Search
Search
Close this search box.

Aliansi Akademisi Desak Aparat Hentikan Kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat Laman Kinipan

Listen to this article

Samarinda, beritaalternatif.com – Konferensi pers bertajuk Dari Akademisi untuk Kinipan, Kembalikan Hak Masyarakat Hukum Adat Laman Kinipan didukung 18 lembaga dan akademisi sebanyak 24 orang dari berbagai lembaga di Indonesia.

Dalam konferensi persnya, Aliansi Akademisi untuk Kinipan mengatakan, negara harus mengakui sepenuhnya Masyarakat Hukum Adat Laman Kinipan beserta hak-hak tradisionalnya.

Mereka menyebutkan, sudah sewajarnya perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat segera diwujudkan, agar ketentuan Pasal 18B UUD 1945 mampu menolong keadaan masyarakat hukum adat yang semakin terpinggirkan. Selain itu, tujuannya mempertahankan pluralitas kehidupan berbangsa dan bernegara.

Advertisements

Hal itu ditegaskan dalam ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.”

Aliansi menegaskan, Masyarakat Adat Kinipan yang terletak di Desa Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah ini sudah mendapatkan pengakuan dari negara.

Bentuk usahanya, mengidentifikasi wilayah adat, pengajuan permohonan wilayah adat dan hak-hak tradisionalnya kepada pemerintah daerah hingga gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

“Perjuangan yang sudah dilakukan bertahun-tahun itu belum juga membuahkan hasil. Justru semakin sulit dengan masuknya PT Sawit Mandiri Lestari (PT SML),” kata Aliansi Akademisi untuk Kinipan dalam press release-nya yang diterima media ini pada Kamis (22/7/2021).

Berdasarkan pembagian ruang menurut adat setempat, kualifikasi ruang Masyarakat Hukum Adat Laman Kinipan dibagi atas hutan adat, pemukiman (laman), dan penyaduan yang terdiri dari dukuh, bekas ladang (babas), perkebunan, dan huma.

Namun, PT SML tetap diberikan izin usaha dan hak atas tanah untuk beroperasi, kendati Masyarakat Hukum Adat Laman Kinipan secara tegas menolak PT SML.

Perusahaan yang sudah mengantongi surat keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang izin pelepasan hutan seluas 19.091 hektare itu juga diizinkan melakukan kegiatan usaha di lahan seluas sekitar 9.435 hektare oleh Kementerian Agraria dan Lingkungan Hidup dan Tata Ruang.

Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Tengah, sejak PT SML beroperasi antara tahun 2012 hinggan 2020, wilayah Masyarakat Hukum Adat Laman Kinipan yang dicaplok perusahaan seluas 4.541,12 hektare.

Luasan tersebut didapatkan dari hasil pemetaan dengan menggunakan citra satelit dengan rincian seluas 2.625,18  hektare di antaranya sudah berupa Hak Guna Usaha (HGU) PT SML dan 1.857,57 hektare hutan adat sudah dibabat untuk pembukaan lahan.

Aliansi Akademisi untuk Kinipan mengungkapkan, izin usaha dan hak atas tanah PT SML yang diklaim Masyarakat Hukum Adat Laman Kinipan yang masuk dalam wilayah adatnya memicu konflik, bahkan konflik ini berujung pada tindakan kriminalisasi terhadap masyarakat.

“Tercatat ada 6 orang masyarakat hukum adat yang ditangkap dan ditahan oleh aparat kepolisian,” beber Aliansi tersebut. Efendi Buhing selaku ketua Komunitas Adat Laman Kinipan dan Riswan selaku kaur beserta 4 masyarakat hukum adat “ditangkap secara paksa oleh personel Polda Kalimantan Tengah.”

Kata Aliansi, penangkapan dan penahanan terhadap masyarakat adat yang memperjuangkan wilayahnya merupakan pengingkaran terhadap hak-hak tradisional masyarakat hukum adat.

Selama ini, lanjut Aliansi, pemanfaatan sumber daya alam cenderung menjadi monopoli antara pemerintah dan pemodal. Sementara peran warga negara, khususnya masyarakat hukum adat, nampak seperti dipinggirkan. Padahal peran mereka telah diakui dengan tegas dalam putusan MK Nomor 122/PPU-XIII/2015 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.

MK berpendapat, “Musyawarah yang dilakukan antara pelaku usaha perkebunan dengan masyarakat hukum adat dilakukan dengan posisi setara dan memberikan sepenuhnya hak masyarakat hukum adat untuk menolak penyerahan jika tidak terdapat kesepakatan”.

