Oleh: Ahmad Fauzi*
Berbeda dari tulisan sebelumnya yang mengangkat perbandingan antara cerita fiksi dan realitas kekinian pada kolom opini beritaalternatif.com seperti “Mugen Tsukuyomi” yang diambil dari serial Anime Naruto dan tulisan lainnya yang berjudul “Negeri Wano adalah Kutai” yang diambil dari Serial Anime One Piece, opini ini mengangkat spirit perlawanan atas berbagai macam mindset liar di tengah derasnya informasi, dan akibatnya melemahkan spirit anak bangsa dalam berjuang membangun keadaan yang lebih baik di lingkungannya berkiprah.
Opini ini berupaya untuk berbagi pandangan kepada setiap individu akan jati diri dan potensi yang dimilikinya agar tidak larut pada angan-angan aneh dalam memahami realitas. Perspektif ini mencoba untuk memahami musuh, hambatan dan langkah strategis sesuai dengan profesi yang dimiliki setiap orang.
Media akhir-akhir ini secara masif menampilkan hal-hal yang tampak indah namun kosong dari nilai. Mudahnya para pemuda mengidolakan orang-orang yang sedang berjoget dan bernyanyi tanpa melihat filosifi, memaknai cinta hanya sekedar hubungan seksual dan transaksional, keinginan akan hidup mapan dengan menjual kehormatan, bagi yang kaya dengan jumawa memamerkan hartanya dengan alasan untuk memotivasi orang lain agar menjadi teladan, bagi yang miskin berupaya mengejar kekayaan dengan menghalalkan segala cara atau sebaliknya mereka pasrah dengan keadaan hingga depresi. Inilah orang-orang mencari panggung untuk sesuatu yang fana serta terus-menerus akan disibukkan dengan mainan-mainan yang tiada artinya itu.
Gelombang produksi hiburan meninggalkan prinsip moral yang bersifat universal, mencari kegemaran dengan mengorbankan orang lain, eksploitasi terhadap kaum wanita menjadi suatu hal yang biasa-biasa saja, komedi yang melecehkan nilai kemanusiaan menjadi primadona, aib pribadi diumbar lalu merasa bangga, tampil sok intelektual padahal sedikit membaca, masyarakat kita disuguhkan dengan sampah-sampah yang dikemas bak permata.
Kita sudah terlalu larut dalam gemerlapnya angan-angan dan terperangkap oleh jeratan budaya yang keluar dari prinsip manusia sejati; kita telalu mudah mengeksplor sifat kebinatangan untuk memangsa dengan rakus, tamak dan serakah di rimba raya belantara dunia materialisme.
Di saat semua disorientasi pada tujuan dan hakikat kehidupan seperti ini terus meluas, seharusnya kita merenung, menyadari bahkan menarik ke belakang seraya bertanya, “Apa yang terjadi pada diri kita?”
Kita harus mengingat kembali sejarah dan mengambil banyak pelajaran dari tragedi yang telah terjadi. Ada isyarat yang disampaikan oleh almarhum Presiden Soekarno bahwa revolusi belum selesai. Secara sederhana ungkapan ini merupakan sebuah legacy of fighting spirit untuk generasi selanjutnya agar siap menghadapi tantangan pada zamannya berupa kebodohan yang terstruktur, sistematis dan masif, perpecahan antar sesama anak bangsa, hilangnya nasionalisme akibat lemahnya literasi dan ketimpangan moral lainnya.
Kita ketahui bersama para funding father telah melakukan upaya-upaya merebut kemerdekaan, memproklamirkan Indonesia sebagai negara yang berdaulat, membuat prinsip-pr-nsip dasar negara berupa Pancasila beserta Undang-Undang Dasar, menyusun strategi agar negara-negara lain mengakui Republik ini, hingga melakukan konsolidasi internasional untuk menjaga stabilitas masyarakat dunia dengan gerakan non blok, menjadi inspirasi bagi negara lain untuk merdeka dan membangkitkan spirit perlawanan bagi masyarakat tertindas.
