Kukar, beritaalternatif.com – Dalam buku Manusia 250 Tahun, Sayid Ali Khamene’i menjelaskan, tugas dan pekerjaan penting Rasulullah adalah berdakwah, menyampaikan hak dan hakikat, serta berjihad di jalan dakwah ini.
Pemimpin Agung Republik Islam Iran tersebut mengatakan, Nabi Mulia sama sekali tidak merasa takut hidup di dunia yang penuh kegelapan. Pada masa beliau berada di Mekkah seorang diri atau ditemani oleh sekelompok kecil kaum muslim, beliau sama sekali tidak merasa takut dalam menghadapi para kepala suku Arab yang angkuh, tidak merasa gentar dalam menghadapi para pembesar Quraisy yang keras kepala, tidak merasa khawatir dalam menghadapi sikap kasar mereka, kekuatan mereka, serta seluruh masyarakat yang tidak memiliki pengetahuan (jahiliah).
Sayid Ali melanjutkan, Nabi tetap tegar dalam menyampaikan kebenaran, bersabar dalam menghadapi berbagai bentuk penghinaan, rela menanggung berbagai kesulitan dan penderitaan, hingga akhirnya beliau pun mampu mengislamkan sebagian besar manusia.
Setelah pemerintahan Islam berdiri dan beliau menjadi kepala pemerintahan serta menjadi kepala komando kekuatan, sambung Sayid Ali, pada saat itu juga para musuh tetap melakukan berbagai bentuk penentangan kepada Nabi, baik kelompok bersenjata bangsa Arab–yaitu orang-orang primitif yang hidup menyebar di Gurun Hijaz dan Yamamah, dan tugas dakwah ini adalah membina mereka–maupun para raja besar dunia saat itu, dua kekuatan besar dunia saat itu, yakni kerajaan Iran dan kerajaan Romawi.
Kata Sayid Ali, Nabi menulis surat, berdialog dengan mereka, menyampaikan pembicaraan, mengutus pasukan untuk menghadapi mereka, menanggung berbagai kesulitan menghadapi embargo ekonomi, sehingga adakalanya penduduk Madinah selama dua atau tiga hari tidak mendapatkan roti untuk dimakan.
“Nabi menghadapi berbagai bentuk kesulitan dari berbagai sisi,” ungkap Sayid Ali sebagaimana dikutip beritaalternatif.com dari buku berjudul Manusia 250 Tahun, Senin (4/4/2022) pagi.
Dia mengurai, berbagai kesulitan dan ancaman ini menyebabkan sebagian penduduk Madinah merasa ketakutan, sebagian mengalami guncangan jiwa, sebagian melontarkan protes, dan ada sebagian yang mendorong Nabi untuk berdamai. Namun di tengah arena dakwah dan jihad ini, Nabi sama sekali tidak pernah merasa lemah, berusaha memajukan masyarakat Islam, dan mengantarkan mereka kepada puncak kemuliaan dan kekuatan.
“Keberadaan pemerintahan dan masyarakat tersebut adalah berkat ketegaran Nabi di berbagai medan pertempuran dan dakwah hingga akhirnya kekuatan Islam ini berubah menjadi sebuah kekuatan besar pertama di dunia,” jelasnya.
Pengutusan Nabi, Awal Kesadaran
Sayid Ali menyebutkan, Nabi bersabda dalam sebuah hadis yang cukup terkenal dan mutawatir, “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia”.
Nabi diutus untuk tujuan mewujudkan berbagai akhlak mulia di dunia sehingga jiwa manusia mampu meraih keutamaan dan kesempurnaan akhlak.
Selama seseorang belum memiliki keutamaan akhlak maka Allah Swt tidak akan memberikan tugas agung dan penuh bahaya ini kepadanya.
Oleh karena itu, kata Sayid Ali, pada awal-awal pengutusan, Allah Swt berfirman kepada Nabi, “Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (Q.S. al-Qalam: 4)
Masa persiapan dan pembinaan Nabi hingga masa ketika Allah Swt merasa layak untuk menyampaikan wahyu-Nya, adalah berkaitan dengan masa sebelum pengutusan (bi’tsah).
Oleh karena itu, lanjut dia, diriwayatkan bahwa Nabi Mulia pada masa mudanya menyibukkan diri dengan berdagang dan memperoleh penghasilan besar melalui berdagang ini, dan seluruhnya disedekahkan di jalan Allah Swt dengan cara dibagikan kepada fakir miskin.
Pada masa ini, yang merupakan masa-masa puncak kesempurnaan Nabi dan sebelum turunnya wahyu, masa ketika beliau belum diangkat menjadi Nabi, mendaki Gunung Hira dan memerhatikan tanda-tanda kebesaran Allah Swt, memandang langit, bintang-bintang, bumi, berbagai ciptaan yang hidup di muka bumi dengan berbagai cara dan perasaan.
Beliau menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah Swt pada semua ciptaan ini. “Hari demi hari ketundukannya di hadapan Allah Swt, kekhusyukan hatinya pada perintah dan larangan Allah Swt, serta kehendak Allah Swt, semakin bertambah,” ungkap Sayid Ali.
