BERITAALTERNATIF.COM – Kegiatan ship to ship transfer oleh beberapa perusahaan yang terjadi di Kecamatan Muara Badak khususnya di perairan Muara Berau mendapat gugatan class action dari para nelayan.
Kuasa hukum para nelayan Muara Badak, Agus Shali menjelaskan, gugatan class action merupakan gugatan perseorangan atau lebih yang bersifat keperdataan yang dilatarbelakangi fakta hukum yang sama pada suatu kelompok.
Kata dia, jika ada suatu kejadian yang melibatkan satu kelompok atau lebih dan menimbulkan kerugian akibat pelanggaran hukum pada fakta yang sama, maka tidak perlu ribuan orang dalam kelompok tersebut sama-sama melaporkan namun bisa diwakili oleh satu atau dua orang.
Agus menyebutkan, di Kecamatan Muara Badak terdapat satu kegiatan alih muat batu bara atau ship to ship transfer dari ponton ke vessel yang radiusnya sangat dekat dengan aktivitas para nelayan.
Kata dia, jika mengacu pada Peraturan Pemerintah Provinsi Kaltim, zona ekslusif perairan tersebut seharusnya 12 mil. Namun kondisi di Muara Berau hanya berjarak 5-7 mil dari muara.
“Adanya kegiatan itu dari 2010 menimbulkan gejolak di para nelayan yang mencari nafkah terbatas akibat aktivitas itu,” ungkap Agus.
Di Muara Berau, kata dia, ratusan kapal yang beraktivitas dinilai mengganggu dan menyebabkan kerugian bagi pendapatan para nelayan.
Ia menyebutkan, pada 2018 lalu, Gubernur Kaltim telah membentuk Tim Satgas untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
Tim itu, kata Agus, terdiri dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi Unmul, Dinas Perikanan dan Kelautan maupun Dinas Lingkungan Hidup.
Dari hasil penelusuran Tim Satgas, terbukti bahwa para nelayan mengalami kerugian yang sangat besar akibat aktivitas ilegal yang dilakukan oleh para perusahaan nakal tersebut.
Sekitar 1300 nelayan terutama nelayan tangkap, pancing, jaring, bagan maupun tambak mengalami kerugian mencapai Rp 400 miliar sejak 2010 lalu.
“Maka gugatan kami selaku kuasa hukumnya hari ini melalui class action mencapai Rp 536 miliar sebagaimana hitungan dinas perikanan, jadi kita tidak mengada-ada,” tuturnya.
Agus mengatakan, akibat aktivitas kapal perusahaan tersebut membuat ikan berkumpul di lampu kapal namun nelayan tidak boleh masuk ke wilayah itu. Sampah dari aktivitas kapal yang tidak dikelola juga menimbulkan kerusakan jaring para nelayan.
Kemudian debu dari aktivitas alih muat batu bara dinilai merugikan nelayan tambak. Dari aktivitas tersebut membuat air di tambak terkontaminasi oleh debu.
Kata Agus, dulu para pengepul di Muara Badak mendapati sampai 21 ton udang dalam sekali panen.
Akibat aktivitas ilegal tersebut, udang sekarang yang didapatkan hanya berkisar 2 sampai 3 ton saja.
“Kerugian jangka panjangnya sangat terlihat. Lebih parah lagi, memang pencemarannya kurang nampak secara kasat mata namun karena di sana kegiatannya ilegal sehingga tidak ada proses analisis dampak lingkungan yang benar,” ujar Agus.
Kata dia, menurut aturannya, setiap batu bara yang diangkut ke muara seharusnya dilakukan pemurnian terlebih dahulu sehingga debunya tidak berhamburan dan mencemari lingkungan.
“Itu yang menimbulkan kerugian secara materil bagi para nelayan,” tegas Agus.
Ia juga menyebutkan, di Muara Badak, angka putus sekolah semakin tinggi. Hal itu disebabkan pendapatan para nelayan yang berkurang dan berdampak pada kesejahteraan keluarganya.
“Jangka panjangnya di sana banyak anak putus sekolah karena pendapatan orang tuannya menurun karena untuk bertahan hidup saja kurang,” tutupnya. (rh)