Search

Genosida Minoritas Kristen di Pesisir Suriah

Penulis. (ICC Jakarta)

Oleh: Dr. Muhsin Labib*

Pada masa perang dingin usai perang dunia kedua Amerika dan sekutunya, Eropa Barat, menciptakan gerakan ekstremisme Kristen demi melawan dan menghadapi Uni Soviet yang dilukiskan ateis dan anti Kristen hingga Uni Soviet runtuh dan Amerika menjadi adidaya tunggal.

AS dan sekutu Barat mempromosikan narasi anti-komunisme selama Perang Dingin, menekankan perbedaan antara “Dunia Bebas” (yang sering dikaitkan dengan nilai-nilai Judeo-Kristen) dan Uni Soviet yang ateis dan melukiskan bahwa komunisme dan sosialisme adalah paham yang identik dengan ateisme.

Advertisements

Setelah berdirinya RII pada 1979, AS berupaya membendung pengaruh politik dan ideologi anti zionisme Iran di Timur Tengah dengan membekukan semua asetnya di AS, menjatuhkan ragam sanksi serta embargo global dan mendorong Saddam Hussein untuk memeranginya juga mendukung gerakan separatisme dan perusakan generasi dengan opium yang diselundupkan dalam skala besar dari Afghanistan.

Karena Saddam gagal, AS dan Arab Saudi yang berinvestasi dalam industri radikalisasi di Afghanistan, menghidupkan kembali Mujahidin dengan nama baru Taliban lalu diubah menjadi gerakan global dengan nama Al-Qaeda.

AS fokus pada upaya menghancurkan Iran yang berhasil menjadi pemimpin dunia Islam dan sukses membangun Poros Perlawanan yang menolak eksistensi Israel dan idelogi zionisme, termasuk membuat drama tragis 9/11 sebagai justifikasi intervensi militer ke Irak demi membendung pengaruh Iran dan Suriah yang menjadi sekutu kuatnya.

AS mempersembahkan OBL (alumnus Mujahidin Afghanistan yang didukungnya dalam Perang Dingin) kepada dunia Islam sebagai pemimpin Islam yang puritan demi mengganti pengaruh Imam Khomeini dan penggantinya Sayyid Ali Khamenei. Sejak saat itu, dunia Arab dan Islam disibukkan dengan Arab Spring dan ancaman internal radikalisme bersenjata yang mampu mengalihkan perhatian dari Israel yang sengaja dipeliharanya sebagai pangkalannya di Timur Tengah dan mempermanenkan instabilitas di setiap negara dunia Arab dan Islam.

Peran AS di balik kekerasan atas nama agama yang diperagakan oleh ISIS dan lainnya bukanlah halusinasi tapi fakta benderang. Hillary Clinton dan Barack Obama pernah mengakui bahwa AS membentuk pasukan ekstremis multinasional demi memerangi dan menjatuhkan Assad, yang menolak proposal damai dengan Israel yang ditawarkan oleh AS dan menjadi sekutu tunggal di Timur.

Saat konflik meletus di Suriah pada Februari 2011, Al-Qaeda global segera menyeru anggotanya untuk terlibat dalam apa yang mereka sebut “perlombaan pengaruh” melawan negara Suriah. Kehadiran kelompok bersenjata di medan perang semakin nyata, terutama setelah pemimpin Al-Qaeda saat itu, Ayman al-Zhawahiri, mendesak dukungan bagi rakyat yang memberontak terhadap penguasa dan mengupayakan berdirinya khilafah yang “tidak mengakui negara-bangsa, ikatan nasional, atau batas-batas yang dipaksakan penjajah”.

Pada awal 2012, di Suriah dideklarasikan berdirinya Jabhah an-Nusrah li Ahl al-Syam (Front Pembela Suriah) sebagai respons terhadap seruan jihad dari berbagai tokoh Salafi-Jihadi untuk membela rakyat Suriah. Namun, operasi militer pertamanya terjadi lebih awal, tepatnya pada Desember 2011, melalui serangan bom bunuh diri ganda yang menargetkan gedung intelijen umum di Damaskus.

Jabhah an-Nusrah memulai aktivitasnya di Suriah sebagai cabang dari Al-Qaeda di Irak (AQI) di bawah komando Ibrahim Awad al-Badri (Abu Bakr al-Baghdadi). Keterkaitan organisasi ini dengan Al-Qaeda baru diungkap secara resmi melalui rekaman suara al-Badri, yang menyebut penundaan pengumuman tersebut disebabkan alasan keamanan.

Di awal berdirinya, Jabhah an-Nusrah menolak keras politik demokrasi, menyebutnya sebagai “sistem jahiliyah yang bertentangan dengan ajaran Islam”. Mereka mengkritik gerakan-gerakan yang menggunakan jalur demokrasi, khususnya di Tunisia dan Mesir, karena dianggap “mundur dari prinsip dan gagal mencapai tujuan”.

