Jakarta, beritaalternatif.com – Negara-negara Barat dan Arab Saudi acap mengemas (framing) perang yang terjadi di Yaman merupakan perang antara “pemberontak” Houthi yang didukung Iran versus pemerintahan Mansur Hadi yang disokong Saudi dan dunia internasional.
Lalu, apakah benar demikian? Apakah benar ini merupakan pemberontakan yang dilakukan klan yang bernama Houthi? Pengamat Timur Tengah, Dina Sulaeman, berusaha mengurai serta mendudukkan akar sejarah Houthi serta menguji kebenaran klaim Barat dan Saudi tersebut.
Sebelum mengurai tentang akar sejarah Houthi, Dina terlebih dahulu memperkenalkan tokoh-tokoh di pemerintahan Yaman yang saat ini berkuasa di Kota Sana’a.
Ia mengungkapkan, Presiden Mahdi al-Mashat dilahirkan di Distrik Haida, Provinsi Saada, pada tahun 1980-an. Mahdi memegang gelar administrasi bisnis. Dia bergabung dengan gerakan yang dipimpin Husein al-Houthi sejak tahun 2002.
“Jelas dari namanya saja dia itu bukan Houthi. Nama keluarganya al-Mashat,” tegas Dina dalam chanel YouTube resminya, sebagaimana dikutip beritaalternatif.com, Kamis (10/2/2022) pagi.
Sementara itu, Menteri Pertahanan Yaman, Mohammad Naser Al-Atifi, lahir pada tahun 1969 di Desa Bani Atif. Ia berasal dari Suku Hader di Provinsi Sana’a. Naser adalah lulusan akademi militer yang meraih master di bidang ilmu militer.
Sedangkan Menteri Luar Negeri Yaman, Hisham Sharaf, lahir di Taif—bukan di Saada, yang merupakan basis gerakan Houthi. Pendidikan S1 dan S2 Hisyam dilakoninya di AS. Gelar masternya di bidang administrasi proyek dari Catholic University of America tahun 1988.
Dina menyimpulkan, tidak ada satu pun dari tiga tokoh tersebut yang berasal dari klan al-Houthi. Begitu juga tokoh-tokoh lain di pemerintahan Yaman yang berkuasa di Sana’a saat ini. Mereka berasal dari berbagai kalangan dan faksi. “Bukan hanya klan Houthi,” ucapnya.
Hal ini disebutkan dan diurai oleh pelbagai penulis dalam paper, artikel, dan buku. Dina pun mencontohkan salah satu penulis yang berpendapat demikian adalah Sama’a Al-Hamdani, yang merupakan peneliti asal Yaman yang saat ini menjadi peneliti di sebuah universitas di AS.
Sama’a bukanlah pendukung Houthi. Hal ini ditunjukkan dalam tulisannya yang memperlihatkan bahwa dia bukan peneliti yang pro Houthi. Sama’a berpendapat, Houthi memiliki spektrum yang luas karena terdiri dari koalisi semu yang sulit diatur, yang mencakup berbagai golongan agama, geografis, dan politik. Mereka bersatu untuk melawan intervensi yang dipimpin Saudi terhadap Yaman.
Kemudian, Dina juga merujuk artikel yang ditulis konsultan independen dalam proyek-proyek kesehatan di Yaman, Aisha Al-Jumuan. Saat ini, Jumuan menetap di AS. Namun, baru-baru ini dia berkunjung ke Yaman.
Dalam artikelnya ditulis sekitar sebulan lalu, Jumuan berpendapat, pemerintahan yang dipimpin Ansarullah terdiri dari koalisi Dewan Politik Tertinggi, yang juga mencakup Ansarullah.
Lalu, Dewan Rakyat Umum (GPC), yang merupakan partai politik yang didirikan mantan Presiden Yaman, Ali Abdullah Saleh. Beberapa anggota GPC meninggalkan koalisi. Namun, ada juga yang tetap bertahan.
Dia menyebutkan, Perdana Menteri Yaman Abdul-Aziz bin al-Habtoor berasal dari Selatan. Ia pernah ditunjuk mantan Presiden Yaman, Abdrabbuh Mansur Hadi, untuk menjabat sebagai Gubernur Aden pada tahun 2014-2015.
Menteri Luar Negeri Hisham Sharaf di pemerintahan sebelumnya, lanjut Dina, bersikeras menyebut pemerintah Yaman di Sana’a saat ini sebagai pemberontak Houthi. Hal ini mengaburkan peran kelompok-kelompok lain dan menyembunyikan kehadiran pemerintahan yang sebenarnya di Sana’a.
Akar Sejarah Houthi
Dalam mengurai tentang akar sejarah Houthi, Dina membedakan antara keluarga atau klan Houthi dengan gerakan yang dipimpin al-Houthi.
