pun menjadikan pengaruh ideologis Iran kian meluas dan menguat di dunia Islam, bahkan di panggung internasional. Fakta ini membuat rezim otoriter Saudi yang secara domestik sedang diguncang krisis legitimasi, benar-benar panik dan pusing tujuh keliling.
Blokade ekonomi AS sampai tingkat maksimum tak kunjung efektif melemahkan Iran lantaran kreasi cerdasnya, seperti membangun aliansi strategis dengan Rusia dan China. Isu nuklir yang dijadikan kartu truf mengisolasi Iran bukan hanya gagal total, melainkan malah jadi bumerang yang menghantam AS dan konco-konconya sendiri. Proyek wahabisasi dunia dan kampanye global penyesatan Syiah juga kandas di mana-mana, termasuk di Indonesia.
Rentetan kegagalan telak tersebut tak ayal menjadikan rezim keturunan Bani Quraidhah itu kalap dan, seperti biasa, berbuat ekstrem. Di benak rezim Saudi yang terkenal cetek dan keruh, hanya tersisa satu tujuan: eksistensinya sebagai kaki tangan kolonialisme yang kini makin goyah dan dominasinya di kawasan yang hanya delusional itu tetap bertahan. Akibatnya, mereka sama sekali tak akan mempertimbangkan efek destruktifnya bagi umat Muslim.
Berikut daftar kekalapan dan ekstrimisme monarki Saudi yang membuahkan petaka dunia:
1. Mencipta kawanan teroris Alqaeda (anasir palsu dari kelompok Taliban di Afghanistan) sebagai simbol pejuang Islam (mujahidin) yang berani melawan pemerintah AS melalui drama penghancuran gedung kembar WTC di Manhattan yang dikenal dengan tragedi 9/11. Hari ini, drama itu makin terbongkar kepalsuannya. Aksi teror Alqaeda ditengarai merupakan proyek orang dalam. Selain untuk memberi legitimasi bagi pemerintah AS menginvasi negara lemah dengan dalih “perang melawan teror”, drama 9/11 juga berfungsi untuk membajak gerakan perlawanan legal anti zionis dan imperialis di seluruh dunia, terlebih di Asia Barat. Makanya, figur-figur “mujahidin” yang mereka ciptakan dan promosikan berasal dari Asia Barat, seperti Osamah bin Laden, Ayman Zhawahiri, dan Molla Omar. Para pion terorisme itu pun diorbitkan sebagai ikon pemimpin dan ulama ke tengah umat Islam untuk mengaburkan ikon-ikon pemimpin umat dan ulama Islam sebenarnya, seperti Imam Khomeini, Imam Ali Khamenei, Sayyid Hasan Nasrallah, dan Syaikh Buthi (ulama Sunni senior Suriah yang syahid dibom teroris ISIS di masjidnya saat mengajar).
2. Gagal dengan Alqaeda, terorisme atas nama agama lalu didongkrak hingga ke titik ekstrem dengan membentuk kawanan yang jauh lebih bengis dan brutal bernama ISIS. Targetnya adalah menggunting jalur geografis dari poros resistensi dengan melepaskan ribuan oknum ekstremis Muslim dari pelbagai pelosok dunia (yang direkrut dan diinjeksi kepalanya oleh ilusi khilafah-khilafahan dan dogma takfirisme) ke Irak, Suriah, Yaman, Lebanon untuk mendestabilisasi kawasan sekaligus meredupkan pengaruh Iran.
3. Mengagresi dan bernafsu menjajah Yaman demi mendudukkan kembali rezim bonekanya di tampuk kekuasaan. Sebaliknya, rakyat justru kian menyadari pentingnya kedaulatan dan kemerdekaan bangsa dan negaranya sehingga antusias mendukung visi dan kubu resistensi yang terinspirasi dari gerakan Hezbollah di Lebanon.
4. Diam-diam intensif membangun koneksi, kerja sama, dan aliansi strategis dengan musuh utama Iran, yaitu rezim kolonial zionis “Israel”, dalam bidang intelijen, militer, ekonomi, media, dan lainnya. Keduanya punya agenda yang sama, yaitu melawan Iran serta melenyapkan pengaruhnya di kawasan dan di dunia Islam.
5. Mendorong rezim-rezim monarki sekutunya di kawasan Teluk dan Asia Barat untuk menjalin hubungan diplomatik secara terbuka dengan rezim ilegal zionis “Israel” seraya mempengaruhi opini khalayak dunia Islam dan Arab bahwa musuh tunggal mereka hanyalah Republik Islam Iran yang distigma sebagai hegemoni Persia, Majusi, dan seterusnya.