Aliansi menegaskan, pelaku usaha, meski mendapatkan lampu hijau melalui perizinan yang diberikan pemerintah, tetapi warga negara tetap mempunyai hak untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan terhadap penyerahan tanahnya.

“Negara dan pemodal seharusnya mengakui keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, kendatipun belum mendapatkan pengakuan secara formil sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan,” tegas Aliansi.

Karena itu, upaya kriminalisasi terhadap masyarakat hukum adat yang menduduki tanah demi kepentingan adatnya adalah pelanggaran atas hak tradisional masyarakat hukum adat.

Pasalnya, dalam putusan MK Nomor 55/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undng Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, MK berpendapat, penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang a quo tidak tepat jika hal tersebut dikenakan terhadap orang yang menduduki tanah berdasarkan hukum adat karena timbulnya hak-hak adat adalah atas dasar ipso facto.

Artinya, seseorang membuka, mengerjakan, dan memanen hasilnya atas kenyataan bahwa ia telah mengerjakan tanah tersebut secara intensif dalam waktu yang lama, sehingga hubungan seseorang dengan tanah semakin intensif, sebaliknya hubungan tanah dengan hak ulayat semakin lemah.

Kata Aliansi, berkaitan dengan belum adanya pengakuan formil masyarakat hukum adat dari negara melalui pemerintah, hal ini tidak bisa dijadikan dasar bagi pemerintah dan pemodal untuk beroperasi di dalam wilayah adat masyarakat hukum adat.

Sebab, MK berpendapat, sebelum dilakukan penelitian untuk memastikan keberadaan masyarakat hukum adat dengan batas wilayahnya yang jelas sebagaimana dimaksud penjelasan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Perkebunan, sulit menentukan siapa yang melanggar Pasal 21 dan dikenakan pidana Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perkebunan.

Oleh karena itu, sepanjang penelitian untuk memastikan keberadaan masyarakat hukum adat dengan batas wilayahnya tersebut belum dilakukan, maka seharusnya negara tidak memberikan izin bagi para pemodal untuk beroperasi dalam wilayah yang diklaim oleh masyarakat hukum adat sebagai wilayah adatnya.

“Termasuk siapa pun tidak memiliki dasar yang memadai untuk melakukan upaya krimininalisasi terhadap masyarakat hukum adat, yang berjuang mempertahankan wilayah adatnya,” tegas Aliansi.

Adapun tuntutan para akademisi yang tergabung dalam Aliansi Akademisi untuk Kinipan antara lain, mendesak negara, khususnya pemerintah untuk menjalankan kewajiban konstitusional dengan memberikan pengakuan secara penuh kepada Masyarakat Hukum Adat Laman Kinipan.

Negara juga harus mengubah cara pandang formalistik terhadap pengakuan masyarakat hukum adat. Kendatipun belum ada pengakuan secara formal, tidak berarti menghilangkan eksistensi atau keberadaan masyarakat hukum adat.

Aliansi juga mendesak Panitia Masyarakat Hukum Adat Laman Kinipan, serta Pemerintah Kabupaten Lamandau, Kalimantan Selatan, untuk bekerja secara profesional dalam mendukung percepatan proses identifikasi, verifikasi, validasi, serta pengukuhan Masyarakat Hukum Adat Laman Kinipan. “Agar setiap tahapan dilakukan secara partisipatif, dengan melibatkan Masyarakat Hukum Adat Laman Kinipan secara penuh,” tegas Aliansi.

Selain itu, mereka mendesak agar semua pihak menghentikan segala bentuk intimidasi, politik ‘adu domba’ antar-masyarakat, maupun kriminalisasi terhadap Masyarakat Hukum Adat Laman Kinipan yang memperjuangkan hak-hak tradisionalnya.

“Menjamin terpenuhinya batas-batas wilayah yang menjadi hak Masyarakat Adat Laman Kinipan; membatalkan segala bentuk perizinan yang mengganggu, melanggar, dan mengabaikan upaya pengakuan batas wilayah Masyarakat Hukum Adat Laman Kinipan,” tegas Aliansi.

“Memberikan akses yang seluas-luasnya kepada Masyarakat Hukum Adat Kinipan terhadap hak-hak adat yang melekat secara turut-temurun sebagai bentuk perlindungan, pengakuan dan pemenuhan terhadap hak-hak dasar dan hak asasi manusia pada Masyarakat Hukum Adat Kinipan,” pungkas Aliansi tersebut. (*)

Penulis: Arif Rahmansyah

Advertisements

Kunjungi Berita Alternatif di :

Bagikan

Advertisements

BERITA TERKAIT