Search

Ali Syariati adalah Potret Muslim Revolusioner

Ali Syariati. (Ngopibareng)

Oleh: Bahry Al Farizi

Ali Syariati adalah salah satu intelektual muslim revolusioner dan berpengaruh yang berasal dari Iran. Beliau merupakan salah satu tokoh kunci keberhasilan revolusi Iran. Lewat berbagai tulisan serta kuliah yang ia berikan, ia mampu mempengaruhi opini publik rakyat Iran supaya memahami Islam secara emansipatoris sekaligus revolusioner.

Sepak terjang Syariati berujung jatuhnya rezim diktator Shah Pahlevi yang telah lama menjadi musuh bagi kaum progresif Iran. Keberpihakan Syariati kepada wong cilik membawanya pada suatu pengembaraan intelektual yang panjang.

Advertisements

Profil Ali Syariati

Syariati sangat mengagumi sosok ayahnya, Muhammad Taqi Syari’ati, seorang ulama besar sekaligus penggerak intelektualisme Iran yang lebih memilih hidup di tengah padang pasir Kavir dibanding bermewah-mewahan di Teheran.

Sedangkan dari jejak Intelektual, Syariati dipengaruhi oleh pemikir-pemikir Barat seperti Frantz Fanon (intelektual revolusioner asal Prancis), George Gurvich (membelot menantang rezim Stalin dan menentang penjajahan Prancis atas Aljazair), dan Louis Massignon (pemikir Katolik progresif). Kebenciannya atas kolonialisme maupun imperialisme Barat kepada dunia ketiga tidak membuatnya alergi menimba ilmu dari intelektual Eropa.

Selain dikenal sebagai akademisi, Syariati juga dikenal sebagai aktivis yang kerap masuk keluar penjara dengan tuduhan subversif kepada pemerintah. Aktivisme serta keberpihakannya terhadap kaum tertindas kemudian mengantarnya menjadi Intelektual Muslim yang diperhitungkan di dunia.

Perlu digarisbawahi, Syariati adalah penganut Islam Syiah. Oleh karenanya, Islam revolusioner yang digagas Syariati kental dengan nilai-nilai Islam Syiah. Beliau sangat menjiwai perjuangan Imam Husein as dan imam-imam Syiah yang terbunuh sebagai Syuhada’. Imam Ali bin Abi Thalib as disebutnya “telah mengorbankan hidupnya untuk menegakkan suatu mazhab pemikiran, persatuan dan keadilan,” tulis Jalaluddin Rahmat dalam pengantar buku Ideologi Kaum Intelektual.

Tetapi sayang, beliau meninggal sebelum menyaksikan kemenangan rakyat Iran atas rezim diktator Shah Pahlevi pada 10 Muharram 1398 H/1978 M. Ada yang mengatakan ia terkena sakit jantung, tetapi dugaan kuat ia dibunuh oleh polisi rahasia Shah, SAVAK, yang terkenal kejam.

Intelektual yang Radikal

Jangan sampai kita salah paham dengan pemaknaan radikal di sini. Yang dimaksud sebetulnya ialah “berpikir secara mendalam, menyentuh akar persoalan dan menyediakan solusi terarah”. Menjadi radikal dalam konteks dunia pemikiran merupakan syarat sah seseorang dapat dipredikatkan sebagai thinker atau pemikir.

Seorang radikal tidak mesti menggunakan kekerasan dalam melancarkan aksinya. Termasuk Syariati berusaha mendamaikan konsep perang kelas marxisme dengan tauhid pembebasan perspektif Syiah. Lebih memilih propaganda lewat orasi beserta pena dibanding dengan senjata. Pun revolusi Iran 1978 penuh dengan darah.

Tokoh Reformasi kita, Prof. Amien Rais mengungkapkan kekagumannya dalam pengantar buku Tugas Cendekiawan Muslim terjemahan dari karya Syariati, “Beberapa buku almarhum Dr. Ali Syariati pernah saya baca dan setiap selesai membaca buku-buku itu, saya benar-benar mendapat wawasan baru tentang Islam dan kehidupan modern. Yang khas dari Syariati adalah keradikalan berpikirnya serta keterusterangannya untuk memberikan penilaian pada berbagai masalah sosial di dunia Muslim pada umumnya dan Iran pada khususnya.”

Kendati konteks permasalahan yang dihadapi Syariati berbeda dengan apa yang dihadapi di Indonesia, menurut Prof. Amien, butir-butir pemikirannya dapat dikaitkan dengan problematika yang mendera umat Islam di Indonesia yang terancam dengan kebekuan berpikir.

Dan permasalahan ini masih mengelilingi kita sampai sekarang. IBTimes.ID saja kerap mendapatkan tuduhan sebagai agen liberal dari beberapa orang. Bukan bermaksud menghakimi, namun sempitnya perspektif dalam memandang keragaman pemikiran dapat menyebabkan umat Islam berjalan mundur ke belakang. Bahkan bisa saja terjatuh dalam pertikaian yang tak ada habisnya.

Rausyan Fikr

Islam tidak hanya membahas dimensi spiritual semata, tetapi juga dimensi sosial-kemanusiaan. Maka Islam sebagai agama memiliki fungsi multidimensi terhadap keharmonisan hidup antara manusia dan alam.

Tidak berhenti sampai di situ, menurut Syariati, Islam bukan sekadar agama melainkan juga ideologi. Tidak seperti marxisme menganggap bahwa ideologi adalah kesadaran palsu, bagi Syariati, ideologi adalah kesadaran khas manusia yang dapat membimbingnya menuju kemerdekaan.

Ideologi adalah pandangan atau sikap yang menghilangkan netralitas terhadap sesuatu. Karena netralitas hanya membawa kita pada obyektivitas, sedangkan obyektivitas di sini telah disuapkan oleh Barat kepada kita. Obyektivitas dikonstruksi oleh kelas yang berkuasa sehingga seorang pemikir tidak bisa memberikan solusi nyata bagi masyarakat karena hanya bekerja sesuai standar ilmiah semata, bukan amaliah.

Bagi Syariati, ideolog tidak melulu seorang akademisi yang sibuk mengkaji teori dan teori. Kesadaran ideologis tumbuh tanpa mengenal apakah seseorang itu adalah akademisi, intelektual, ilmuwan, teoritis, atau hanya seorang penggembala kambing. Dibuktikan, seorang nabi tidaklah melulu berasal dari kelas yang berkuasa. Kebanyakan berasal dari kelas yang tertindas, Syariati menyebutnya sebagai ummiUmmi adalah karakter kelas bawah yang tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis, tetapi kesadaran ideologisnya tumbuh untuk menentang kemapanan yang diciptakan oleh kelas yang berkuasa.

Intelektual muslim berideologi seperti itu, kelak oleh Syariati disebut sebagai Rausyan Fikr atau seseorang yang mengikuti ideologi yang dipilihnya secara sadar. Bermakna pula pemikir yang sadar dengan kondisi masyarakat, turun untuk mencari solusi bersama lalu bertindak untuk mengubahnya ke keadaan yang lebih baik.

Kesimpulan

Peranan yang dimainkan oleh Rausyan Fikr berbeda dengan para filosof. Syariati memberikan contoh mengenai peradaban Yunani yang penuh dengan akademisi, ilmuan, maupun filosof. Aristoteles bukanlah Rausyan Fikr, sebab ia tidak memelopori satu pun gerakan sosial. Rausyan Fikr harus berwujudkan dari intelektual, aktivisme, dan spiritualitas.

Beginilah peran Nabi Muhammad Saw sebagai utusan Allah. Dan begitulah seharusnya intelektual muslim ideologis. Pengutusan Nabi Muhammad bukan hanya sekadar memperbaiki akhlak manusia, tetapi juga membawanya menuju pembebasan sejati dari kaum-kaum pengisap yang senantiasa berbuat kerusakan di atas bumi. (*)

Sumber: Ibtimes.id

Advertisements

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
POPULER BULAN INI
Advertisements
INDEKS BERITA