Search

Penilaian Sejati

Penulis. (Dok. Berita Alternatif)

Oleh: Ahmad Fauzi*

Tema kali ini merupakan tentang cara pandang seseorang terhadap suatu perkara. Sebagian besar kita mudah sekali menjustifikasi obyek tanpa mempertimbangkan sudut pandang lain yang lebih luas sehingga muncul dugaan-dugaan yang tidak berdasar atau dugaan yang berdasarkan informasi-informasi yang tidak berkaitan dari obyek yang kita nilai. Hal ini mengakibatkan prematurnya kita dalam berfikir, menyimpulkan dan mengambil keputusan.

Efek negatif tindakan ini akan menentukan rendahnya tingkat kebijaksanaan seseorang, ketidakteraturan dalam proses mewujudkan tujuan, labilnya kondisi kejiwaan atau emosional dan akan berbuah penyesalan.

Advertisements

Bagi sebagian masyarakat, sering sekali terkecoh dengan sesuatu yang tampak memukau padahal kosong akan makna. Mereka memuja dan memuji sebuah tren atau gaya hidup berdasarkan informasi yang sejatinya bermuatan terselubung agar para pemuja itu  menjadi pribadi yang konsumtif. Dan apabila komunitas dihuni oleh orang yang tidak produktif maka di situlah akan terjadi ketimpangan-ketimpangan. Mari kita ulas.

Definisi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), penilaian adalah proses, cara, membuat nilai, hasil penilaian. Sejati adalah asli, murni, sebenarnya. Penilaian sejati berarti proses dan hasil menilai secara murni. Melakukan penilaian secara murni berarti mengambil semua dimensi dengan kaidah-kaidah yang jernih atas kebenaran suatu obyek. Maka penilaian sejati menghasilkan obyektivitas.

Penilaian sejati identik dengan menilai sesuatu menggunakan cara pandang filosofis. Artinya, proses penilaian ini dilakukan dengan cara berfikir universal (umum), sistematis dan radikal (sampai ke akar-akarnya).

Masalah

Alasan utama mengapa tema ini diutarakan adalah karena munculnya banyak fenomena kesalahkaprahan (falasi) orang-orang dalam berfikir dan bertindak yang karenanya hal itu mempunyai efek negatif terhadap lingkungan di sekitarnya. Cara pandang orang bisa saja merugikan keluarga dan orang-orang yang menjadi tangungg jawabnya. Validasi, opini dan pandangan seseorang terhadap suatu permasalahan berpotensi menghancurkan dirinya, orang lain. dan alam semesta ini.

Misal seorang pengusaha tambang batu bara yang tidak memperhatikan kajian lingkungan, ketenagakerjaan dan hukum positif akan merugikan alam, manusia dan sistem sosial.

Contoh lain seorang politisi yang menyusun peraturan tentang perpajakan tanpa kajian yang holistik (menyeluruh) mengakibatkan munculnya pasal-pasal yang merugikan masyarakat dan negara. Tanpa kajian yang matang, bisa saja pasal dalam peraturan tersebut menjadi celah segelintir orang untuk mendapat keuntungan.

Contoh yang lebih sederhananya lagi adalah semisal seorang teman yang merekomendasikan pembelian barang mewah kepada temannya agar terlihat keren. Tanpa melihat aspek ekonomi dan kegunaannya, maka akan membuat teman tersebut terlilit utang dan mendapatkan kerugian di masa yang mendatang.

Atau hal yang terjadi pada diri kita. Karena terbawa arus informasi yang mengharuskan kaya raya dan populer membuat kita melakukan hal-hal aneh dan konyol dengan menabrak norma yang berlaku. Di sinilah penilaian sejati diperlukan.

Banyak contoh kasus lain yang bisa dicermati dan diambil pelajaran agar kita terhindar dari marabahaya dan jebakan dalam sistem sosial ini.

Falasi Berfikir

Terdapat beberapa hal yang mendasari salah kaprah/falasi berpikir ini, di antaranya:

Pertama, bias kognitif. Otak manusia cenderung mencari pola dan konfirmasi yang dapat menyebabkan bias kognitif. Bias ini dapat memengaruhi cara kita memproses informasi, sehingga kita lebih mungkin menerima argumen yang sesuai dengan keyakinan kita dan menolak argumen yang bertentangan. Contohnya, confirmation bias (bias konfirmasi) membuat kita lebih memperhatikan informasi yang mendukung keyakinan kita dan mengabaikan informasi yang bertentangan.