Hal ini menunjukkan bahwa para pendahulu mempunyai tekat yang kuat, SDM yang mapan dan aktualisasi yang nyata. Tugas kita sebagai generasi penerus mestinya mempertahankan apa yang sudah diperjuangkan dan bahkan bisa berbuat lebih dari apa yang mereka lakukan karena posisi kita saat ini sudah terlepas dari kolonialisme berkat perjuangan mereka.
Kita melihat bahwa kita tidak sepenuhnya merdeka. Potensi pertanian dalam arti luas seperti padi, garam, sapi atau ketahanan pangan dari komoditas lainnya masih banyak diimpor. Sumber daya energi kita masih didominasi dan dikuasi oleh perusahaan asing sehingga pihak luar dengan mudah melakukan intervensi politik dan konstitusi demi melanggengkan bisnisnya di Bumi Pertiwi ini.
Kedaulatan juga belum diraih secara sempurna di tengah kehidupan anak bangsa saat ini. Di sektor pendidikan formal, kita cenderung didikte untuk berkiblat pada negara-negara Barat, formasi mata pelajaran yang tidak efisien yang membuat semangat belajar menjenuhkan bahkan tanpa sadar kita diserang secara lunak melalui tayangan-tayangan yang tidak mengedukasi. Sejarah kita dikaburkan, budi luhur perlahan mulai terkubur, logika memudar yang pada akhirnya generasi kita kehilangan identitas, jati diri dan kemandirian berfikir sebagai anak kandung dari Republik ini.
Semua itu adalah fenomena yang terjadi di negeri ini. Tentu setiap orang mempunyai ukuran untuk menilai agar negara ini bisa dikatakan maju atau mundur menjadi negara yang terkebelakang. Semua tergantung pada “manusianya”.
Walaupun sejenak kita bisa sedikit optimis karena akhir-akhir ini terdapat kesadaran bersama untuk membenahi masalah-masalah yang terjadi pada bangsa ini.
Revolusi belum Selesai
Perubahan kondisi yang sebelumnya terjajah menjadi negara berdaulat bernama Indonesia adalah sebuah karya monumental para founding father kepada generasi setelahnya. Monumen kemerdekaan itu telah menginspirasi jiwa-jiwa kelompok perlawanan dunia untuk memerdekakan negaranya masing-masing dari jeratan kolonialisme yang dilakukan oleh Inggris, Portugal, Francis, Spanyol, Belanda, Jepang dan negara-negara kolonialis lainnya.
Kita patut berbangga bahwa Indonesia adalah negeri yang bukan mendapatkan kemerdekaan melalui pemberian, namun dengan perlawanan, darah, air mata dan segenap pengorbanan para pahlawan. Jadi, kemerdekaan kita bukan sekonyong-konyong ada!
Revolusi belum selesai berarti ada sebuah nilai yang harus terus menyala di tiap-tiap jiwa para penggerak bangsa. Salah satunya melakukan modifikasi sistem sesuai dengan perkembangan zaman. Bara api revolusi ini yang diwariskan para pejuang kemerdekaan bangsa ini.
Aristoteles mendefinisikan revolusi menjadi dua macam. Pertama adalah perubahan total dari suatu sistem ke sistem yang berbeda. Dan yang kedua adalah modifikasi sistem yang sudah ada.
Kita mungkin pernah mendengar berbagai macam revolusi di dunia, misalnya Revolusi Francis (1789-1799) yang meruntuhkan sistem monarki mutlak. Pada tahun 1911-1912 terjadi sebuah revolusi di China dengan menjatuhkan dinasti kekaisaran (Dinasti Qing) dan mengganti sistemnya menjadi Republik. Ada juga Revolusi Komunis Rusia (1917) yang dikenal dengan Revolusi Bolshevik.
