BERITAALTERNATIF.COM – Harian Lebanon, Al-Akhbar melaporkan bahwa Ansharullah berhasil mendapatkan tuntutan-tuntutannya dalam isu kemanusiaan dan memperoleh jaminan pelaksanaan dari Koalisi Saudi. Berdasarkan kesepakatan ini, gencatan senjata akan diperpanjang selama 6 bulan ke depan.
Delegasi dari Oman dalam lawatan keduanya ke Yaman telah bertemu Ketua Staf Umum Yaman. Dalam pertemuan itu, Sanaa menunjukkan peta pusat-pusat vital yang bisa ditargetkan Yaman kepada delegasi Oman. Ansharullah menegaskan jika Bandara Sanaa tetap ditutup, Bandara Riyadh pun tidak akan diperkenankan untuk beraktivitas.
Pemimpin Ansharullah, Sayyid Abdulmalik al-Houthi selaku tuan rumah juga mengingatkan delegasi Oman, bahwa segala bentuk upaya untuk mencabut larangan ekspor minyak dari selatan dan timur Yaman akan memperluas cakupan serangan Yaman. Ancaman dan peringatan inilah yang menghasilkan kesepakatan terbaru tersebut.
Sumber-sumber ini melaporkan bahwa sebuah delegasi Saudi yang dipimpin Dubes Saudi di Yaman, Mohammad Al Jaber telah mengunjungi Sanaa dan berunding langsung dengan Ansharullah untuk melaksanakan tuntutan-tuntutan terakhir terkait perpanjangan gencatan senjata. Riyadh disebut telah meminta penundaan lawatan Utusan PBB, Hans Grundberg ke Yaman supaya tidak mengganggu jalannya perundingan.
Salah satu tuntutan terpenting Sanaa adalah pembayaran gaji para pegawai Yaman. Menurut kutipan al-Akhbar dari sejumlah sumber, pembayaran gaji para pegawai Yaman ini akan dilakukan berdasarkan daftar tahun 2014. Sebuah pesawat swasta akan membawa gaji-gaji ini tiap bulan ke Sanaa.
Selain itu, destinasi Bandara Sanaa juga akan ditambah dan meliputi tujuan Mesir, Qatar, Yordania, dan Malaysia. Pembatasan impor ke pelabuhan al-Hudaydah juga akan dicabut.
Sebelumnya, Wakil PM Yaman, Jalal al-Ruwaishan menyatakan, jika Koalisi Saudi tidak menunjukkan itikad baik untuk menghentikan agresi, mereka akan menyaksikan hal-hal yang belum pernah terjadi di semua tahap perang ini.
Menurut laporan al-Masirah, al-Ruwaishan menegaskan kesiapan Tentara Yaman untuk segala skenario. “Pasukan kita mampu menyerang target-target yang tidak diduga-duga oleh Koalisi Saudi. Pasukan kita siap kapan pun dan hal ini tidak terbatas pada era terancamnya Yaman saja,” tuturnya.
“Negara-negara agresor bertanggung jawab sepenuhnya atas meningkatnya ketegangan di Kawasan yang disebabkan oleh mereka,” sambungnya.
Ia secara implisit menyinggung serangan Yaman ke fasilitas-fasilitas minyak Saudi. “Saudi tidak memiliki kondisi ideal, sementara Yaman dalam posisi geopolitiknya memiliki kemampuan untuk memengaruhi pasar energi. Yaman tidak akan pernah berada dalam posisi sebagai satu-satunya pihak pecundang (dalam perang ini),” tegasnya.
Al-Ruwaishan mengatakan, meski masih ada perbedaan pandangan dalam perundingan pembayaran gaji pegawai Yaman, namun sudah ada langkah sangat baik yang telah diambil terkait hal ini.
“Delegasi Oman berperan sebagai mediator antara Sanaa dan negara-negara agresor. Ada harapan bahwa hal ini akan terwujud. Namun tiga periode gencatan senjata yang diumumkan PBB menunjukkan bahwa negara-negara agresor tidak punya niat untuk menghilangkan derita rakyat kita,” kata al-Ruwaishan.
“Delegasi Oman membawa pesan-pesan dari negara-negara agresor terkait dengan pembayaran gaji pegawai Yaman, yang jumlahnya sekitar 1 juta 300 ribu orang. Namun dalam pandangan kami, negara-negara agresor semestinya memperkenankan agar gaji 30 juta warga Yaman dibayarkan,” ujarnya.
“Negara-negara agresor berusaha menjadikan isu pembayaran gaji pegawai sebagai salah satu poin yang dirundingkan, padahal ini adalah bagian dari hak bangsa kita,” katanya.
“Kami ingin gaji semua pekerja Yaman, baik sipil maupun militer dibayarkan dengan status mereka sebagai pegawai,” tandas al-Ruwaishan.
