Search
Search
Close this search box.

ACT Diduga Pernah Salurkan Bantuan kepada Teroris di Suriah

Listen to this article

BERITAALTERNATIF.COM – “GHOUTA Timur Digempur, Suriah Kembali Berdarah-darah”. Demikian judul kampanye pada laman website resmi organisasi kemanusiaan berbasis di Jakarta, Aksi Cepat Tanggap (ACT). Dalam kampanye bertanggal 21 Februari 2021 itu, ACT menyatakan, sejak 19 Februari, militer Suriah membombardir daerah pinggiran Ibukota Damaskus itu dan mengakibatkan sedikitnya 250 warga sipil tewas.

Gempuran Suriah atas Ghouta Timur, satu dari sedikit wilayah yang masih dikendalikan pemberontak bersenjata, memicu ‘histeria’ global, terutama di media Barat. Mereka bahkan menyebutnya “Neraka di Dunia”. Di media sosial, tagar #SaveGhouta pun mewabah. Di Indonesia, ACT menjadi yang terdepan dalam kampanye ini.

Baliho ‘Selamatkan Ghouta’ milik ACT terlihat di berbagai sudut jalan utama Jakarta dan sekitarnya. Di sisi Jalan TB Simatupang, Cilandak, Jakarta Selatan, misalnya, terpampang baliho berlatar merah selebar enam meter. Foto bangunan yang luluh lantak dan tiga anak menangis memenuhi hampir tiga-perempat bagian baliho. Di bagian bawah baliho, ACT menulis dua nomor rekening dengan pesan ‘Stop Suriah Memerah Darah’.

Advertisements

“Hingga Senin pekan lalu, donasi yang terkumpul untuk Ghouta mencapai 11,6 miliar rupiah,” kata juru bicara ACT, Lukman Aziz Kurniawan, ketika menerima indopress.id di kantornya, Jakarta, Kamis 15 Maret 2021. Lukman bilang, baliho ‘Selamatkan Ghouta’ telah terpajang di hampir seluruh wilayah Indonesia, termasuk Papua.

Untuk menyalurkan bantuan fulus itu, ACT menerjunkan tim dari Indonesia menuju Turki. Di Istanbul, ACT memiliki kantor cabang dan bermitra dengan organisasi kemanusiaan Turki, Insani Yardim Vakfi atau yang tenar dengan singkatan IHH. Dengan jaringan seperti itu, Lukman bilang, mereka yakin bantuan mampu menembus masuk ke Ghouta Timur.

Sebagai catatan, jarak Ghouta Timur dari perbatasan Turki mencapai 450-an kilometer atau setara dengan jarak Jakarta-Semarang. Wilayah ini berbeda dengan Aleppo yang hanya 90-an kilometer dari perbatasan Turki, sehingga bantuan yang dikirim saat ramainya #SaveAleppo memiliki peluang lebih besar sampai ke tangan yang berhak ketimbang Ghouta Timur. Terlebih, jalur menuju Ghouta Timur dari Turki kini telah diambil alih oleh militer Suriah.

Lukman sendiri enggan menjelaskan, bagaimana bantuan itu bisa tiba di Ghouta dan tidak jatuh ke tangan yang salah. “Sangat dirahasiakan polanya,” katanya. Dia memastikan bahwa relawan lokal ACT mampu menembus Ghouta tanpa izin Damaskus meskipun wilayah itu telah lama dikepung militer Suriah.

“Bagaimana mungkin kami melapor ke Pemerintah Suriah ketika mereka sendiri mengebom warganya,” ujar Lukman sebagaimana dilansir dari indopress.id pada Senin (4/7/2022). “Mereka tentu tidak akan memberi izin.”

Di Ghouta, Lukman mengatakan, sebagian donasi fulus itu kemudian dibelanjakan kebutuhan pokok warga. Sebagian lainnya diputar untuk menggerakkan ekonomi setempat.

Kepada indopress.id, dia menunjukkan foto dan video yang memperlihatkan relawan ACT sibuk mempersiapkan makanan di suatu ruangan dan membagikannya kepada anak-anak dan orang tua. Di dinding ruangan, tampak poster bertuliskan “Dapur Umum untuk Masyarakat Ghouta, Februari-Maret 2018” dalam bahasa Indonesia.

Tak ada relawan ACT dari Indonesia yang tampak dalam foto dan video itu. “Jangan berpikir, kami mengirim relawan dari Jakarta (ke Ghouta),” katanya. Relawan ACT itu disebut Lukman sebagai warga lokal Suriah. Mereka digandeng ATC sejak 2011 ketika pemberontakan bersenjata meletus di negeri itu.

Sementara itu, Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia di Suriah, Muhammad Arief Rahman, meragukan bantuan ACT bisa masuk ke Ghouta. Apalagi, dia bilang, ACT masuk ke Suriah secara ilegal alias tanpa izin pemerintahan Presiden Bashar Assad.

