Oleh: Ellisa Wulan Oktavia*
Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Kutai Kartanegara (Kukar) bukan sekadar koreksi teknis pemilu, tetapi gambaran nyata ketidakprofesionalan KPU sebagai penyelenggara memastikan proses demokrasi berjalan dengan baik. Diskualifikasi salah satu pasangan calon bupati, Edi Damansyah, di tahapan Pilkada 2024 menimbulkan pertanyaan besar mengenai efektivitas pengawasan dan tata kelola pemilu yang dilakukan oleh KPU.
Jika ada pelanggaran yang mengarah pada diskualifikasi, mengapa KPU tidak bertindak sejak awal? Jika aturan ditegakkan dengan ketat sejak tahap verifikasi, PSU mungkin tidak akan terjadi. Akibat ketidakprofesionalan KPU, anggaran negara kembali terkuras untuk mengulang proses yang seharusnya bisa dikendalikan lebih dini. Hal ini mengakibatkan kerugian negara karena anggaran yang terbuang sia-sia. Kasus ini juga menimbulkan pertanyaan besar mengenai efektivitas pengawasan Bawaslu Kukar.
Biaya PSU tentu saja tidak kecil. Negara harus kembali mengeluarkan dana besar untuk pencetakan ulang surat suara dan logistik pemilu, honor petugas KPPS, PPK, saksi, pengamanan dan distribusi perlengkapan pemilu serta sosialisasi ulang kepada pemilih.
Tahapan ini semua berasal dari uang rakyat. Bukankah seharusnya anggaran tersebut bisa digunakan untuk kepentingan lain yang lebih bermanfaat seperti pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur?
Lebih ironis lagi, pemerintah saat ini sedang gencar menyerukan efisiensi anggaran dan pemangkasan belanja negara di berbagai sektor. Namun, di sisi lain, pemilu justru menjadi ajang pemborosan anggaran yang seharusnya bisa dicegah. Kontradiksi ini mencerminkan kelemahan perencanaan dan pengawasan pemilu di Indonesia.
Dampaknya meluas pada partisipasi dan legitimasi pemilu. Selain pemborosan anggaran, PSU berisiko menurunkan partisipasi pemilih. Masyarakat bisa saja merasa kecewa dan kehilangan kepercayaan terhadap penyelenggaraan pemilu yang terkesan tidak profesional. Jika pemilih apatis, bukan tidak mungkin angka partisipasi menurun, yang pada akhirnya dapat melemahkan legitimasi pemimpin terpilih.
Situasi ini berbahaya dalam jangka panjang. Jika setiap pemilu penuh dengan ketidakpastian hukum dan teknis, rakyat akan semakin skeptis terhadap sistem demokrasi. Pemimpin yang terpilih dari proses yang cacat pun akan menghadapi tantangan legitimasi dalam menjalankan pemerintahan.
Dalam konteks efisiensi anggaran negara, PSU seperti ini seharusnya menjadi peringatan keras bahwa perencanaan dan pelaksanaan pemilu masih belum optimal. Pemerintah sering berbicara tentang penghematan dan efisiensi, tetapi pemborosan besar justru terjadi akibat kelalaian dalam mengawasi proses pemilu sejak awal.
Jika efisiensi anggaran benar-benar menjadi prioritas, maka KPU harus lebih ketat dan profesional dalam verifikasi sejak awal untuk menghindari PSU yang tidak perlu.
Selain itu, Bawaslu dalam melakukan pengawasan pilkada harus diperketat agar tidak ada keputusan yang mengakibatkan pemborosan anggaran.
Demokrasi juga harus dijaga bukan hanya secara prosedural, tetapi dalam esensinya pemilu yang transparan, adil, dan efisien.
Kasus PSU seluruh wilayah di Kukar harus menjadi refleksi bahwa pemilu di Indonesia masih memiliki banyak tantangan, terutama dalam pengawasan dan tata kelola. KPU sebagai penyelenggara harus dievaluasi agar kejadian serupa tidak terulang. Jika tidak ada evaluasi, maka demokrasi kita akan terus menghadapi masalah yang sama setiap pemilu maupun pilkada.
Rakyat berhak mendapatkan pemilu yang berkualitas. Jangan sampai pesta demokrasi sekadar formalitas yang menghabiskan anggaran negara karena ketidakprofesionalan penyelenggara pemilu. (*Fungsionaris Kohati PB HMI)