Pada April 2022, gencatan senjata yang dicapai dalam perang Yaman di bawah pengawasan utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Hans Grundberg sudah berjalan dan bertahan beberapa bulan serta mengundang rasa senang baik di pihak Yaman maupun pihak Saudi.
Masuknya dua dari 18 kapal tanker minyak yang ditahan ke pelabuhan Hudaydah membawa bahan bakar dan produk minyak untuk pertama kalinya sejak awal tahun 2022 bisa jadi merupakan satu pertanda kuat mengenai keberhasilan gencatan senjata tersebut.
Gencatan senjata itu dicapai setelah terjadi eskalasi militer mencolok di mana kedua pihak Saudi dan Yaman kubu Sanaa saling gempur ketika perang memasuki tahun ke-8 serta terjadi pertemuan-pertemuan langsung di Muscat, ibu kota Oman, antara Saudi dan Yaman.
Menariknya, Pangeran Khalid, Wakil Menhan Saudi, yang juga saudara Putra Mahkota Mohamed bin Salman, adalah orang yang memimpin delegasi Saudi dalam pertemuan langsung dengan delegasi Ansarullah (Houth), dan kemudian diumumkan gencatan senjata oleh Utusan PBB sebagai penyedia payung hukum internasional untuknya.
Terobosan kesepakatan senjata untuk jangka waktu dua bulan pertama sejak April 2022 itu terdorong oleh sejumlah faktor utama sebagai berikut.
Pertama, kedua pihak, terutama Saudi, tampak sudah menemukan titik jenuh dalam menjalani perang. Saudi sudah berkesimpulan bahwa tak mungkin pihaknya dapat memenangi perang, sementara melanjutkannya juga sangat memberatkan, baik dari segi materi maupun jiwa, sehingga harus ada jalan keluar.
Kedua, serangan beruntun Ansarullah dengan menggunakan rudal balistik, rudal jelajah, drone, dan perahu-perahu kamikaze dengan sasaran perusahaan minyak Saudi Aramco di Jeddah, Riyadh, Yanbu, Jizan dan Najran telah mengena semua sasaran dengan akurat. Selain itu, terjadi pula perkembangan baru di mana stasiun-stasiun desalinasi Saudi juga menjadi target serangan Yaman.
Ketiga, terjadi ketegangan dalam hubungan Saudi-Amerika Serikat (AS) terkait dengan perang di Ukraina. Saudi enggan memberi respons positif untuk penurunan harga minyak. Kondisi ini menguntungkan Yaman kubu Sanaa, sementara AS dan Rusia yang berurusan dengan perang di Ukraina juga sama-sama mengharapkan simpati dari Saudi dengan semua konsekuensinya.
Keempat, perundingan nuklir Iran dengan sejumlah negara besar dunia, termasuk AS secara tidak langsung, kerap dikabarkan sudah mendekati final. Dan terjadi pula kondisi polarisasi internasional serta muncul aliansi baru Arab ala NATO anti-Iran di bawah pimpinan Israel.
Saudi tampak menahan diri dari keterlibatan langsung dalam aliansi ini, dan karena itu bisa jadi Riyadh akan terkucil, mengingat bahwa semua anggota aliansi itu adalah negara-negara Arab yang kerap dipropagandakan sebagai “moderat” dan sekutu Washington.
Mengenai masuknya dua kapal tanker minyak ke pelabuhan Hudaydah, Yaman, hal ini memang baru memenuhi 10% kebutuhan minyak Yaman. Hal serupa juga terjadi berkenaan dengan pembukaan penerbangan pesawat dari Bandara Sanaa ke Kairo dan sebaliknya.
Namun, perkembangan ini cukup signifikan karena menjadi titik awal untuk pemecahan blokade aliansi pimpinan Saudi terhadap Yaman yang sudah berjalan tujuh tahun.
Kegembiraan yang mewarnai Yaman usai pengumuman gencatan senjata, membaiknya nilai tukar mata uang riyal Yaman, dan meningkatnya jam operasi layanan listrik Yaman, semua ini menjadi alasan tersendiri bagi setiap orang untuk membuat prediksi baik.
Bagaimana pun juga, berhentinya aksi saling gempur antara Saudi dan Yaman adalah perkembangan yang melegakan banyak pihak. Dan setiap orang tentu layak berharap gencatan senjata dua bulan itu dapat bertahan dan menjadi pendahuluan yang serius bagi iktikad baik kedua pihak untuk menyudahi pertumpahan darah yang menjatuhkan banyak korban, menyengsarakan banyak orang, dan menimbulkan tragedi kerusakan dan kekacauan yang sulit dilukiskan dengan kata. (*)
Sumber: Liputan Islam