Search
Search
Close this search box.

Salju di Aleppo

Listen to this article

Oleh: Dina Sulaeman*

Salju pertama turun di Aleppo. Hari itu tanggal 21 Desember 2016, sepekan setelah tentara Suriah (Syrian Arab Army, SAA) mengambil alih Aleppo timur yang telah diduduki oleh kelompok-kelompok milisi bersenjata selama lima tahun.

Lapisan salju putih menutupi rumah susun, sekolah, dan berbagai gedung yang sudah menjadi puing. Lubang-lubang bekas peluru tampak di sana-sini. Lima tahun yang lalu, tak pernah ada yang membayangkan Aleppo akan seperti ini.

Advertisements

Beberapa tahun sebelumnya, bulan Desember selalu membawa keceriaan. Awan keperakan yang menggayut di langit Aleppo menandai turunnya butir-butir salju. Perlahan namun pasti, butiran salju itu akan menyelimuti bukit-bukit hijau di sekitar kota. Benteng Aleppo yang megah menjadi semakin eksotis dengan nuansa putih yang mengharu-biru.

Lima tahun yang lalu, tak ada yang membayangkan, kota tertua di dunia; kota yang menyimpan warisan kekayaan dunia (UN World Heritage) dan salah satu pusat tujuan turisme dunia itu, akan menjadi bangkai yang membeku seperti ini. Aleppo selama lima tahun ini menyimpan banyak kisah getir dalam kesunyian. Setelah milisi bersenjata meninggalkan Aleppo timur, penduduk sipil dievakuasi karena seluruh infrastruktur di sana sudah hancur lebur. Mereka dipindahkan ke kamp-kamp pengungsi. Proses evakuasi dimulai tanggal 15 Desember, hasil dari negosiasi panjang di antara pihak milisi bersenjata versus pemerintah Suriah. Milisi bersenjata yang sudah terdesak akhirnya bersedia meninggalkan Aleppo timur, diangkut dengan bis-bis berwarna hijau menuju provinsi Idlib yang berbatasan dengan Turki. Sebaliknya, rakyat sipil yang selama lima tahun terjebak di bawah kekuasaan milisi bersenjata juga dibebaskan untuk dievakuasi ke wilayah Aleppo barat agar lebih mudah mendapatkan akses air, listrik, makanan, selimut, dan perawatan medis.

Pada 25 Desember, warga Aleppo merayakan Natal dengan sangat meriah; perayaan Natal pertama dalam lima tahun terakhir; Natal yang dirayakan tak lama setelah terusirnya milisi bersenjata dari wilayah mereka. Tak heran bila Natal ini dirayakan dengan gempita oleh umat Kristiani maupun Muslim sekaligus. Ini bukan Natal seperti biasanya. Bahkan media-media mainstream yang selama ini bersuara negatif terhadap pemerintah Suriah (karena mereka sejak awal konflik telah berpihak pada agenda penggulingan Assad), tak bisa menutupi fenomena ini. Video dan foto warga Aleppo yang bersuka cita yang disebarkan media massa jelas kontradiktif dengan berita yang disebarkan beberapa hari sebelumnya mengenai ‘Holocaust di Aleppo’, ‘genosida di Aleppo’, ‘wanita Suriah rela mati daripada diperkosa tentara Assad’, atau tagar #SaveAleppo di media sosial yang disertai foto-foto anak-anak dalam kondisi menyedihkan, yang ternyata itu pun bukan foto anak-anak dari Aleppo.

Mantan Duta Besar Inggris untuk Suriah, Peter Ford, dalam wawancaranya dengan BBC, berkomentar, “Lihat, malam ini ada Pohon Natal di Aleppo dan orang-orang berpesta. Saya pikir jika Assad dijatuhkan, dan pihak oposisi masih berkuasa, Anda tak akan melihat Pohon Natal di Aleppo. Penghancuran rezim telah dilakukan selama kurun waktu yang gila. Bahkan krisis ini diakhiri dengan bus-bus berwarna hijau [untuk mengevakuasi milisi]. Tidak ada bus hijau ketika NATO membombardir Yugoslavia hingga berkeping-keping.”

Ya, alih-alih ‘genosida’ (pembunuhan massal), yang terjadi adalah para milisi bersenjata yang berafiliasi dengan Al Qaida itu difasilitasi untuk pergi keluar Aleppo.

UNHCR, lembaga PBB khusus penanganan pengungsi, melaporkan bahwa pada tanggal 22 Desember, proses evakuasi selesai dilakukan. Sebanyak 36.000 orang [milisi bersenjata, keluarga mereka, dan warga sipil yang promilisi] pindah ke Idlib [wilayah yang masih dikuasai oleh milisi bersenjata], dan 95.000 orang lain tetap berada di Aleppo. Dari angka 95.000 ini, 47.500 tetap tinggal di Aleppo timur, 38.750 mengungsi ke Aleppo barat, dan 4.250 sisanya tinggal di kamp pengungsian di Jibreen.

