Oleh: Surya Arafah*
Pertanyaan awal pada tulisan ini sederhana, mengapa kehidupan manusia dibiarkan bahkan dipropagandakan dengan cara kehidupan binatang, yang bahkan mereka mengetahui dan menyadari ujung kehidupan binatang dan manusia itu berbeda?
Indonesia, negara Pancasila. Yang membuat Indonesia berbeda dengan negara-negara lain adalah Pancasila. Pancasila menjadi falsafah negara Indonesia, dari sila pertama sampai sila kelima.
Sila pertama, ketuhanan yang maha esa, sila yang menjadi akar, tiang, penyanggah dari sila-sila yang lain; sila yang menjadi dasar dan menjadi bagian yang amat sangat penting dalam proses kemerdekaan Republik Indonesia.
Kemanusiaan yang adil dan beradab harus didasarkan pada ketuhanan yang maha esa; hak asasi manusia tidak boleh berbenturan dengan hak universal, norma dan nilai yang berkembang dan tumbuh subur pada masyarakat Indonesia.
Menurut Undang-Undang U Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), HAM merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.
Jika kita kaji kembali, secara kemanusiaan perilaku menyimpang seperti LGBTQ++ mengancam adanya regenerasi, bahkan ia kontradiktif dengan pengertian HAM menurut undang-undang tersebut.
Jika toleransi menjadi narasi yang sering digaungkan hari ini, lantas apakah toleransi yang harus kita terima adalah toleransi yang melahirkan standar ganda akibat tidak konsisten?
Masyarakat Indonesia lebih-lebih pemuda-pemudanya yang masih waras, hari ini menolak perilaku LGBT, sebab dianggap telah melakukan kekerasan seksual karena tidak dapat menerima pilihan orientasi seksual dan identitas gender yang berbeda. Sementara tindakan pelacuran, aborsi, LSL dll. yang dilakukan atas kemauan sendiri tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan seksual jika tidak ada unsur paksaan di dalamnya.
Apakah kita harus menerima dan menormalisasi paham relativisme yang mereka anut? Paham yang meletakkan standar baik buruk itu tidak mutlak. Baik dan buruk itu senantiasa berubah-ubah. Apakah hati kecil kita mengiyakan? Atau bahkan membenarkan hal tersebut?
Memang permasalahan yang kita temui hari ini sangat kompleks, mulai dari dekadensi moral, perceraian, bahkan normalisasi dan propaganda perilaku menyimpang di tengah masyarakat.
Sebagai orang-orang yang masih sadar akan pentingnya sebuah moralitas, nilai yang tetap dijaga dan dirawat, percayalah, kemenangan akan tetap dipegang oleh kebenaran.
Pertanyaannya, apakah kita mau menyuarakannya? Atau malah memilih bungkam ketika dihadapkan pada suatu kemungkaran? Kita tentu tidak ingin generasi setelah kita nantinya menganggap biasa dan menormalisasi perilaku seksual menyimpang seperti yang dikampanyekan saat ini di Indonesia. Semoga Allah kuatkan hati-hati kita. (*Kabid BP PD KAMMI Kota Mataram)