6. Berkomplot dengan pemerintah AS, rezim ilegal zionis “Israel”, pemerintah Turki, dan NATO dalam usaha sistematis menghancurkan Pemerintah legal Bashar Assad di Suriah dengan mendanai perekrutan, pelatihan, dan pengiriman para kriminal dan teroris yang dibekali senjata ringan hingga berat ke Suriah.
7. Mencampuri dan melancarkan tekanan politik, diplomatik, dan ekonomi terhadap Lebanon demi melenyapkan eksistensi dan peran politik Hezbollah. Modusnya dengan mendukung faksi politik dan militer tertentu yang ditugaskan untuk beraksi teror dan menyulut ketegangan sektarian agama dan sekte demi memancing reaksi keras Hezbollah dan para pendukung resistensi agar terjerumus dalam kubangan perang saudara. Situasi itu diharapkan akan memaksa Pemerintah Lebanon mengkhianati konstitusi dan demokrasi dengan mengeluarkan Hezbollah dari kancah politik domestik. Agenda jahat itu juga dibumbui oleh rangkaian sanksi AS terhadap anasir Hezbollah dan kasak-kusuk berbahaya agen-agen bayaran Saudi demi melukiskan Hezbollah sebagai biang instabilitas politik dan krisis ekonomi.
8. Menggerogoti kedaulatan nasional dan politik Irak dengan menghasut serta mengeraskan sentimen sektarian kelompok Muslim Sunni, juga Kurdi, serta mengucurkan bantuan finansial dan senjata kepada para jokernya. Seraya itu, diciptakan pula friksi dan konflik yang tajam di antara faksi-faksi politik yang berafiliasi dengan kelompok Muslim Syiah demi melemahkan blok resistensi yang direpresentasi oleh Hashd Shabi (satuan militer sukarelawan penyelamat Irak dari terkaman teroris ISIS/Daesh yang terbentuk berkat fatwa Ayatullah Sistani dan efektif sebagai pasukan anti teror berkat bantuan Iran melalui figur Jendral Qasem Soleimani beserta brigade Qudsnya) yang juga difitnah secara rasis sebagai proksi Iran untuk menancapkan hegemoninya di Irak. Pemalsuan hasil pemilu legislatif yang ditolak beberapa faksi politik diyakini oleh banyak pihak sebagai buah koordinasi AS dan Saudi dengan elit pengendali geng jalanan yang menguasai sebagian Baghdad dan pusara suci di Karbala dan Samarra’.
Namun, ternyata sejarah berkata lain. Sebagian besar intrik yang menguras triliunan dolar itu justru berubah menjadi bumerang yang berbalik mengincar tuannya. Pelbagai akibat negatif multidimensional kini siap melumat rezim Saudi dan menguburnya di liang lahat sejarah. Alih-alih rubuh, Suriah malah kian perkasa dan terus mendulang sukses dalam memerdekakan sisa wilayahnya di perbatasan yang menjadi basis teroris binaan Turki.
Begitu pula dengan Yaman. Dengan senjata ala kadarnya, negara modern di ujung jazirah Arab itu bukan hanya mampu merontokkan agresi brutal yang dilancarkan monarki Saudi cs, melainkan bahkan memenangkan pertempuran dan merebut kembali sebagian besar wilayah Ma’rib yang selama ini dijadikan sarang utama pasukan bayaran agresor Saudi.
Nun jauh di belahan dunia lain, pemerintah Amerika Serikat di bawah cengkeraman Biden terlihat makin kecut hati. Kekalahan demi kekalahan telak terus mendera, yang memuncak pada momen terusirnya mereka dari Afghanistan (yang dijajah dan diperasnya sejak 2001). AS pun mengalami kerugian luar biasa dari petualangan hegemoniknya di Asia Barat dan diam-diam mengakui realitas Iran sebagai suatu kekuatan baru.
Dalam situasi kalut setelah melihat tentara-tentaraannya kocar kacir menghibahkan persenjataan mutakhir dalam setiap konflik dengan para tentara Ansarullah terutama dalam perebutan Ma’rib, Saudi terpaksa menurunkan kecongkakannya mengemis damai.
Salah satu cara noraknya adalah memulai pembicaraan perbaikan hubungan dengan Iran seraya memintanya menekan Ansarallah untuk menerima tawaran perundingan. Karena konsisten tidak mendikte pemerintah manapun sebagai prinsip politik luar negerinya, Iran menegaskan bahwa yang memutuskan adalah rakyat Yaman. Saudi yang kecele karena mengira Iran sama dengan dirinya dalam memperlakukan negara-negara tetangga, tentu makin tenggelam dalam kekalutan.
Setelah terhina di Suriah lalu gagal di Irak dengan terusirnya Daesh, kini bersiap koprol berantakan di Yaman, negara yang dimiskinkan dan dirampok wilayah kaya minyaknya. (*Cendekiawan Muslim Indonesia)