Angka merupakan hal yang dikritisi oleh jurnalis Inggris papan atas, Robert Fisk. Media mainstream sejak awal mengulang-ulang narasi adanya 250.000 Muslim korban ‘serbuan’ tentara Suriah dan Rusia di Aleppo timur. Belakangan, ketahuan bahwa hanya sekitar 30.000-an orang yang memilih dievakuasi ke Idlib, dan lebih banyak lagi yang pergi ke Aleppo Barat. Perkiraan Fisk, yang terjebak di Aleppo timur tak lebih dari 90.000 orang. Anehnya, setelah angka-angka yang lebih pasti itu keluar, tak pernah ada upaya meralat pemberitaan bombastis sebelumnya. Angka 250.000 yang sebelumnya sangat ditekankan dalam setiap laporan mengenai ‘blokade Aleppo timur’ saat ini dilupakan atau diabaikan oleh mereka yang mengutipnya.

Fisk juga memprotes keras soal kredibilitas sumber data. Menurut Fisk, media massa Barat mendapatkan sumber beritanya dari media sosial dan narasumber dari kalangan milisi bersenjata. “Kredibilitas jurnalisme—dan politisi—telah sangat rusak akibat penerimaan pada satu sisi cerita karena tidak ada satu pun reporter yang bisa mengkonfirmasi dengan matanya sendiri atas hal-hal yang mereka laporkan,” tulis Fisk.

Puing-puing Aleppo ternyata juga menyimpan kegetiran, kebohongan, dan fitnah yang menggila. Dalam atmosfer yang dipenuhi dengan bau darah, kebrutalan, dan kebencian, rakyat Aleppo berjuang dalam kesunyian. Berita yang sampai kepada warga dunia tentang kota itu hanya berasal dari satu sisi yang memiliki kepentingan tertentu.

Inilah yang ingin saya ungkapkan dalam buku ini: pengimbangan informasi. Masyarakat sudah dijejali informasi sepihak dan satu sisi cerita. Buku ini akan mengungkap sisi lainnya, yang tidak dimuat oleh media mainstream maupun media-media ‘Islam’. Menarik untuk diamati dan dikritisi, kedua jenis media ini (media Barat dan media ‘Islam’) biasanya ‘bermusuhan’ satu sama lain. Namun anehnya, keduanya seiring sejalan dalam isu ‘jihad’ Suriah.

Begitu juga, pemerintah negara-negara Barat biasanya anti pada radikalisme Islam dan bahkan meluncurkan Perang Melawan Terorisme sejak 2001. Berbagai negeri dengan penduduk mayoritas Muslim telah mereka gempur dengan alasan menumpas terorisme. Physicians for Social Responsibility (PRS) pada Mei 2015 merilis hasil penelitian mereka, menyimpulkan bahwa total korban tewas selama 10 tahun Perang Melawan Terorisme (2001-2011) di Irak, Afghanistan, Pakistan adalah antara 1,3 juta hingga 2 juta jiwa. Ini belum dihitung korban di negara-negara mayoritas Muslim lainnya. Selama 8 tahun masa pemerintahan Obama, selain tiga negara yang sudah disebut, AS juga mengebom Somalia, Yaman, Libya, dan Suriah. Selama tahun 2016 saja, rata-rata setiap jamnya AS menjatuhkan 3 bom di 7 negara tersebut. Alasan yang dipakai adalah memerangi teroris Al Qaida dan ISIS. Namun mengapa untuk Suriah, kelompok-kelompok yang mereka gempur selama ini justru mereka dukung?

Tentu saja, awalnya, dukungan itu tidak sedemikian vulgar dan terbuka. Akhirnya, seiring waktu, dukungan Barat kepada Al Qaida dan ISIS di Suriah semakin tidak bisa disembunyikan lagi. Bukti-buktinya sedemikian gamblang, seiring dengan kekuatan media sosial dan media alternatif yang membuat berbagai fakta dan data sangat sulit disembunyikan. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Inilah salah satu pertanyaan yang akan dijawab dalam buku ini.

Pertanyaan-pertanyaan tentang Suriah menjadi penting untuk dijawab karena imbas konflik Suriah telah mempengaruhi Indonesia dengan cukup dahsyat. Tidakkah Anda merasakan, sejak 2012, publik Indonesia seolah berubah drastis? Ujaran kebencian di mana-mana. Orang-orang dengan mudah mengkafir-kafirkan pihak lain. Para pendukung ‘mujahidin’ Suriah secara serempak dan masif menyebarkan narasi ‘Syiah membantai Sunni di Suriah’ melalui media sosial, majelis taklim, seminar, siaran radio, dan televisi.

Api kebencian membakar ke berbagai arah, bahkan menjalar dalam pertarungan pilpres Indonesia 2014, sampai sekarang. Seruan ‘bunuh, gantung, penggal’ dengan terbuka diucapkan tokoh-tokoh di depan publik, atau di media sosial. Survey menunjukkan bahwa hampir 50% pelajar di 100 SMA di Indonesia terpapar paham radikalisme. Sungguh, Indonesia tengah menjalani sebuah fase yang amat penting diwaspadai.

Musim salju merupakan masa transisi menuju musim semi. Semua manusia yang berhati nurani berdoa agar rakyat Suriah kembali mendapati musim semi yang indah seperti di tahun-tahun sebelum perang. Dan kita rakyat Indonesia bisa belajar untuk waspada agar kehancuran Suriah tidak menjalar ke negeri ini. (*Penulis buku Salju di Aleppo)

Advertisements

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA