Oleh: Ismail Amin Pasannai*
Setiap tanggal 12 Urdibehest (bulan kedua dalam penanggalan kalender Hijriah Syamsi) di Iran diperingati secara nasional sebagai hari guru. Penetapan hari guru ini untuk mengenang kesyahidan Ayatullah Murtadha Muthahari pada tanggal 12 Urdibehest tahun 1358 HS (bertepatan dengan tanggal 2 Mei 1979) yang terbunuh di tangan kelompok anti Revolusi.
Ayatullah Muthahari adalah seorang ulama besar Iran yang bukan hanya mengajar di Hauzah Ilmiah (sejenis pesantren yang khusus untuk mengkaji ilmu-ilmu agama) namun juga mengajar di universitas-universitas ternama di Teheran. Beliau di antara sedikit ulama saat itu yang bisa memadukan ilmu-ilmu hauzah dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern yang diajarkannya di universitas. Karya-karyanya sangat beragam yang meliputi banyak bidang, baik teologi, tasawuf, filsafat, logika, fiqh, politik, pendidikan, akhlak dan ilmu-ilmu sosial, yang kesemuanya mendapat sambutan luas masyarakat, bahkan sampai sekarang masih terus dicetak ulang tanpa kehilangan aktualitasnya.
Pada tahun 1934, dalam usia 36 tahun, ia mengajar logika, filsafat, dan fiqh di Fakultas Teologia Universitas Teheran. Ia juga menjabat sebagai Ketua Jurusan Filsafat. Keluasan ilmunya tampak pada nama-nama kuliah yang diasuhnya: kuliah fiqh, kuliah Al-Ushul, kuliah Ilmu Kalam, kuliah Al-Irfan (Tasawuf), kuliah logika, dan kuliah Filsafat.
Kecemerlangan otak dan keluasan ilmunya, serta jabatan-jabatan penting yang dipegangnya semestinya dapat memberikan kehidupan yang nyaman dan mapan untuknya. Namun Ayatullah Muthahari malah memilih badai daripada damai.
Sebagai ulama dan muballigh Islam, ia aktif berdakwah. Tidak jarang, khutbahnya di radio-radio Tehran memerahkan telinga rezim Syah saat itu. Sebagai murid Ayatullah Khomeini, ia juga terlibat dalam pergerakan politik untuk menjatuhkan rezim Syah Pahlevi. Pada tahun 1963 ia ditahan bersama Imam Khomeini. Saat sang guru diasingkan ke Turki, ia yang menggerakkan para ulama mujahidin untuk terus melakukan penentangan terhadap kezaliman rezim Pahlevi. Masjid Al-Jawad yang ia menjadi imam masjidnya, tidak hanya dijadikannya sebagai tempat ibadah an-sich, namun juga menjadi pusat gerakan politik Islam. Dianggap mengganggu stabilitas negara, pada tahun 1972 Masjid Al-Jawad dilarang secara politik oleh rezim Syah dan kembali Ayatullah Muthahhari dijebloskan ke Penjara.
Berkali-kali dipenjara, tidak mengubah pendirian dan arah perjuangannya. Setelah bebas, ia kembali melanjutkan aktivitas politiknya. Pada akhirnya tahun 1978, rezim Syah melarang total semua kuliah dan khutbahnya.
Keaktifannya di berbagai organisasi politik seperti Husyainiya-yi Irsyad dan Jami’ayi Ruhaniyat-i Mubariz membuatnya diangkat sebagai Ketua Dewan Revolusi Islam oleh Imam Khomeini yang saat itu masih berada dalam pengasingannya di Paris, pada tanggal 12 Januari 1979. Revolusi Islam Iran meledak tanggal 11 Februari 1979 di bawah pimpinan Imam Khomeini, dan Ayatullah Muthahari tetap memegang jabatannya sebagai Ketua Dewan Revolusi Islam pasca Republik Islam Iran berdiri.