Kedua, emosi. Emosi dapat sangat memengaruhi penalaran kita. Ketika kita merasa marah, takut, atau sedih, kita lebih mungkin membuat keputusan yang irasional. Falasi seperti argumentum ad hominem (serangan pribadi) sering kali didorong oleh emosi negatif terhadap orang yang menyampaikan argumen. Banyak keputusan-keputusan yang kita lakukan dalam kondisi marah, kesal dan diliputi kebencian serta hawa nafsu akan berakhir pada penyesalan.

Kedua, kurangnya informasi. Kurangnya informasi yang relevan dapat menyebabkan kita membuat kesimpulan yang salah. Misalnya, kita mungkin membuat generalisasi yang salah jika kita hanya memiliki sedikit contoh untuk ditarik kesimpulan.

Ketiga, ambiguitas bahasa. Bahasa yang ambigu atau tidak jelas dapat menyebabkan kesalahpahaman dan falasi. Falasi seperti equivocation (ekuivokasi) terjadi ketika kita menggunakan kata dengan makna ganda dalam argumen.

Keempat, tekanan sosial. Tekanan sosial dapat membuat kita menerima argumen yang salah karena kita ingin diterima oleh kelompok atau menghindari konflik. Argumentum ad populum (bandwagon fallacy) adalah contoh falasi yang didorong oleh tekanan sosial.

Kelima, kecenderungan untuk menyederhanakan. Manusia memiliki kecenderungan untuk menyederhanakan masalah yang kompleks, yang dapat menyebabkan kita mengabaikan informasi penting atau membuat asumsi yang salah. Falasi seperti false dichotomy (dikotomi palsu) terjadi ketika kita menyajikan dua pilihan sebagai satu-satunya kemungkinan, padahal sebenarnya ada lebih banyak pilihan.

Konklusi

Rangkaian masalah demi masalah yang diiringi dengan penjelasan tentang falasi di atas bisa disimpulkan bahwa mestinya kita rasional baik dalam berfikir maupun dalam bertindak.

Terdapat prinsip-prinsip tertentu yang harus dipegang teguh dan tidak boleh dilanggar yaitu nilai-nilai kebenaran.

Banyak dari kita yang sudah terlanjur tercerobok dalam tindakan-tindakan yang fatal karena memperturutkan egoisme yang tak mendasar, terus-menerus melakukannya tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan sekitar hanya dengan argumen untuk bertahan hidup. Hal ini terus dilakukan bahkan diwariskan pada orang lain bahkan kepada generasi mendatang untuk mengikuti jejak konyol itu.

Membudayakan atau membiasakan falasi semacam ini mengakibatkan kualitas komunitas yang dihuni menjadi status quo (jalan di tempat). Komunitas itu menjadi kelompok yang terbelakang dan mudah dimanfaatkan orang lain.

Sandaran akan nilai-nilai kebenaran bergantung pada orientasi ideologinya. Apabila melakukan tindakan-tindakan dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan yang dengannya menzalimi orang yang tidak berdosa maka faham kebinatangan seperti itu harus dihentikan. Begitu pula sebaliknya, apabila tidak melakukan sesuatu sementara ia mempunyai tanggung jawab untuk menjalankannya yang mengakibatkan orang lain tidak mendapatkan haknya maka kemalasan ini harus dihentikan.

Sangat sulit menegakkan proporsionalitas di tengah carut-marutnya dua kubu ekstrem ini. Perlu tindakan-tindakan konstruktif nan logis agar keadilan bisa tegak dan merata. Di sinilah perlunya penilaian sejati.

Apabila tiap-tiap individu bisa menyimpulkan dengan jernih dan memikirkan secara mendalam dampak yang terjadi atas keputusan yang diambil serta memiliki argumen yang logis pada suatu persoalan, maka keselamatan akan didapatkan. Komunitas yang dibangun akan menjadi sehat dan bermanfaat bagi sekelilingnya.

Bersikap logis dan tidak memperturutkan pendapat orang banyak yang tak berdasar memang mendapatkan tantangan tersediri. Bisa saja karena sikap itu, seseorang dijauhi atau dikucilkan bahkan dicemooh. Orang yang kukuh pada prinsip-prinsip dan norma-norma yang rasional bisa saja dianggap aneh karena melawan arus mayoritas. Namun percayalah kebenaran akan menemukan jalannya sendiri. (*CEO Berita Alternatif)

Advertisements

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
POPULER BULAN INI
Advertisements
Advertisements
INDEKS BERITA