Masih segar dalam ingatan kita tentang Revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia yang mengusir Belanda dan Jepang dari tanah Nusantara tahun 1945-1950 dan tahun 1998 terjadi lagi perubahan di Indonesia yang di mana mahasiswa dan masyarakat menjatuhkan rezim diktator Orde Baru menuju era Reformasi.
Revolusi di Kuba juga terjadi yaitu pelengseran diktator Fulgensio Batista (1953-1959); Revolusi Iran (1979) yang menjatuhkan salah satu kerajaan tertua di dunia dan menggantinya menjadi Republik Islam serta begitu banyak jenis revolusi yang mengubah suatu sistem dengan sistem yang berbeda.
Kita juga pernah mendengar istilah-istilah revolusi industri, revolusi 4.0, revolusi mental, reformasi dan restorasi yang mempunyai makna yang lebih soft, namun berdampak luas bagi kehidupan dan struktur sosial masyarakat.
Revolusi terlihat bias karena begitu banyak penafsiran, penggunaan dan gerakan yang mengatasnamakannya. Namun jika ditelisik lebih dalam, maka makna revolusi sebenarnya ada dalam jiwa-jiwa yang sadar akan eksistensinya sebagai bagian dari elementasi semesta, di mana dengan kesadaran itu ia bergerak menuju kesempurnaan, mengimplementasikan potensi kebaikan yang dimilikinya agar lingkungan di sekitar merasakan manfaat yang hakiki, melawan penyelewengan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dengan cara yang paling rasional, lalu mengubahnya menjadi tatanan kehidupan yang adil. Hal ini terus berproses dan tidak pernah selesai hingga seluruh masyarakat memahami dan mengaplikasikan makna keadilan itu—adil berarti proporsional, menempatkan sesuatu sesuai porsinya, tidak zalim.
Lalu bagaimana menjadi seorang revolusioner itu? Pribadi revolusioner adalah kondisi psikologis seseorang yang menyimpan bara api di dalam sanubarinya. Mungkin saja terlihat tidak berkobar dengan penuh amarah, namun di dalam senyap ia merasakan panas yang abadi tatkala melihat kondisi sekitar yang timpang, kesenjangan ekonomi dan sosial antara orang kaya dan orang miskin, perilaku korup dan ketidakmampuan aparat dalam mengelola negara yang seharusnya amanah dan progresif mengelola hak publik, ketidakadilan gender, meningkatnya kemiskinan, sulitnya mencari lapangan pekerjaan, intoleransi antar suku ras dan agama di tengah masyarakat, maraknya perilaku cabul, tidak pedulinya para stakeholder, pembiaran terhadap kejahatan, bisunya aparatur hukum terhadap oknum perusak lingkungan, kebodohan yang menjadi tranding, industrialisasi tanpa moral, pemberitaan tanpa akal sehat, dan banyak perilaku lainnya yang menjadi derita batin para penggerak perubahan.
Penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh pemegang kuasa baik dari unsur politik maupun pelaku ekonomi kapital yang menciptakan sebuah sistem perbudakan modern menjadi alarm bagi jiwa-jiwa merdeka untuk bangkit menyuarakan perubahan dan meleburkan dirinya dalam perlawanan itu.
Jiwa revolusioner adalah sebuah fitrah yang ada di setiap diri manusia. Kehendak untuk merdeka dari jeratan-jeratan yang membelenggu dirinya dan orang-orang di sekitarnya dalam konsep yang universal.
Menumbuhkan Jiwa Revolusioner
Hal yang penting untuk menumbuhkan jiwa revolusioner yaitu dimulai dari: pertama, memahami diri. Banyak penggerak perubahan terjerat pada hal-hal yang bersifat emosional. Sehingga terpaku pada keinginan untuk meruntuhkan rezim tertentu tanpa memahami apa yang terjadi setelahnya. Itulah mengapa penting memahami diri. Dengan memahami diri maka akan terang benderang orientasi gerakan yang dilakukan.