Hanya peluru yang kemudian berhasil menghentikan aktivitasnya. Tanggal 1 Mei 1979, ia dibunuh oleh kelompok Furqan yang anti Revolusi. Sepulang dari memimpin rapat Dewan Revolusi Islam, ia diterjang sebuah peluru yang menembus bagian atas kelompak matanya dan bersarang di kepalanya. Pada keesokan harinya 2 Mei 1979, masyarakat Iran membanjiri upacara pemakamannya di areal Haram Sayyidah Maksumah di Kota Qom. Mereka berdatangan dengan berpakaian serba hitam sembari membawa setangkai bunga yang kemudian menumpuk di atas pusaranya. Sekolah-sekolah, hauzah, universitas dan lembaga-lembaga penelitian di seluruh penjuru Iran pada hari itu diliburkan, semuanya larut dalam kedukaan atas wafatnya sang guru bangsa. Hari itu juga oleh Imam Khomeini, 12 Urdibehest atau tepatnya 2 Mei ditetapkan sebagai hari guru nasional. Ayatullah Syahid Muthahari mewakili sosok guru yang sejati, ia belajar, mengajar dan berjuang sampai mencapai kesyahidan.
Selanjutnya, di Iran setiap Hari Guru tiba, murid-murid sekolah hari itu membawa setangkai bunga atau kado untuk diberikan kepada guru-gurunya. Guru sangat dimuliakan dan diistimewakan di Iran. Bahkan menjadi profesi yang favorit. Rakyat Iran memandang tanpa peran guru, generasi muda bangsa tidak akan mendapat pendidikan yang memadai untuk melanjutkan estafet pembangunan bangsa. Imam Khomeini rahimahullah berkata, peran guru tidak ubahnya peran para Anbiyah as.
Menariknya pada hari yang sama yaitu 2 Mei, di Indonesia diperingati Hari Pendidikan Nasional. Kalau di Iran, untuk mengenang jasa besar Ayatullah Syahid Muthahari pada dunia pendidikan Iran dengan menjadikan hari kesyahidannya sebagai Hari Guru, di Indonesia hari kelahiran tokoh pendidikan Ki Hadjar Dewantara ditetapkan oleh Pemerintah sebagai hari Pendidikan Nasional. Sama halnya Ayatullah Muthahari, Ki Hadjar Dewantara, yang dari kalangan priyayi dan keluarga kaya (dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat) memilih meninggalkan kehidupan mapannya untuk memperjuangkan nasib bangsanya. Karena kekritisan dan kecamannya terhadap kolonialisme Belanda, ia diasingkan ke Belanda. Ia juga dikenal sebagai penulis handal, tulisan-tulisannya tersebar di Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara.
Tidak ubahnya Ayatullah Muthahari bagi rakyat Iran, Ki Hadjar Dewantara mampu membangkitkan semangat anti kolonial rakyatnya melalui tulisan-tulisan dan orasi-orasinya yang patriotik. Jika Ayatullah Muthahari bersama Ali Syariati dan tokoh-tokoh intelektual Islam Iran lainnya mendirikan Husyainiya-yi Irsyad untuk membangkitkan semangat rakyat Iran dalam menghadapi kezaliman rezim Syah saat itu, Ki Hadjar Dewantara bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka.
Kalau Ayatullah Muthahari dijebloskan ke penjara karena menentang perayaan mewah memperingati 2500 imperium Persia di tengah-tengah kemiskinan dan kemelaran rakyat Iran, Ki Hajar Dewantara harus mengalami pembuangan ke Pulau Bangka karena memprotes perayaan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.
Kedua tokoh ini terus dikenang oleh bangsanya karena pengorbanan, perjuangan dan jasa-jasanya yang besar bagi rakyat dan masa depan bangsanya. Keduanya dikenang karena semangat altruisme yang mereka miliki, semangat untuk berguna bagi sebanyak-banyaknya orang, meskipun itu harus meninggalkan kenyamanan sendiri. Sama halnya di Iran, sudah semestinya di Indonesia guru dihargai dan dihormati, lebih dari apa yang telah mereka dapatkan selama ini.
Selamat Hari Guru dan Hari Pendidikan Nasional. (*Cendekiawan Muslim)