Kata dia, Houthi sebenarnya nama sebuah keluarga di Provinsi Saada. Mereka ini keluarga sayid atau sadah. “(Mereka) punya garis keturunan yang tersambung ke Rasulullah Saw,” jelas Dina. Dalam Bahasa Arab sejatinya Houthi dilafaskan al hutsi. Tetapi secara umum dalam Bahasa Latin ditulis Houthi.
Salah satu tokoh dalam keluarga al-Houthi bernama Sayid Badruddin al-Houthi. Dia merupakan seorang ulama Zaidiyah. Badruddin ini mempunyai anak yang bernama Husein Badruddin al-Houthi. Husein dilahirkan pada 20 Agustus 1959.
Dia adalah seorang intelektual Muslim dan politisi. Husein pernah menjadi anggota Partai al-Haq Yaman. Ia juga pernah menjadi anggota Parlemen Yaman pada tahun 1993-1997. Lalu, pada tahun 1997 Husein mundur dari Partai al-Haq.
Dia kemudian mendirikan gerakan sosial yang dinamakan Al Syabab Al Mukmin atau Pemuda Mukmin. “Gerakan ini bergerak di bidang edukasi dan sosial di Yaman Utara,” ungkap Dina.
Ia menyebutkan bahwa Provinsi Saada merupakan salah satu kawasan termiskin di Yaman. Provinsi tersebut tidak banyak mendapat pelayanan dari pemerintahan Saleh. Kawasan ini juga berbatasan dengan Saudi.
Dia mengatakan, Saudi melakukan infiltrasi dengan membiayai pendirian madrasah-madrasah Salafi-Wahabi di Saada. “Padahal, mayoritas warga di sana adalah Syiah-Zaidiyah,” jelasnya.
Kata Dina, kehadiran madrasah-madrasah Salafi-Wahabi yang dibiayai Saudi membuat warga Zaidiyah merasa terancam. Karena itu, di antara gerakan Al Syabab Al Mukmin adalah memberikan pendidikan kepada para pemuda di Saada agar mereka tidak terpengaruh ajaran Salafi-Wahabi.
Dia menjelaskan, Zaidiyah adalah salah satu cabang dari mazhab Syiah. Umumnya penganut Zaidiyah adalah orang Yaman. Meski begitu, sebanyak 65 persen atau dua per tiga dari populasi Yaman adalah Sunni-Syafii. Hanya 35 persen atau sepertiga dari keseluruhan populasi Yaman yang menganut mazhab Syiah-Zaidiyah.
Merujuk paper yang ditulis peneliti asal Yaman, Maysa Shuja Addin, ajaran Syiah-Zaidiyah tidak terlalu berbeda dengan ajaran mazhab Sunni. Bahkan sebagian akademisi teologi menyebut Zaidiyah adalah mazhab kelima dalam Sunni karena ajarannya yang amat dekat dengan Zaidiyah. “Ada juga yang menyebutkan Zaidiyah ini pertengahan antara Sunni dan Syiah,” jelas Dina.
Peneliti independen asal Bandung ini kembali menjelaskan, selain menyebarkan paham Salafi-Wahabi di Provinsi Saada, Saudi juga mempersulit kehidupan para petani di perbatasan Saada-Saudi. Bentuknya, rezim Saudi melarang penggunaan sumber air dan penggembalaan ternak di perbatasan.
“Selain itu, rezim Saleh juga melakukan privatisasi di beberapa kawasan di perbatasan yang menyulitkan warga,” jelasnya.
Kecaman dan Perlawanan
Melihat kekejaman Amerika dan Saudi, Husein pun menyampaikan kecaman dan kritikan atas masalah ini sehingga semakin banyak warga yang menjadi pendukungnya.
Pada tahun 2001, AS memulai perang melawan terorisme. Presiden Saleh pun bekerja sama dengan Amerika. Ia menerima dana jutaan bahkan ratusan US$ dari AS untuk proyek anti-terorisme di Yaman.
“Munculnya Al Qaida dijadikan alasan oleh Amerika Serikat bercokol di Pulau Socotra atas izin Presiden Saleh,” ungkap Dina.
Bagi Saleh sendiri, ungkap dia, selain mendapat kucuran dana yang sangat besar dari AS, proyek anti-teror ini juga dimanfaatkannya untuk membungkam lawan-lawan politiknya.
Dina mengungkapkan, kerja sama antara Saleh dan AS mengundang penentangan keras Husein terhadap pemerintahan Saleh. Dalam orasi-orasinya, Husein menyerukan yel-yel “Allah Maha Besar, Mampus Amerika, Mampus Israel, Laknat untuk Yahudi, dan Kemenangan bagi Islam”.
Namun, kata Dina, berbagai sumber menyebutkan bahwa yel-yel ini tidak dimaksudkan Husein untuk membunuh warga sipil Amerika ataupun Yahudi. Husein justru ingin menunjukkan perlawanan keras terhadap imperialisme yang dilakukan Amerika dan Yahudi-Zionis.