Bahwa setiap diri manusia mempunyai berbagai macam dimensi (multidimensional) yang menjadikannya berbeda dari makhluk hidup lainnya. Manusia mempunyai fisik sama seperti spesies primata yang dengannya ia bisa berkembang biak, membutuhkan makanan dan beraktifitas secara bendawi. Manusia juga mempunyai perasaan berupa cinta, benci, sedih, gembira, marah, takut, dendam, kehendak, dan perasaan lain yang dimilikinya.
Namun di atas itu semua, manusia dianugerahi akal yang dengannya tertancaplah sesuatu yang membedakan dirinya dari makhluk lainnya agar ia bisa belajar, menerima pengetahuan yang dinamis, berimajinasi untuk merangkai sesuatu yang terinderai oleh panca indranya, memahami hukum-hukum semesta, berinovasi membangun peradaban, memperkuat elemen perasaan, mengontrol emosional, memahami hal-hal yang bersifat immaterial/non fisik secara rasional, menyusun kerangka sebab akibat untuk mengenal penciptaan, membedakan moral dan amoral, mengidentifikasi benar dan salah, menganalisis sebuah fenomena, menyusun kerangka logika dan fungsi-fungsi lainnya.
Dengan kita memahami diri sebagai manusia kita semestinya mampu mengidentifikasi fitrah yang mengantarkan kita pada kesempurnaan manusia. Merangsang kehendak untuk belajar dengan mencari teladan yang menjadi prototipe manusia sempurna yang gerakannya abadi dari masa ke masa walau secara fisik ia telah tiada. Meniru para pendahulu yang berjuang memperbaiki kondisi sosial dengan tatanan hukum yang lebih baik adalah bentuk kewarasan akal manusia.
Sering kali karena berbagai masalah yang terjadi pada diri seseorang membuatnya menjadi pribadi yang tidak rasional, mengedepankan kehendak yang membuat orang lain terzalimi, menganggap hukum positif yang menjadi konsensus bersama menjadi tidak penting. Manusia juga mempunyai potensi untuk lebih jahat dibanding binatang dan makhluk hidup lainnya. Sejarah telah membuktikan pertumpahan darah yang menghilangkan nyawa manusia tidak berdosa, merusak alam dengan membunuh flora dan fauna secara masif dilakukan oleh manusia.
Manusia bisa menjadi lebih baik daripada malaikat, bisa hidup “flat” (datar/biasa-biasa saja) dan juga berpotensi jauh lebih jahat dari hewan pemangsa.
Fakta lain tentang diri kita sebagai manusia adalah kepastian akan sirna dari dunia ini. Kematian merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindarkan, walaupun kita mencoba untuk menyangkalnya. Dengan itu kita seharusnya menyadari apa yang harus kita perbuat? apa yang harus kita tinggalkan? Dan ke mana kita akan berlabuh?
Memahami essensi diri adalah langkah agar kita tidak mengedepankan hal-hal yang sama seperti binatang dan makhluk lainnya yang hanya mengurus urusan perut, emosionalitas dan seksualitas.
Kedua, memahami tujuan. Setiap orang mempunyai latar belakang yang berbeda-beda, karakteristik keluarga, pendidikan, masalah yang dihadapi, lingkungan sosial dan keadaan setiap individu bahkan yang terjadi pada saudara kembar sekalipun pasti terdapat perbedaan. Begitu pula dalam menentukan tujuan, setiap individu pasti mempunyai pandangan tersendiri dalam menentukan dan menggapai cita-citanya.
Tujuan akan kehidupan yang lebih baik dari sekarang adalah sebuah kemestian dalam setiap benak manusia, mengingat begitu banyak kebutuhan saat ini dan besarnya tantangan ke depan. Langkah-langkah persiapan perlu dilakukan agar pemenuhan kebutuhan berupa sandang, pangan, pendidikan, papan, kendaraan, alat telekomonikasi, dan lain sebagainya bisa diantisipasi.