“Delapan puluh persen wilayah Ghouta sudah berhasil dikuasai kembali oleh tentara Pemerintah,” kata Arief lewat pesan elektronik kepada indopress.id, 18 Maret 2021. “Sedangkan saluran bantuan resmi yang dilindungi Pemerintah hanya dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Bulan Sabit Merah Suriah atau SARC.”

Arief mengaku pernah dihubungi ACT terkait kemungkinan PPI menjadi mitra penyaluran bantuan ke Ghouta. Itu terjadi setelah diskusi live streaming “Selamatkan Ghouta dan Tetap Peduli Bencana Alam Indonesia” pada 4 Maret 2021.

Dalam diskusi, Arief meminta ACT menyalurkan bantuan ke Suriah secara legal. Setidaknya, bantuan ACT diketahui Kedutaan Besar Indonesia di Damaskus dan meminta izin kepada Kementerian Luar Negeri Suriah.

Karena berbagai pertimbangan atas syarat yang ACT ajukan, PPI akhirnya menolak menjadi mitra. Arief juga mengaku mendapat masukan dari Kedutaan agar tidak bekerja sama dengan pihak yang menyalurkan bantuan tanpa izin Pemerintah Suriah. “Nanti akan berdampak negatif kepada kami sebagai pelajar di Suriah,” katanya.

ACT tak membantah bahwa mereka belum memberi tahu Kedutaan Indonesia di Damaskus. Namun, menurut Lukman, sebagai lembaga resmi, ACT tak mungkin mengirim bantuan ke luar negeri tanpa berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri di Jakarta. Terkait kontak ACT dengan PPI Suriah soal Ghouta, Lukman mengaku belum mendapatkan informasi soal itu.

Sekretaris Jenderal Ikatan Alumni Syam Indonesia (Alsyami), Najih Ramadhan, juga meragukan bantuan ACT bisa masuk ke Ghouta. Ini karena Ghouta telah dikepung militer Suriah dan letaknya yang jauh dari perbatasan Turki.

Menurut Najih, jika bantuan ditujukan kepada warga sipil, kampanye ‘Selamatkan Ghouta’ seharusnya dilakukan sejak Ghouta dikuasai pemberontak. Faktanya, kampanye ‘Selamatkan Ghouta’ baru hadir ketika Pemerintah ingin membebaskan wilayah itu dan kubu pemberontak terdesak.

Apalagi, tak sedikit kabar yang menyebut serdadu pemberontak kerap menimbun sebagian bantuan untuk kepentingan mereka sendiri. Kabar lain bahkan menyatakan, bantuan tak jarang disusupi kiriman persenjataan untuk kubu pemberontak. Truk bantuan IHH, mitra ACT di Turki, misalnya, pernah dilaporkan dipergoki aparat keamanan Turki penuh dengan senjata dan amunisi. Ankara pun sempat menggerebek sebuah kantor IHH di selatan Kilis, kota perbatasan Turki-Suriah meskipun IHH membantahnya dan menganggap ini cuma fitnah polisi.

Di dalam Ghouta, menurut Najih, sejumlah kelompok militan bersenjata menguasai wilayah itu. Mereka antara lain Jaisy Al-Islam dan Hayat Tahrir Syam. Nama terakhir juga kerap disebut sebagai Jabhat Nusrah, anak kandung kelompok teror internasional, Al-Qaeda.

Sementara itu, 400-an ribu warga sipil terjebak di dalam wilayah yang hanya berjarak 20-an kilometer dari Damaskus itu. Najih bilang, serdadu pemberontak menjadikan warga sebagai tameng dari kepungan tentara Pemerintah. Mereka tak mengizinkan warga keluar dari Ghouta melalui “koridor aman” yang telah disediakan Damaskus.

Di sisi lain, Najih menyayangkan ACT yang tidak menggaungkan ‘Selamatkan Afrin’. Padahal, di kota Suriah dekat perbatasan Turki itu juga banyak jatuh korban jiwa dari warga sipil akibat bombardir militer Turki yang dibantu kelompok militan dukungan Ankara.

Lukman tak menafikan bahwa tragedi kemanusiaan juga terjadi di tempat lain, seperti Afrin di Suriah dan Yaman yang digempur agresi militer Arab Saudi. Namun, ACT saat ini hanya mengampanyekan ‘Selamatkan Ghouta’ karena Ghouta, dia bilang, menjadi perhatian media dan masyarakat.

“Yaman tidak terlalu terekspos oleh media,” katanya. “Yang kita tangani rata-rata yang menjadi perhatian masyarakat Indonesia.”

ACT juga merasa tak perlu meminta izin kepada Kementerian Sosial terkait penggalangan dana masyarakat untuk Ghouta. “Pemerintah pasti tahu kami kirim bantuan ke Ghouta,” katanya. “Hubungan kami dengan Pemerintah selama ini sangat baik.”

Berbeda dengan ACT, lembaga kemanusiaan Medical Emergency Rescue Committee atau MER-C memilih tak mengirim relawan ke Suriah saat ini. MER-C yang berhasil mendirikan Rumah Sakit Indonesia di Jalur Gaza, Palestina, juga enggan terlibat dalam kampanye ‘Selamatkan Ghouta’.

