BERITAALTERNATIF.COM – Madeleine Albright, mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (Menlu AS), meninggal pada 23 Maret 2022. Ingatan tentang 500 ribu anak-anak Irak yang tewas di tangannya pun kembali muncul di publik.
Albright, saat itu menjadi Dubes AS di PBB, ditanya wartawan, apakah setimpal, atau layak, mengorbankan nyawa 500 ribu nyawa anak-anak itu? Ini bahkan lebih banyak daripada anak-anak yang tewas akibat bom Hiroshima.
Albright menjawab, “Ya setimpal, tujuannya kan supaya Saddam Hussein tidak lagi jadi ancaman”.
Ancaman bagi apa? Ancaman bagi demokrasi liberal. Inilah ideologi dasar AS yang “dijual” ke berbagai penjuru dunia, dan kalau perlu, AS menggulingkan rezim-rezim di seluruh dunia agar mereka menjadi rezim yang demokrasi-liberal. Hal dikatakan Prof. Mearsheimer (orang AS asli dan pakar politik internasional AS).
Akademisi dari Indonesia, Dina Sulaeman mengatakan, dengan alasan demokrasi, AS ingin menyingkirkan Saddam Husein. “Apakah Saddam pemimpin yang baik? Tidak juga. Memang betul dia melakukan pembantaian kepada rakyat yang menentangnya, misalnya, kaum Kurdi,” jelasnya.
Namun, masalah utamanya bukan di situ. Masalahnya, AS ingin memaksakan sesuatu terhadap negara lain walau dengan kekerasan. Juga dengan membunuh 500 ribu anak-anak Irak. Anak-anak itu tewas akibat embargo AS terhadap Irak, sehingga mereka tidak bisa mendapatkan makanan dan obat-obatan.
“Tujuan embargo adalah untuk menaklukkan Saddam Hussein, agar terbentuk pemerintahan yang demokratis-liberal,” ungkapnya.
Apakah benar-benar “demokrasi liberal” yang diinginkan para elit AS? Tentu tidak. Seperti kata Mearsheimer, “Strategi dasar kita adalah menggulingkan semua rezim di seluruh dunia, bukan sekedar karena kita menyukai demokrasi, tapi karena kita percaya bahwa siapa pun yang dipilih secara demokrasi pasti akan pro-Barat”.
Kebijakan yang pro Amerika bertujuan agar AS dan Barat secara umum dengan mudah menguasai kekayaan di negara-negara. Karena itu, demokrasi-liberal itu hanya kedok. Tujuan utamanya kekayaan.
Masalahnya, tidak semua pemimpin yang terpilih secara demokratis pasti akan tunduk pada kemauan AS. Dan mereka yang tidak mau tunduk ini akan segera dituduh tidak demokratis. Lalu, AS akan menggerakkan jaringan “NGO demokrasinya” di negara itu untuk melakukan perlawanan.
“Syukur kalau tunduk. Tapi kalau tidak tunduk juga, operasi militer dilakukan. Inilah yang terjadi di Venezuela, Bolivia, Suriah, Iran, dll,” jelasnya.
Khusus untuk Irak, setelah diembargo bertahun-tahun, Saddam tak juga tunduk. Saddam juga dikenal sangat anti-Israel. Balasan yang dilakukannya pada AS antara lain memutus suplai minyak ke Israel—padahal Israel sangat membutuhkan minyak dari Irak.
Akhirnya, tepat di bulan Maret 2003, AS menyerang Irak. Dalam beberapa pekan, Saddam terguling. Perlu diingat, serangan ke Irak tidak dilakukan AS sendirian, melainkan bersama koalisi, yang ketiga terbesar dalam koalisi adalah Ukraina.
Alasan yang dipakai Bush adalah “Saddam memiliki senjata pembunuh massal”. Belakangan, Bush mengakui bahwa Saddam tidak mempunyai senjata pembunuh massal.
“Tapi kan kita memang harus melepaskan penderitaan rakyat Irak, kita harus melaksanakan agenda pembebasan,” ujar Bush.
Wartawan pernah bertanya apakah Saddam mempunyai hubungan dengan penyerangan gedung WTC (peristiwa 911). Bush menjawab, “Tidak.” Padahal, serangan ke Irak dilakukan dalam rangka War On Terror yang dimulai pasca serangan 911, dan salah satu tuduhan ke Saddam adalah “melindungi Al-Qaida.” Padahal, Saddam sama sekali tidak pro-Al Qaida.
“Sekedar kasih tahu, bahwa para presiden dan elite AS itu memang haus darah, dan menutupi kejahatan mereka dengan demokrasi atau kebebasan,” tegas Dina.
Biden mengakui bahwa dia yang menyarankan agar NATO membombardir Yugoslavia. Pada tahun 1999 NATO pernah membombardir Yugoslavia selama 78 hari—sekarang Yugolsvia sudah bubar, terpecah menjadi 7 negara.
Kawasan pemukiman kota, rumah sakit, sekolah, rel kereta api, pabrik, lapangan terbang, dan fasilitas infrastruktur lainnya luluh lantak. Menurut HRW, 500-an warga sipil tewas, termasuk anak-anak, tapi menurut pihak Yugoslavia, ada lebih dari 1.000 warga sipil yang tewas.
“Apakah pemimpin Yugoslavia saat itu, baik? Tidak juga. Tapi ingat lagi yang saya tulis di atas, masalahnya bukan di situ,” ujarnya.
“Albright sudah meninggal. Mungkin 500 ribu anak-anak Irak itu, saat ini sedang menyambutnya dan memintakan pembalasan pada Tuhan,” sambungnya. (*)