Kebanyakan manusia menginginkan keamanan dan kenyamanan dalam mengarungi kehidupan ini. Hal itu kadang menimbulkan kepanikan apabila ekspektasinya tidak tercapai, sehingga membuatnya menghalalkan segala cara untuk menggapai tujuannya. Menghilangkan hukum-hukum moral sehingga tanpa sadar menindas orang-orang di sekelilingnya.
Hal ini tidak hanya terjadi pada para politisi yang terjun di dunia politik, praktik ini juga menyasar semua aspek profesi seperti para pedagang, wirausahawan, guru, dosen, akademisi, petani, nelayan, birokrat, agamawan, seniman, jurnalis, kontraktor hingga pekerja rumah tangga sekalipun berpotensi melakukan penyelewengan itu.
Maka untuk itu peting bagi kita memahami realitas sebelum memfinalkan tujuan. Manusia dengan pengetahuannya yang terus bertambah pasti memiliki dialektikanya sendiri, apalagi dalam memahami kehidupan di alam semesta, pasti akan berubah-ubah. Tidak ada sesuatu di dunia ini yang stabil dalam mencapai kedudukan materi. Oleh karenya, jangan terburu-buru menetapkan tujuan untuk menjadi kaya raya dan populer misalnya.
Orang-orang bisa saja mempunyai tujuan yang mulia awalnya, namun seiring berkembangnya kemapanan, pengakuan dan pujian akan membuatnya bergeser dari tujuan mulia itu. Walaupun pengakuan adalah kebenaran mutlak, jika mentalitas orang tersebut tidak siap, maka cepat atau lambat ia akan jatuh, baik secara material maupun moral. Sebagian besar dari kita mungkin sudah melihat realitas itu. Artinya jangan jadikan pujian, pengakuan dan perspektif orang lain terhadap kita adalah sebuah tujuan yang harus ditaati.
Dari perjalanan sejarah, ternyata orang-orang hebat bisa hidup lebih dari ribuan tahun. Dari segi fisik ia telah sirna tapi dari segi manfaat ia tetap eksis menghidupkan jiwa-jiwa manusia. Ini tidak terlepas dari kehebatan tokoh-tokoh sejarah dalam menentukan tujuannya. Mereka bisa saja memilih hidup yang penuh dengan kenyamanan dan ketenteraman dengan status sosial dan potensi yang mereka miliki, hidup mewah, hedon dan apa yang mereka inginkan akan mudah terwujud. Namun mengapa mereka memilih sengsara? Mereka memilih terjun ke lapangan, berpanas-panasan, berdarah-darah, mendapatkan teror, intimidasi, disandra, dipenjara, ditekan dari berbagai sisi bahkan tidak sedikit dari mereka mengorbankan nyawanya. Hal itu karena adanya dorongan dalam jiwa mereka untuk peduli terhadap sesama, keinginan untuk menjadikan orang lain merasa aman hidup di dunia ini, kehendak untuk mewariskan dan memenuhi bumi ini dengan kebajikan, dan memperbaiki aturan yang tidak adil di tengah masyarakat. Inilah bara api revolusi yang abadi dari zaman ke zaman.
Kesadaran untuk mengorbankan sesuatu yang dimilikinya untuk orang-orang lemah tanpa muatan kepentingan pribadi merupakan langkah yang harus ditiru oleh kita semua. Tujuan mulia, proses mulia, ending yang mulia dan melahirkan kemuliaan.
Ketiga, memahami musuh. Gerakan para aktifis yang kritis dan mempunyai kepekaan sosial yang tinggi seringkali dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok oportunis karena kebutaan mereka melihat musuh.