“Kami tak mau terjebak dalam penggalangan dana yang partisan dan sepotong-potong,” kata Presidium MER-C Joserizal Jurnalis di Bekasi. “Seolah-olah Ghouta dahsyat tapi yang lain tidak.”

Menurut dokter lulusan Universitas Indonesia itu, persoalan Suriah harus dilihat secara luas, sehingga krisis kemanusiaan di sana tak dibeda-bedakan, mulai dari Aleppo, Palmyra, Afrin, hingga Ghouta. Satu bentuk ketidakadilan terjadi, dia bilang, ketika kelompok tertentu hanya mengampanyekan ‘Selamatkan Ghouta’ tapi tidak untuk Afrin. “Mengapa tidak ada ‘Selamatkan Afrin’, padahal warga Kurdi disikat oleh Turki?”

Joserizal mensinyalir, kemunculan kampanye ‘Selamatkan Ghouta’ dipicu terjepitnya kelompok militan tertentu di sana. Amerika Serikat juga, kata Joserizal, pernah berteriak ‘Save Aleppo’ karena kelompok militan yang dibekinginya terdesak oleh militer Suriah di Aleppo pada akhir 2016.

Joserizal mengatakan, karena donasi yang disalurkan adalah amanat publik, MER-C tak ingin memanipulasi masyarakat atas penderitaan suatu tempat dengan kabar bohong. Karena itu, Joserizal mewajibkan relawan MER-C turun langsung ke lapangan tanpa perantara.

Ketika konflik Suriah terjadi pada Maret 2011, MER-C pernah mencoba masuk ke negeri itu. Joserizal sempat berkonsultasi lebih dulu dengan Duta Besar Indonesia di Damaskus.

Sesuai prinsip netralitas MER-C, kata Joserizal, pihaknya ingin menolong korban dari kedua belah pihak, baik Pemerintah maupun pemberontak. Namun, menurut pertimbangan Duta, hal itu tidak mungkin dilakukan.

Di sisi lain, Joserizal melihat peta konflik di Suriah tidaklah sederhana. “Kami tidak turun langsung karena konflik ini agak ruwet,” jelasnya.

Ia pun menginstruksikan relawan MER-C di perbatasan Turki dan Yordania agar tidak masuk ke Suriah. Padahal, perbatasan Turki tak lagi dijaga Pemerintah Suriah, sehingga berbagai lembaga dapat leluasa keluar-masuk.

Joserizal bilang, MER-C bukanlah lembaga kemanusiaan yang bergerak serampangan. Mereka tidak masuk ke negara lain seenaknya tanpa menghormati pemerintahan otoritatif di sana.

“Pemerintahan Suriah masih diakui dunia internasional. PBB tak pernah menyatakan pemerintahan Bashar Assad telah kolaps,” katanya.

Prinsip ini berupaya dijaga oleh MER-C sejak kelahirannya pada 1999. Ketika masuk ke Afganistan pada 2001, MER-C bahkan meminta izin masuk ke pemerintahan Taliban yang berkuasa saat itu.

Jika tidak meminta izin kepada otoritas setempat, misi kemanusiaan justru terancam tidak sampai ke tujuannya. “Kalau tertangkap oleh Pemerintah kan repot,” ujar pria yang pernah masuk ke Baghdad, Irak, saat Amerika menginvasi negeri itu pada 2003.

Ia mengatakan, bantuan bisa saja masuk ke Suriah tanpa izin pemerintahan setempat. Tapi, salurannya dia pastikan melalui jalur pemberontak.

“Secara garis besar, para pemberontak itu ialah Jabhat Nusrah, Jays Al-Islam dan Free Syrian Army,” katanya. “Itu semua satu kubu yang dibantu Turki.”

Karena itu, menurut dia, rata-rata lembaga kemanusiaan yang mendukung pemberontak masuk ke Suriah melalui Turki, bukan lewat Damaskus. Padahal, lembaga kemanusiaan seharusnya bekerja non-partisan.

“Hati boleh saja memihak”, kata Joserizal. “Tapi dalam bekerja harus profesional sebab independensi itu mahal bagi NGO.”

Dalam kondisi seperti di Suriah, menurut Joserizal, misi kemanusiaan lebih baik disalurkan melalui pihak yang paling berwenang, seperti PBB. Donasi masyarakat Indonesia untuk Suriah yang terkumpul dalam rekening MER-C akhirnya digunakan untuk membeli ambulans. Melalui kerja sama dengan Kedutaan Indonesia di Damaskus, ambulans yang dibeli di Qatar itu diserahkan kepada Bulan Sabit Merah Suriah.

Sementara itu, Najih mendorong Pemerintah Indonesia terlibat aktif mengawasi lembaga-lembaga yang menyalurkan bantuan ke Suriah. “Ini supaya duit masyarakat tidak menjadi bahan bakar konflik,” katanya. “Jika donasi itu jatuh ke tangan milisi, artinya kita turut melanggengkan perang di Suriah.” (*)

Advertisements

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA