Search

Membentuk Akhlak Mulia

Ilustrasi AI

Oleh Ustadz Sayyid Abdullah Assegaff

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali bertemu dengan berbagai macam karakter manusia. Ada yang selalu tersenyum dan sabar dalam menghadapi masalah, ada pula yang mudah tersulut emosi dan bertindak kasar. Fenomena ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang muncul secara tiba-tiba, melainkan hasil dari pembentukan akhlak/karakter yang berlangsung secara terus-menerus.

Menurut ajaran Islam dan filsafat moral, akhlak merupakan karakter yang tertanam dalam diri seseorang akibat kebiasaan yang dilakukan secara berulang. Jika seseorang terbiasa berbuat baik, maka sifat tersebut akan menjadi bagian dari dirinya. Sebaliknya, jika kebiasaan buruk terus dilakukan, maka ia akan sulit mengubah dirinya menjadi lebih baik.

Advertisements

Dalam Islam, akhlak merupakan bagian penting dari kehidupan manusia. Rasulullah SAW bersabda:
“إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ”

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”

Misi utama Nabi Muhammad SAW bukan hanya menyampaikan wahyu, tetapi juga untuk membentuk masyarakat yang memiliki karakter luhur.

Ibnu Miskawaih menyebutkan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa dan menjadi dorongan alami dalam bertindak tanpa perlu berpikir atau mempertimbangkan terlebih dahulu. Ini berarti bahwa akhlak bukanlah sesuatu yang hanya muncul saat diperlukan, tetapi sudah menjadi bagian dari kepribadian seseorang.

Dalam filsafat moral, akhlak sering dikaitkan dengan kebiasaan yang terus menerus dilakukan hingga menjadi bagian dari sifat manusia. Aristoteles, dalam konsep “Etika kebajikan”, juga menegaskan bahwa karakter seseorang dibentuk oleh kebiasaannya. Dengan kata lain, akhlak bukanlah sesuatu yang diwariskan secara genetik, melainkan sesuatu yang bisa dipelajari dan dikembangkan.

Etika kebajikan berfokus pada bagaimana manusia bisa mencapai kehidupan yang baik dan bermakna melalui kebiasaan yang benar. Secara fundamental, Aristoteles menolak pandangan bahwa kebahagiaan hanya sekadar kesenangan atau kekayaan. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa kebahagiaan sejati dicapai dengan menjalani kehidupan yang berlandaskan kebajikan, yaitu keseimbangan antara ekstrem yang berlebihan dan yang kurang (konsep “jalan tengah”) atau (konsep ‘adalah/ laa ifrath walaa tafrith). Misalnya, sifat keberanian yang berada di antara pengecut dan nekat, atau sifat dermawan yang berada diatara royal dan pelit.

Pendekatan Aristoteles dalam etika kebajikan lebih pragmatis dibandingkan dengan filsuf seperti Plato, yang lebih idealis. Ia mengajarkan bahwa kebajikan bukanlah sesuatu yang diperoleh dengan teori saja, tetapi harus dipraktikkan hingga menjadi kebiasaan. Dengan kata lain, menjadi baik bukan hanya soal mengetahui apa yang benar, tapi juga membiasakan diri untuk bertindak benar dalam kehidupan sehari-hari.

Faktor-faktor yang membentuk akhlak:

1. Kebiasaan dan pendidikan
Imam Ali AS berkata:
“العَادَةُ طَبِيعَةٌ ثَانِيَةٌ”

“Kebiasaan itu adalah tabiat kedua.”

Kebiasaan yang dilakukan secara terus-menerus akan membentuk karakter seseorang. Oleh karena itu, jika kita ingin memiliki akhlak yang baik, kita harus membiasakan diri melakukan hal-hal baik sejak dini.

Dalam konteks pendidikan, Islam sangat menekankan pentingnya mendidik akhlak sejak usia dini. Seorang anak yang tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan kejujuran, kasih sayang, dan kesabaran, akan cenderung memiliki sifat-sifat tersebut saat dewasa.

