Oleh: Dina Y. Sulaeman*
Pembantaian massal di tenda-tenda pengungsi Rafah tanggal 26 Mei terus memicu kemarahan dunia. Kejadian yang disebut “Rafah Massacre” itu telah memunculkan gerakan medsos “All Eyes on Rafah.” Namun demikian, pemerintah AS masih terus berusaha menutupi kejahatan Israel. PM Netanyahu menyatakan bahwa kejadian tersebut “kesalahan tragis.”
John Kirby, Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional AS, mengatakan, “AS pun pernah melakukan serangan udara di Irak dan Afghanistan, kami secara tragis menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Kami melakukan hal yang sama, kami menyelidikinya, kami belajar dari sana dan melakukan perubahan agar kesalahan yang sama tidak terjadi lagi… dan itu pula harapan kami dalam kasus ini [Rafah]”
Pembelaan AS itu sangatlah absurd. Betapa tidak, demi Israel, Kirby mengakui secara terbuka bahwa AS telah melakukan kejahatan perang di Irak dan Afghanistan. Padahal, jurnalis Julian Assange selama puluhan tahun jadi buronan karena dianggap bersalah telah membocorkan dokumen kejahatan AS di Irak. Sejak tahun 2019 ia ditahan di Inggris dan sedang terancam akan diadili di AS dengan tuntutan 175 tahun penjara.
Sejak 7 Oktober, Israel telah berkali-kali mengaku “tidak sengaja” ketika tekanan opini publik agak keras. Misalnya, serangan ke kamp Maghazi di Gaza tengah pada malam Natal 2023, yang menewaskan 86 orang, militer Zionis menyebutnya “regretable mistake” (kesalahan yang disesali). Pada Maret 2024, Israel merilis sendiri video pengemboman yang mereka lakukan pada 2 warga sipil, mengklaim orang Gaza tersebut membawa RPG. Kemudian terbukti, orang tersebut membawa sepeda. Israel menyatakan itu “sebuah kesalahan.” April 2024, Israel mengebom 7 relawan World Central Kitchen yang sedang dalam mobil membawa bantuan pangan untuk warga Gaza. Setelah sedemikian besarnya protes dunia, Israel menyebut serangan itu adalah “kesalahan serius.”
Sudah hampir 8 bulan genosida berlalu (dihitung sejak 7 Oktober) di mana Rezim Zionis telah membantai hampir 40.000 orang, bagaimana mungkin perkataan “tidak sengaja” masih diterima oleh elit AS? Sampai kapankah AS akan terus membela Israel dengan mengorbankan kepentingannya sendiri?
Jawaban dari pertanyaan ini adalah, seberapa lama mesin-mesin uang Zionis bisa membayar para elit AS (dari presiden hingga politisi)? Sudah bukan rahasia lagi, organisasi-organisasi lobi Israel di AS telah menggelontorkan uang sangat besar untuk para politisi AS. Misalnya, Nikki Haley, mantan Dubes AS untuk PBB, politisi dari Partai Republik, selama ini telah menerima dana 1,5 juta USD dari lobi Zionis. Sehari setelah pembantaian Rafah, ia datang ke Israel dan menulis “habisi mereka semua” pada bom yang akan dipakai Israel untuk membantai warga Gaza.
Pertanyaannya, dari manakah lobi Zionis mendapatkan dana? Tak lain, dari perusahaan yang mendapatkan untung besar dari perang Gaza. Misalnya, perusahaan senjata Raytheon dan Lockheed Martin melaporkan keuntungan penjualan yang “luar biasa” miliaran dolar pada kuartal akhir tahun 2023.
Kinerja “luar biasa” ini terkait erat dengan pasokan senjata dan amunisi yang terus menerus ke Israel oleh kontraktor pertahanan AS dengan dukungan pemerintah AS. Jadi, pemerintah AS memberikan dana hibah kepada Israel, (Amerika Serikat telah memberikan lebih dari 130 miliar dolar bantuan keamanan dan militer kepada Israel sejak negara tersebut didirikan pada tahun 1948) tapi uang itu dibelikan peralatan militer produksi perusahaan-perusahaan Amerika Serikat.
Tak heran bila pensiunan tentara Israel, Mayor Jenderal Yitzhak Brick, mengatakan, “Semua rudal kami, amunisi, bom berpemandu presisi, semua pesawat terbang dan bom, semuanya dari AS. Semua orang memahami bahwa kami tidak dapat berperang tanpa Amerika Serikat.”
Sekitar 80% senjata yang dipakai Israel adalah buatan AS. Dalam “Rafah Massacre” 26 Mei, terbukti dari analisis CNN bahwa bom yang dipakai adalah buatan AS. CNN telah melakukan geolokasi atas video rekaman kejadian tersebut dan menemukan bahwa bom yang dipakai adalah GBU-39, yang diproduksi oleh Boeing ini adalah amunisi berpresisi tinggi “yang dirancang untuk menyerang sasaran-sasaran penting yang strategis” (CNN, 28/5/24).
Dengan demikian, salah satu cara untuk memutus lingkaran kejahatan antara Israel, politisi AS, dan perusahaan senjata AS, adalah dengan memboikot perusahaan-perusahaan tersebut. Misalnya, Indonesia bisa berperan membantu Palestina dengan menunda dulu pembelian pesawat tempur buatan Boeing yang merupakan penyuplai peralatan tempur ke Israel.
Seperti ditulis oleh Miko Peled, seorang anak jenderal Israel, penulis buku “The General’s Son” yang kini menjadi pembela Palestina, “Zionisme harus dibongkar, dilucuti, dan dihentikan pendanaannya.” Jika negara-negara sedunia kompak melakukan pemboikotan pada perusahaan AS penyuplai senjata Israel, dalam waktu singkat rezim Zionis bisa ditumbangkan. Setelah itu, dibentuk pemerintahan baru yang demokratis, mengakui persamaan hak-hak semua warga di atas tanah itu, dan mengembalikan hak-hak seluruh bangsa Palestina. (*Dosen Hubungan Internasional Unpad)
Sumber: Gerak News