BERITAALTERNATIF.COM – Keluarga korban pencabulan, yang diduga pelakunya adalah Abu Ali, angkat bicara terkait perjalanan kasus yang telah berlangsung sejak awal tahun 2022 tersebut.
Ayah korban, Priyo Dwi Utomo meminta kepada penegak hukum agar menegakkan keadilan terhadap kasus pencabulan yang menimpa anak perempuannya, yang merupakan santriwati pondok pesantren di Tenggarong yang pernah dipimpin Abu Ali.
“Keadilan itu harus ditegakkan dengan seadil-adilnya. Jangan ibaratnya hukum itu hanya tajam ke bawah, sedangkan di atas enggak nyentuh sama sekali,” tegas Utomo kepada beritaalternatif.com pada Kamis (18/8/2022) sore.
Dia menginginkan Abu Ali dihukum sesuai hukum yang berlaku. Disinggung tuntutan terhadap mantan pimpinan pondok pesantren tersebut yang hanya 15 tahun penjara, Utomo mengaku menyerahkannya kepada aparat hukum.
“Mau dituntut seumur hidup, ya silakan. Mau dituntut dengan 15 tahun, ya silakan. Saya sih inginnya dia dihukum maksimal,” ujarnya.
Dia menyebutkan bahwa hukuman maksimal perlu dijatuhkan kepada Abu Ali agar ke depan tidak ada lagi korban lain yang merasakan hal serupa seperti anaknya.
Ia termotivasi melaporkan Abu Ali kepada aparat kepolisian supaya ke depan tidak ada lagi korban lain. Kemudian, orang-orang sebelumnya yang diduga sebagai korban pencabulan Abu Ali merasa terwakili dengan laporan yang dilayangkan keluarganya.
Dia menduga terdapat korban-korban lain selain putrinya yang telah dicabuli dan diperkosa oleh Abu Ali. “Kalau bisa mereka juga mendukung laporan kami,” harapnya.
Utomo juga mengaku sakit hati dengan perbuatan penceramah yang kerap berceramah di berbagai kecamatan di Kukar tersebut. “Apalagi anak saya sendiri yang jadi korbannya,” ujar dia.
Ia pun mengaku tak puas dengan penanganan kasus tersebut. Proses penyelidikan, penyidikan, penahanan, hingga persidangan terdakwa dinilainya bertele-tele.
Saat melaporkan kasus tersebut, ia harus mengorban banyak waktunya. “Saya ini orang kecil. Saya hanya petani. Kalau waktunya banyak terbuang, ya kasihan juga yang di rumah,” jelasnya.
Dari pelaporan hingga persidangan di Pengadilan Negeri Tenggarong, kasus tersebut telah berjalan selama delapan bulan. “Prosesnya sangat panjang,” katanya.
Disinggung permohonan terdakwa yang ingin menjadi tahanan kota karena sakit, Utomo mengaku sangat tidak setuju apabila Abu Ali dijadikan sebagai tahanan kota.
“Saya enggak sepakat kalau dia dijadikan tahanan kota. Jangan sampai dikabulkan. Walaupun dia di dalam itu sakit atau apa pun, itu kan urusan dia,” tegasnya.
“Saya ini kan orang kecil yang tidak punya apa-apa. Kalau dibalik, saya yang menjadi tahanan, apakah akan dikabulkan permohonan saya jadi tahanan kota? Otomatis mereka akan langsung menolak itu,” sambungnya.
Dia berdalih bahwa pengalihan dari tahanan rutan ke tahanan kota tidak layak diberikan kepada Abu Ali. Pasalnya, terdakwa dinilai tidak kooperatif.
Ia mencontohkan saat Abu Ali ditetapkan sebagai tersangka. Pelaku justru berstatus sebagai buronan kepolisian, sehingga Abu Ali ditangkap di tempat persembunyiannya di perbatasan Tuban-Bojonegoro, Jawa Timur.
Atas fakta tersebut, ia meminta majelis hakim Pengadilan Negeri Tenggarong menolak permohonan Abu Ali. “Saya minta ditolak,” ujarnya.
Utomo menegaskan bahwa pihaknya akan terus mengawal persidangan kasus ini hingga selesai. “Ini soal harga diri. Harga diri enggak bisa dibayar dengan uang,” tegasnya. (*)