2. Lingkungan sosial:
Lingkungan memiliki pengaruh besar dalam membentuk akhlak seseorang. Dalam hadis, Imam Ja’far ash-Shadiq AS berkata:
“صُحْبَةُ الأَشْرَارِ تُورِثُ سُوءَ الظَّنِّ بِالأَخْيَارِ”

“Bersahabat dengan orang jahat akan menumbuhkan prasangka buruk terhadap orang baik.”

Lingkungan dan teman bergaul sangat mempengaruhi karakter seseorang. Jika kita sering bergaul dengan orang-orang yang memiliki akhlak buruk, maka kita pun bisa tertular sifat tersebut. Sebaliknya, jika kita berkumpul dengan orang-orang yang baik, maka kita akan termotivasi untuk menjadi lebih baik.

3. Pengaruh spiritual dan ibadah:
Dalam Islam, ibadah tidak hanya berfungsi sebagai bentuk penghambaan kepada Allah, tetapi juga sebagai sarana untuk memperbaiki akhlak. Salat, misalnya, tidak hanya sekadar ritual fisik, tetapi juga memiliki dampak moral.
Allah SWT berfirman:
“إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ”

“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.”
(QS. Al-‘Ankabut: 45)

Ibadah lainnya, seperti puasa, zakat, dan haji, juga memiliki tujuan yang sama, yaitu membentuk kepribadian yang lebih baik dan meningkatkan empati terhadap sesama.

Berikut adalah beberapa contoh akhlak dalam kehidupan sehari-hari:

Akhlak mulia (Akhlaq al-Karimah):
1. Jujur – Seseorang yang terbiasa berkata jujur akan selalu dipercaya oleh orang lain.
2. Sabar – Orang yang terbiasa bersabar tidak mudah tersulut emosi dan lebih bijaksana dalam menghadapi masalah.
3. Dermawan – Jika seseorang terbiasa berbagi dengan orang lain, maka kedermawanan akan menjadi bagian dari dirinya.

Akhlak Buruk (Akhlaq al-Madzmumah):
1. Pemarah – Jika seseorang selalu marah dalam menghadapi situasi sulit, maka ia akan dikenal sebagai orang yang mudah tersulut emosi.
2. Suka berbohong – Jika seseorang sering berbohong, maka kebohongan akan menjadi bagian dari karakternya.
3. Kikir – Jika seseorang enggan berbagi dengan orang lain, maka ia akan menjadi pribadi yang egois dan tidak peduli terhadap sesama.

Adapun untuk membentuk diri dengan akhlak yang mulia, dapat dimulai dari beberapa hal-hal kecil. Kita tidak perlu langsung melakukan perubahan besar.

1. Mulailah dengan hal-hal sederhana, seperti mengucapkan salam, tersenyum kepada orang lain, dan selalu berkata baik.
2. Menjaga konsistensi selalu dalam berbuat baik
Imam Ali AS berkata:
“أَفْضَلُ الْأَعْمَالِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ”

“Amal yang paling baik adalah yang dilakukan secara terus-menerus walaupun sedikit.”
3. Menghindari lingkungan yang buruk, karena bisa merusak akhlak seseorang. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dalam memilih teman dan lingkungan sosial.
4. Ibadah dapat melembutkan hati dan membantu seseorang menjadi lebih sabar dan penuh kasih sayang.
5. Meneladani kehidupan Rasulullah dan Ahlulbait adalah cara terbaik untuk membentuk akhlak mulia.

Membentuk akhlak mulia bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan dalam semalam. Dibutuhkan kesabaran, usaha, dan kebiasaan baik yang dilakukan secara terus-menerus. Dalam Islam, akhlak adalah bagian penting dari keimanan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“إِنَّ أَكْمَلَ المُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا”

“Sesungguhnya orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.”

Dengan menjaga kebiasaan baik, menjauhi lingkungan buruk, dan memperbanyak ibadah, kita bisa membentuk diri menjadi pribadi yang lebih baik, membawa manfaat bagi diri sendiri dan masyarakat. Wallahu a’lam.

Advertisements

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
POPULER BULAN INI
Advertisements
Advertisements
INDEKS BERITA