Agamawan, guru dan akademisi yang menyerukan kebenaran dan menyiarkan perbuatan baik untuk membina masyarakat sering kali tergelincir oleh kecenderungan-kecenderungan yang bersifat materialistik/duniawi (harta, kedudukan, wanita) sehingga nilai-nilai kebaikan yang disampaikannya kadang bertentangan dengan perilakunya karena menganggap bahwa semua orang baik-baik saja, tidak ada motif yang buruk, dan mereka beranggapan tidak ada musuh.
Padahal, efek samping dari semua itu akan membiaskan nilai kebenaran atau menjadikan kebenaran menjadi absurd. Eksistensi musuh tidak akan dipahami ketika ia tidak memahami kebenaran dan kebatilan.
Secara kasat mata untuk menentukan sesuatu itu benar atau salah adalah ketika kita mampu mengetahui norma-norma (hukum-hukum logis) dan menyimpulkan suatu obyek permasalahan dari variabel-variabel yang berada di belakangnya. Untuk meyakini sebuah kebenaran maka perlu menggunakan akal, sedangkan logika adalah juri untuk menentukan apakah perbuatan itu benar atau salah. Kebenaran dan kebatilan baru bisa dihukumi ketika hal itu sudah tampak sebagai perbuatan.
Di situlah kita perlu memposisikan diri apakah kita berada di posisi musuh yang menjadikan kebatilan sebagai jalan hidup, walau mereka mengemasnya dengan nuansa kebaikan, ataukah kita berada pada posisi teman yang selalu membersamai dan memberikan nilai-nilai kebajikan agar kita berada dalam jalan yang benar, walaupun kadang kebenaran itu terasa pahit.
Musuh mempunyai tingkatan-tingkatan yang di mana kita bersepakat bahwa okupasi atau merampas tanah suatu penduduk seperti yang dilakukan oleh entitas Zionis yang mendirikan negara ilegal bernama Israel adalah kebatilan/musuh yang nyata. Di sini kita sudah bisa menilai bahwa musuh adalah Israel dan teman adalah Palestina.
Siapa pun yang beraliansi dengan musuh maka patut dicurigai, apalagi yang menjadi induk lahirnya musuh besar kemanusiaan ini yaitu pemerintah Inggris yang memang terkenal sebagai kolonial pada eranya dan pemerintah Amerika yang karena ingin melanggengkan kepentingannya di Temur Tengah, mereka terus mendukung entitas Zionis ini. Tingkatan teratas dari musuh yang harus diwaspadai adalah kelompok ini.
Selanjutnya pada tingkatan di bawahnya adalah orang-orang, komunitas, organisasi masyarakat, partai politik, media dan perusahaan yang berafiliasi dengan kelompok imperialis itu perlu dicermati lebih mendalam agar kita tidak terperosok dengan jebakan yang dibuatnya.
Kita seyogyanya menyadari bahwa gerakan yang dilakukan kelompok Zionis itu sangat terstruktur. Mereka mampu menciptakan orang-orang oportunis untuk menjadi kaki tangannya di berbagai negara, dengan kekuatan finansial mereka mendukung komunitas-komunitas dan organisasi-organisasi kemasyarakatan di setiap negara bahkan daerah agar menjadi pendukungnya, bersama dengan kroninya mereka sangatlah mudah menekan partai-partai politik di setiap negara untuk memuluskan kepentingan ekonomi dan sumber daya alam yang terkandung pada setiap negeri melalui perusahaan-perusahaan yang telah mereka siapkan.
Melalui media mereka dengan mudah memutarbalikkan fakta atas kejahatan yang mereka lakukan menjadi sebuah kepahlawanan, menyiarkan tayangan yang mengubah perilaku masyarakat, membenarkan tindakan amoral dan kriminal, menghilangkan karakter/identitas suatu bangsa, mengiklankan produk-produk bisnis mereka dan membuat masyarakat dunia bisa dikendalikan oleh media yang mereka buat. Kita harus bisa memfilter semua ekspansi yang telah mereka lakukan ini.