“Dengan demikian, gerakan yang dipimpin Husein al-Houthi ini sudah bersifat regional: menentang infiltrasi Saudi, menentang Amerika Serikat, dan membela Palestina,” kata Dina.
Rezim Saleh kemudian berusaha membungkam perlawanan politik yang dilakukan al-Houthi dengan kekerasan. Ratusan anggota Al Syabab Al Mukmin pun ditangkap rezim tersebut. Saleh bahkan menjanjikan uang 55 ribu dolar bila ada orang yang dapat membunuh Husein.
“Rezim Saleh juga menggunakan narasi sektarian. Menuduh al-Houthi adalah gerakan Syiah yang dibiayai oleh Iran,” jelasnya.
Padahal, Presiden Saleh adalah penganut Syiah Zaidiyah. Sama dengan Husein. Karena itu, permusuhan antara mereka bukanlah perseteruan sektarian Sunni versus Syiah. Karena keduanya merupakan penganut mazhab Syiah-Zaidiyah.
Pada 10 September 2004, Husein gugur karena dibunuh rezim Saleh. Jenazahnya disembunyikan rezim tersebut. “Setelah Saleh tergulir, barulah jenazahnya ditemukan,” bebernya.
Kehadiran dan Kekuasaan Ansarullah
Setelah Husein terbunuh, para pengikutnya mengangkat senjata untuk melawan rezim Saleh. Para pengikut Husein ini menamakan gerakan mereka dengan nama Ansarullah.
Gerakan Ansarullah terdiri dari berbagai klan dan suku. Tidak hanya klan al-Houthi. Pemimpinnya adalah Abdul Malik al-Houthi. Adik dari almarhum Husein.
Perang antara rezim Saleh melawan Ansarullah berlangsung selama enam tahun. Perang ini disebut sebagai Perang Saada karena terjadi di Provinsi Saada.
Dalam perang ini, Saudi juga melakukan serangan militer. Saudi membantu rezim Saleh dalam melawan Ansarullah. Dia menggarisbawahi bahwa rezim Saleh yang secara pribadi berpaham Syiah-Zaidiyah ternyata dibantu Saudi. “Jadi, kita bisa lihat motifnya ternyata bukan agama,” tegasnya.
Kemudian, pada tahun 2010 perang antara Saudi dan Ansarullah berhenti dengan posisi status quo. Ansarullah tidak ditaklukkan. Namun, rezim Saleh juga tetap berdiri.
Setahun berlalu, gelombang Arab Spring mengguncang Dunia Arab. Ansarullah bersama faksi-faksi lainnya di Yaman turun ke jalan dalam demonstrasi besar-besaran. Mereka menuntut Saleh mundur dari jabatannya sebagai Presiden Yaman.
Dia menjelaskan, sejarah panjang Ansarullah dalam melawan rezim Saleh membuat mereka mempunyai pengaruh yang sangat kuat dibandingkan faksi-faksi politik lain di masa transisi kekuasaan di Yaman.
“Apalagi isu-isu yang dibawa Ansarullah tidak fokus pada kelompok mereka sendiri. Melainkan membawa isu-isu regional yang menjadi konsen atau keresahan warga Yaman pada umumnya,” beber Dina.
Selain menuntut keadilan ekonomi, Ansarullah juga melawan kejahatan Amerika yang membawa dalih melawan terorisme di Yaman, di mana rakyat sipil Yaman banyak yang menjadi korban ledakan drone AS. Ansarullah juga membela Palestina.
“Awalnya, Ansarullah itu terlibat dalam transisi politik Yaman, serta mengikuti negosiasi dan dialog bersama faksi-faksi lainnya,” ungkap Dina.
Di lain sisi, merujuk artikel Sama’a Al-Hamdani, dia mengungkapkan, ketika Houthi memasuki Sana’a pada September 2014, dilaporkan bahwa tidak ada satu pun tembakan yang dilepaskan Houthi.
Pengambilalihan kekuasaan tersebut berjalan lambat dan didukung dengan penyelesaian politik yang tidak hanya dengan pemerintah, tetapi juga dengan koalisi partai politik oposisi yang dibentuk pada tahun 2005.
Namun, Saudi dan AS tidak peduli dengan proses transisi politik yang dilakukan warga Yaman. Dua negara tersebut malah membombardir Yaman pada 26 Maret 2015.
Jamal Benomar, Diplomat Maroko, mantan utusan khusus PBB untuk Yaman mengatakan, ketika serangan Saudi dimulai, ada satu hal penting, tetapi tidak diperhatikan oleh dunia internasional. “Saat itu, Yaman hampir mencapai kesepakatan yang akan melembagakan pembagian kekuasaan dengan semua pihak, termasuk Houthi,” kata Benomar. (ln)