Search
Search
Close this search box.

Antara Yahudi, Israel dan Zionisme

Penulis. (Istimewa)
Listen to this article

Oleh Dr. Muhsin Labib, MA*

Banyak orang Muslim moderat menegaskan pandangan dan sikap sebagai berikut :

Pertama, isu Palestina adalah isu kemanusiaan, bukan konflik agama.

Advertisements

Benar, tapi itu tak berarti Muslim tak boleh melihatnya secara keagamaan dan membelanya dengan tendensi pembelaan agama, karena Jerusalem atau Quds adalah kota suci bagi tiga agama Abrahamik.

Siapapun yang beragama Islam, Kristen dan Yahudi berhak memandang Jerusalem sebagai kota suci, namun tak berhak menganggap Palestina hanya milik satu penganut agama.

Siapapun yang lahir di Palestina sebelum okupasi berhak menjadi warga legal, apapun etnisitas dan agamanya.

Kedua, Zionisme adalah ideologi politik yang dianut oleh rezim Israel, bukan  ajaran agama Yahudi.

Benar, tapi itu tak berarti bahwa zionisme tak berkaitan sama sekali dengan ajaran agama Yahudi. Ia adalah ideologi politik yang didasarkan pada diinterpretasi ekstrem dari teks-teks agama.

Zionisme adalah ideologi politik dengan identitas agama yang menetapkan utopia doktrinal bahwa suatu saat kaum Yahudi menguasai dunia dan memperlakukan semua manusia non Yahudi sebagai budak sesuai “janji Tuhan” yang diyakininya.

Namun tidak sedikit agamawan Yahudi menentang zionisme seraya menganggapnya sebagai penyimpangan dan menganggap pendirian negara dengan nama Israel sebagai melancangi Tuhan.

Zionisme dapat dianggap interpretasi skriptual dan sekte ekstrem yang dianut oleh sebagian besar Yahudi, terutama yang secara sengaja berpindah ke Palestina dan menjadi warga negara Israel sejak perjanjian Balfour.

Ketiga, Yahudi berbeda dengan zionis, karena tidak semua yang beragama Yahudi dan beretnik Yahudi menganut ideologi zionisme alias zionis.

Benar, tapi itu tak berarti bahwa zionisme hanya dianut dan didukung oleh sebagian kecil dari kaum Yahudi. Sebagian besar orang Yahudi adalah zionis.

Sebagian kecil orang non Yahudi dianggap sebagai zionis bukan karena menganutnya sebagai doktrin agama tapi karena mengakui -demi pragmatisme atau akibat kebodohan- eksistensi negeri ilegal yang didirikan sejumlah tokoh Yahudi yang meyakini “Tanah yang dijanjikan” sebagai doktrin messianisme dalam Yudaisme.

Ekstremisme berbungkus kain sektarian radikal ini muncul sebagai ideologi transnasional yang mendorong setiap orang Yahudi di dunia untuk bermigrasi ke Palestina setelah beberapa orang Yahudi menjadi korban pembantaian oleh Hitler dan Nazi.

Keempat. Palestina bukan hanya milik orang-orang Arab yang berada di sana, namun milik setiap warganya, Arab, Yahudi dan etnis lainnya.

Benar, tapi itu tak berarti bahwa setiap orang beretnis dan beragama Yahudi otomatis adalah warga sah Palestina.

Siapapun yang secara historis lahir sebelum pendirian Israel adalah warga legal Palestina dengan hak penuh secara setara, apapun etnis dan asal usul serta agamanya.

Sedangkan para pemukim Yahudi yang datang atau berpindah ke Palestina setelah okupasi adalah perampas, penjarah dan pelancong yang harus dideportasi karena lupa pulang kampung.

Ringkasnya, berpandangan moderat  tidak sama dengan berpandangan permisif, dan bersikap toleran berbeda dengan bersikap ambigu.

Palestina boleh dipandang sebagai isu agama bagi Muslim dan non Muslim dalam arti sebagai isu sakral, tapi ia harus dipandang sebagai isu kemanusiaan  yang bebas dari frame polarisasi politik domestik, cebongis – kadrunis, pro pelanjutan – pro perubahan, dan bebas dari polemik agama serta mazhab, Salafi – Santri, Sunni – Syiah, Muslim -Non Muslim.

Masyarakat yang langganan berkonflik antar sesama sebangsa tapi berbeda daerah, suku, kampung, klub bola, kampus, partai, garis trah, caleg, capres, ormas, aliran dan agama perlu naik level dan memilih konflik dengan musuh sejati.

*) Cendekiawan Muslim

Advertisements

Kunjungi Berita Alternatif di :

Bagikan

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements

BERITA ALTERNATIF

POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA