BERITAALTERNATIF.COM – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) sekaligus politisi PDI Perjuangan Ahmad Yani menanggapi kasus sangketa lahan yang melibatkan masyarakat adat dan PT Budi Duta Agromakmur (BDA).
Pendapat ini disampaikannya untuk menjawab sejumlah kritik publik terhadap kinerja DPRD Kukar yang dianggap abai atas kasus pencaplokan lahan yang merugikan warga yang bermukim di kawasan Loa Ipuh dan Jahab.
Pihaknya telah melihat langsung lahan sengketa tersebut serta berdiskusi dengan masyarakat adat. Hasil diskusi dengan warga akan dijadikannya sebagai bahan kajian untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Setelah diteliti, dia menyimpulkan bahwa sebagian besar lahan yang menjadi obyek sengketa itu merupakan hak milik warga setempat yang dicaplok secara sepihak oleh PT BDA.
Namun, ia mengaku kesulitan mengembalikan lahan yang tengah dicaplok perusahaan agar bisa kembali kepada genggaman masyarakat adat. Sebab, lahan masyarakat yang digusur itu masih beralaskan izin HGU yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kaltim kepada PT BDA.
Yani menjelasakan, sosialisasi serta ketelitian pemerintah yang minim dalam bernegosiasi dan berkomunikasi dengan warga setempat sebelum penerbitan izin usaha PT BDA menjadi penyebab awal serangkaian konflik yang saat ini kian memanas antara kedua belah pihak.
Dia pun mendesak Pemkab Kukar bertanggung jawab dalam penyelesaian kasus tersebut. Caranya, Pemkab harus memfasilitasi warga dan aktivis di Kukar, yang hendak merebut kembali lahan yang menjadi sumber pendapatan masyarakat setempat.
“Sekarang sudah terjadi, dan itu sudah jadi izin. Sudah jadi HGU. Masyarakat harus bersuara. Harus memprotes, dan perlu difasilitasi oleh pemerintah karena pemerintah sendiri yang bikin ulah,” ucapnya kepada awak media Berita Alternatif pada Jumat (4/10/2024).
“Sebenarnya enggak perlu terjadi masalah kalau diteliti lebih awal. Kalau dia hanya di atas kertas, izinnya terbit, sementara izinnya di situ ada rumah, ada harkat masyarakat, kan susah,” sambungnya.
Di sisi lain, ia menilai BPN Kaltim sebagai pihak yang berwenang dalam menerbitkan sertifikat HGU PT BDA tak bisa disalahkan sepenuhnya dalam kasus ini.
Pasalnya, HGU tersebut dibuat atas izin Dinas Pekebunan Kukar, yang dianggapnya tidak detail delam meneliti setiap jengkal lahan, sehingga kawasan yang seharusnya menjadi milik warga sekitar dicaplok oleh perusahaan.
Karena itu, Yani menyebut HGU bisa terinklaf apabila Dinas Pekebunan Kukar bersedia memetak ulang dengan detail luas lahan guna menetapkan batas yang jelas antara tanah yang menjadi hak warga adat dan PT BDA. “Dia (Dinas Perkebunan) yang memulai, dia juga yang mengakhiri,” ujarnya.
Sebagai penyambung lidah masyarakat, ia berkomitmen untuk tetap konsisten dalam menyuarakan serta memperjuangkan hak masyarakat adat setempat.
Dia menyebut intervansi Pemkab Kukar dalam menyelesaikan konflik tersebut terbilang minim, khususnya dukungan pemerintah dalam memfasilitasi dan melakukan mediasi antara perusahaan dan masyarakat adat yang melayangkan protes atas kasus ini.
“Selama ini sudah berkonflik dan tidak juga pernah difasilitasi. Akhirnya yang terjadi ribut tuding menuding, sehingga tidak ada ujungnya,” jelas Yani.
Apabila upaya pembebasan lahan masyarakat dari cengkerakaman perusahaan melangami kegagalan serta kemandegan, kata dia, DPRD Kukar akan mengajak para pihak yang berselisih untuk menyelesaian masalah tersebut secara kekeluargaan.
Guna mengantisipasi masalah ini semakin besar, ia meminta pimpinan PT BDA mendukung langkah tersebut. Pasalnya, pertemuan kedua belah pihak untuk berembuk dan berdiskusi diharapakan dapat melahirkan jalan tengah yang sama-sama menguntungkan kedua belah pihak.
“Kalau itu (inklaf) tidak bisa, bisa aja ada kerja sama. Misalnya adanya kerja sama dari pihak perusahaan dan warga setempat yang merasa mempunyai lahan. Bisa aja mereka mengelola lahan tersebut, tapi izinnya masih di atas HGU PT BDA,” pungkasnya. (*)
Penulis: Ulwan Murtadho
Editor: Ufqil Mubin