Pemimpin front ini, Ahmad al-Shara (Abu Muhammad al-Julani), menegaskan bahwa kelompoknya berbeda dengan Ikhwanul Muslimin meski memiliki beberapa kesamaan konsep.

Sejak awal, Jabhah an-Nusrah dan pimpinannya berusaha membedakan diri dari Al-Qaeda global. Mereka menyembunyikan ideologi “perang lintas batas” untuk mendapatkan penerimaan lokal dan regional.

Jabhah an-Nusrah dan al-Julani kerap diliputi kekhawatiran akan pengkhianatan atau pelenyapan oleh kelompok oposisi Suriah lainnya, akibat hubungan eksternalnya dengan Al-Qaeda. Di sisi lain, faksi-faksi lain berusaha mengisolasi mereka—baik secara militer dengan memutus koneksi ke pusat komando operasi, maupun secara syariah melalui fatwa yang melarang bergabung dengan Jabhah an-Nusrah. Salah satunya adalah fatwa dari Syaikh Abu Basir al-Tartusi—yang kini justru menjadi pendukung al-Julani.

Terkonsentrasinya kekuatan militer Hizbullah dalam menghadapi agresi Israel di Lebanon menjadi kesempatan bagi Turki dan Qatar untuk mendorong Jabhah Nusrah memasuki Suriah.

Hayat Tahrir al-Sham, yang dipimpin oleh Ahmed al-Sharaa, mengumumkan pada dini hari Minggu, 8 Desember, “penguasaan Damaskus dan penggulingan Assad.”

Televisi pemerintah Suriah menyiarkan pernyataan pertama oposisi Suriah setelah memasuki ibu kota Suriah dan melarikan diri Presiden Suriah Bashar al-Assad dari Damaskus. Letnan Kolonel Hassan Abdul Ghani mengumumkan “pembebasan penuh kota Homs” pada dini hari Minggu pagi.

Perdana Menteri Suriah Mohammad al-Jalali menyatakan kesiapannya untuk bekerja sama dengan pimpinan mana pun yang dipilih rakyat, setelah oposisi tiba dan maju di Damaskus.

Dengan seragam hijau yang biasa dikenakan pemimpin militer dan pejuang revolusi, Ahmad al-Shara—penguasa de facto baru Suriah yang sebelumnya dikenal sebagai Abu Muhammad al-Julani—berdiri di hadapan jamaah di Masjid Umayyah, Damaskus, untuk menyatakan “kemenangan”.

Transformasi radikal dari sosok yang konon diincar AS dengan hadiah jutaan dolar untuk penangkapannya ini terbaca janggal bagi kalangan kritis.

Pemimpin Hay’at Tahrir al-Sham (HTS) ini mulai menggunakan nama aslinya setelah pasukannya memasuki Damaskus dan Presiden Bashar al-Assad melarikan diri. Kini, setelah dua dekade bergerak di kelompok bersenjata, ia menjadi pemimpin de facto bagi 23 juta warga Suriah.

Selama perjalanannya, ia perlahan berubah dari komandan Islam garis keras yang berjubah tradisional—simbol “kejayaan Islam”—menjadi sosok yang tetap berjenggot namun mengenakan pakaian semi-Barat dan seragam militer mirip Presiden Ukraina yang sedang berperang melawan Rusia.

Ia mengaku telah matang: “Seseorang di usia 20-an, 30-an, dan 50-an pasti memiliki kepribadian berbeda.” Bagi banyak pihak, transformasi ini adalah langkah strategis untuk melegitimasi kekuasaannya—tapi apakah dunia akan percaya?

Apa pun dilakukan oleh AS dan Barat dengan hegemoni medianya untuk mengelabui dunia. Perubahan drastis dari sosok penjagal sadis sulit untuk diipercaya oleh orang-orang kritis.

Tak lama setelah berkuasa, yang dikhawatirkan terjadi, dikabarkan bahwa sekitar 4.000 orang dari minoritas Alawite, Kristen dan lainnya dibantai di Suriah dalam 3 hari.

Media-media comberan di sini memberitakan genosida 4.000 warga minoritas Alawite dan Kristen sebagai bentrok antara loyalis Asad dan pemerintah baru.

Turki punya jejak hebat dalan genosida. Lebih dari 2 juta warga Kristen Armenia dibantai oleh Ottoman dalam misi pengislaman paksa terutama terhadap  perempuan dan anak-anak.

Tak mengherankan bila gerombolan binaannya yang kini berkuasa di Suriah dengan dukungannya dan AS juga Israel melakukan aksi serupa dengan tujuan demuqawamahisasi. (*Cendekiawan Muslim)

Advertisements

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
Advertisements
POPULER BULAN INI
Advertisements
Advertisements
INDEKS BERITA