Hari demi hari tunas-tunas akhlak mulia dalam dirinya semakin tumbuh dan berkembang. Dalam riwayat disebutkan, “Nabi adalah seseorang yang paling berakal di tengah manusia dan paling mulia di antara mereka”.
Sebelum peristiwa pengutusan dan dengan menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah Swt, hari demi hari membuat Nabi semakin sempurna, sehingga beliau mencapai usia empat puluh tahun.
Pada usia empat puluh tahun, jantung atau hati Nabi adalah hati yang paling bercahaya, hati yang paling khusyuk, hati yang paling siap untuk menerima pesan Ilahi.
Ketika peringkat spirtual, ruhaniah, dan cahaya ini telah mencapai puncak kesempurnaan, lanjut Sayid Ali, pada saat itulah Allah Swt membukakan baginya pintu-pintu langit dan pintu-pintu alam gaib.
Pandangan Nabi pun menjadi mampu melihat berbagai alam spiritual dan alam gaib. Beliau mampu melihat para malaikat dan berbicara dengan mereka, mendengar pembicaraan mereka, hingga selanjutnya Malaikat Jibril turun menemuinya dan berkata, “Bacalah!” Inilah awal pengutusan.
Makhluk Allah Swt yang luar biasa ini, manusia sempurna ini, telah mencapai suatu kesempurnaan sebelum menerima wahyu Ilahi dan peristiwa pengutusan merupakan awal sebuah jihad penuh dengan kesulitan.
Beliau pun menjalankan jihad penuh kesulitan ini selama dua puluh tiga tahun. Jihad beliau dengan pribadinya, jihad dengan masyarakat yang sama sekali tidak mengenal hakikat, dan jihad di dalam suasana penuh kegelapan mutlak tersebut.
Masyarakat menghadapi berbagai tekanan kejahatan dari berbagai sisi: keserakahan pada dunia, mengumbar hawa nafsu, kezaliman dan pelanggaran, kehinaan akhlak di relung keberadaan manusia, dan tindak kejahatan orang-orang kuat terhadap orang-orang lemah serta tidak ada seorang pun yang menghalangi dan mencegahnya.
“Kejahatan ini bukan hanya terjadi di Mekkah dan semenanjung Arab, bahkan terjadi di tengah bangsa yang memiliki peradaban tertinggi saat itu, yakni di kerajaan besar Romawi dan kerajaan Iran,” jelasnya.
Ia melanjutkan, lembaran gelap sejarah, yang meliputi seluruh kehidupan manusia, perjuangan Nabi dalam menghadapi kekuatan besar ini, usaha tanpa henti dan tidak dapat dibayangkan adalah bermula sejak awal-awal pengutusan dan menerima wahyu Ilahi, dan wahyu Ilahi juga senantiasa turun ke jantung suci pribadi agung ini bagaikan air jernih yang turun ke tanah yang subur dan memberi kekuatan kepadanya.
“Beliau memanfaatkan segenap kemampuannya sehingga berhasil menciptakan suatu perubahan besar di dunia ini,” terangnya.
Bangunan pertama dari umat Islam adalah dibentuk oleh tangan Nabi sejak hari-hari penuh kesulitan di Mekkah. Tonggak-tonggak kokoh yang merupakan penyangga bagi bangunan umat Islam adalah orang-orang yang pertama beriman, orang-orang pertama yang memiliki pengetahuan, keberanian dan cahaya keimanan yang mampu mengetahui pengertian pesan Nabi dan cenderung kepadanya.
Berbagai jantung yang dibina oleh tangan suci Nabi ini telah memiliki kesiapan untuk menerima pengetahuan, pintu-pintu jantung pun terbuka ke arah pengetahuan dan ajaran Ilahi.
Batin manusia pun menjadi bercahaya dan hari demi hari kecintaan mereka kepada Islam pun semakin bertambah kuat. “Sehingga sekelompok kecil kaum mukmin yang ada di Mekkah, yang hari demi hari jumlah mereka semakin banyak, menghadapi berbagai kesulitan yang tidak dapat saya atau Anda sekalian bayangkan,” sebutnya.
Mereka berada di tengah kehidupan yang penuh dengan nilai-nilai jahiliah, fanatisme, kecemburuan yang menyimpang, dendam kesumat, jantung yang keras, sikap keras kepala, kezaliman, mengumbar hawa nafsu semuanya bercampur menjadi satu, menekan kehidupan masyarakat dan meliputi kehidupan mereka. Meski demikian, di tengah bebatuan yang keras ini muncul tunas-tunas hijau.
Tidak ada badai yang mampu mencabut tumbuhan hijau, tunas dan tumbuhan yang tumbuh dan berkembang di celah-celah batuan ini. “Tiga belas tahun berlalu, dan dengan keberadaan fondasi yang kokoh ini, maka bangunan masyarakat Islam, masyarakat beradab, dan menjalankan nilai-nilai kenabian diletakkan di atas pondasi ini,” jelas Sayid Ali. (*)
Penulis: Ufqil Mubin