Oleh: Husein Alkaff*
Beberapa saat yang lalu kita dikagetkan dengan berita wafatnya seorang sahabat dan guru serta seorang, yang bisa dikatakan memiliki multi-aktivitas: pengajar agama, politikus dan pengusaha, dan dalam tiga aktivitas ini dia berhasil dengan cukup gemilang.
Nama lengkap almarhum adalah Habib Abdurahman bin Abdullah Alaydrus. Namun, kita biasa menyebutnya dengan Abdurahmah Bima. Bima sebagai tempat kelahirannya adalah sebuah kota kecil di Pulau Sumbawa.
Sejauh yang saya ketahui, almarhum tidak begitu lama tinggal di tempat kelahirannya itu. Meski demikian, nama Bima sangat melekat padanya.
Perkenalan saya dengan almarhum dimulai sajak tahun 1980 di Pesantren YAPI cabang Probolinggo untuk tingkat dasar, setingkat Ibtidaiyah.
Waktu itu, dua atau tiga bulan setelah saya lulus dari Sekolah Dasar, saya melanjutkan pendidikan di Pesantren YAPI. Sebagai sebuah pesantren, di situ hampir semua santri berasal dari luar kota Probolinggo, termasuk dari Bima.
Saat itulah saya mulai kenal almarhum. Dia adalah senior dan kakak kelas saya karena dia satu atau dua tahun lebih dulu belajar di Pesantren. Masih tersimpan dalam ingatan saya, pernah ada seorang tamu dari Kanada bernama Abdurahman. Dia seorang muallaf yang berkunjung ke Pesantren. Di sela-sela waktu senggang tamu itu menyempatkan diri duduk-duduk dengan para santri, namun oleh karena dia tidak mampu berbahasa Indonesia, maka para santri hanya diam dan menonton mukanya yang berparas bule itu. Seingat saya, hanya almarhum yang berani berbicara dengan tamu itu dengan Bahasa Arab yang tidak saya pahami, karena waktu itu saya baru belajar kira-kira empat atau lima bulan.
Sejak itu, saya menaruh simpatik kepada almarhum, yang saya anggap seorang yang sudah pandai Bahasa Arab. Kemudian pada tahun ajaran berikutnya, para santri tingkat dasar YAPI dipindahkan ke Bangil, tempat pusat Pesantren YAPI, dan bergabung dengan para santri tingkat menengah dan tingkat lanjut.
Meskipun almarhum bukan teman karib saya karena memang beda tingkat dan beda kamar, namun saya sering berbicara dan berkumpul dengannya dalam banyak kesempatan. Harap dimaklumi, saya dan almarhum cukup lama mengenyam pendidikan di Pesantren; saya belajar di Pesantren selama tujuh tahun sedangkan almarhum mungkin sembilan tahun. Jadi wajar kami berdua sudah saling mengenal dengan baik meskipun tidak bersahabat secara akrab.
Pertemanan saya dengan almarhum lebih dekat ketika kami berdua dan seorang teman lain bernama Sayyid Herman Almuthahhar hendak melanjutkan pendidikan di Iran pada tahun 1987.
Kami bertiga meninggalkan Tanah Air pada bulan Oktober 1987 dan singgah di Singapore. Karena satu dan lain hal, kami bertiga “terlunta-lunta” ( kata ini disebut oleh almarhum satu minggu yang lalu saat saya menjenguknya di kediamannya. Almarhum masih ingat dengan baik tentang perjalanan kami ke Iran) di Singapore dan Malaysia selama lebih dari tiga bulan.
Dalam suasana yang tidak jelas; apakah kami akan berangkat ke Iran atau tidak?, di negeri jiran, kami mengalami kecemasan yang cukup berat. Perbekalan uang sudah habis dan kerabat pun tidak punya. Untung di dua negara jiran itu, terdapat beberapa orang yang baik hati yang iba kepada kami sehingga mereka menampung kami di rumah mereka dan membantu kebutuhan dasar kami.
Setelah lebih dari tiga bulan terlunta-lunta, akhirnya kami bertiga dapat melanjutkan perjalanan ke Iran pada bulan Januari 1988. Sesampainya di Iran, kami bertiga belajar dalam satu kelas, bahkan dengan almarhum saya sempat satu kamar di asrama.
Selama berteman dengan almarhum di Iran, saya melihat dia seorang yang gigih dan serius ketika menekuni sesuatu sehingga dalam beberapa pelajaran dia meninggalkan saya. Karena ketekunannya itu, almarhum menjadi murid dekat Ayatullah Jakfar Subhani, guru besar teologi Islam di Hawzah Ilmiah Qom.
Selain seorang yang gigih dan tekun, almarhum seorang yang sangat cakap dan ulung dalam menyenangkan dan menghibur teman-temannya, dan dalam setiap majlas (istilah warga keturunan yang berarti duduk-duduk santai sambil minum kopi) yang dihadirinya, dia selalu mencairkan suasana hingga penuh gelak tawa.
Kepiawaiannya dalam hal ini sudah ada sejak dia di Pesantren dan merupakan bakat alami yang dimilikinya.
Terlalu banyak untuk saya ceritakan tentang kepiawaiannya dalam bergaul dan menyenangkan orang yang ditemuinya.
Karena kepiawaiannya itu, dia dikenal di antara teman-temannya sebagai seorang yang menyenangkan dengan segala yang ada padanya; ucapan dan gerakan tubuhnya.
Dengan bakat kecakapan interpersonal yang piawai itu, almarhum dengan mudah bersahabat dengan siapa pun yang baru kenal dengannya dan dengan itu pula, tentu dengan hal lain, dia berhasil dalam meniti kariernya dalam bidang pendidikan, usaha dan politiknya.
Saya pulang dari Iran pada tahun 1993 sementara almarhum masih tetap belajar di sana hingga tahun 1997. Artinya almarhum lebih dulu mengenyam pendidikan agama di YAPI dari saya dan juga lebih lama belajar agama di Qom, Iran.
Sejak kepulangan almarhum ke Indonesia lalu mendirikan sebuah pusat pendidikan agama yang kemudian menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Madinatul Ilmi di kawasan Depok, saya jarang berhubungan dengannya apalagi setelah almarhum berkiprah di dunia politik dan usaha.
Kesibukannya yang padat membuat saya segan berkomunikasi dengannya kecuali pada momen-momen acara keagamaan, pernikahan dan pertemuan lainya.
Dalam pertemuan-pertemuan itu, sikap dan gaya bicara almarhum sama dan tidak berubah sedikit pun dengan sikap dan gaya bicaranya saat kami berteman di Pesantren dan Iran.
Andaikan tidak ada kebaikan yang almarhum lakukan, dan itu tidak mungkin terjadi, maka bakatnya yang selalu menyenangkan orang sudah cukup menjadi bekal menghadapi Sang Khalil. Lebih dari itu, almarhum meninggalkan satu legacy tak bisa dilupakan oleh komunitas pengikut Ahlulbait di Indonesia yaitu Sekolah Tinggi Islam Madinatul Ilmi yang telah melahirkan para sarjana dari berbagai kota di Tanah Air.
Salam sejahtera atas almarhum saat lahir, berjuang dan wafat. Semoga Allah menerima amal baiknya dan mengampuni dosanya. Semoga kami yang ditinggalkan dapat melanjutkan perjuangannya. Amin Ya Mujib Saailin. (*Cendekiawan Muslim Indonesia)