Kita simpulkan bahwa neokolonialisme adalah musuh nyata yang harus kita lawan dengan segenap kemampuan kita. Inilah alasan mengapa kita harus bisa mengenal antara kawan dan lawan, sehingga gerakan yang dilakukan tidak salah kamar. Kita juga harus bisa membedakan musuh dan teman agar kita tidak dimanfaatkan.
Selajutnya yang tak kalah penting adalah musuh yang berada di dalam kehidupan kita sehari-hari, terutama yang ada di dalam diri kita, di antaranya, pertama, kebodohan. Orang yang minim ilmu pengetahuan pasti mempunyai view sempit dan mudah dimanfaatkan, tidak mempunyai skill di bidangnya akan membuatnya sulit untuk bersikap independen di suatu lingkup pekerjaan. Walaupun tidak menempuh pendidikan formal yang tinggi jika kita sadar akan pentingnya ilmu pengetahuan dengan membaca banyak literasi, menanyakan dengan orang yang berkompeten, mencari berbagai perspektif di internet, menentukan prioritas pengetahuan yang ingin dipelajari, rajin mengasah keterampilan, maka dengan sendirinya kita sudah melawan musuh di dalam diri kita berupa kebodohan. Tuhan telah menciptakan anugerah-Nya yang agung berupa akal agar kita bisa menerima cahaya-Nya berupa ilmu dan pengetahuan, maka akan sangat merugi jika kita tidak memaksimalkannya.
Kedua, rasa malas. Menjadi pribadi yang tidak produktif adalah batu sandungan bagi setiap komunitas dalam kehidupan sosial. Orang yang tidak aktif hanya akan menjadi beban, bahkan perilakunya itu akan melemahkan spirit para penggerak yang sungguh-sungguh ingin membangun komunitasnya.
Orang malas biasanya akan mencari banyak alasan untuk membenarkan perilakunya. Kita harus sadar bahwa malas adalah bagian dari agenda musuh agar gerakan-gerakan perlawanan, pribadi produktif, jiwa revolusi tidak bisa tumbuh dan berkembang untuk memberikan manfaat bagi dirinya sendiri dan komunal. Rasa malas melahirkan pesimisme, cepat bosan, disorientasi, terhina, pecundang dan kegagalan.
Ketiga, sara (suku, agama, ras, antargolongan). Tidak menjadi masalah seseorang meyakini agama dan sekte/mazhabnya, setiap orang pasti terlahir dari suku ataupun ras yang menjadi identitasnya. Hal itu adalah fitrah manusia. Yang menjadi masalah adalah ketika dengan sara itu ia menjadi buta. Dengan kecintaan yang berlebih akan hal itu menjadikannya nepotis dan rasial. Ia tidak akan berfikir jernih dan logis untuk menentukan kebenaran.
Terjadi banyak kasus karena kedekatan kesukuan dan organisasi, mereka membela koruptor yang mencuri uang publik dengan argumentasi-argumentasi yang tidak rasional; karena persaudaraan ia menempatkan orang yang tidak berkapasitas menanggung amanah yang besar sehingga merugikan orang banyak; karena mempunyai ideologi yang sama ia membela orang yang kriminal. Padahal pelaku-pelaku itu adalah musuh yang harus disadarkan dengan hukuman yang setimpal. Sara seharusnya menjadi spirit untuk menampilkan nilai kebaikan bagi para pelakunya.
Keempat, perilaku buruk lainnya. Semua orang tidak suka dibohongi, difitnah, digunjing, disakiti, diambil haknya, diperlakukan kasar, dilecehkan, dizalimi, dikhianati, diperlakukan tidak baik kecuali orang-orang yang mengalami gangguan psikologis yang akut. Oleh karenanya, bagi kita yang secara mental baik-baik saja, tentu menolak segala perbuatan buruk itu dan semestinya kita tidak melakukan perbuatan buruk tersebut.
Penting bagi kita mengingat kembali bahwa perbuatan buruk akan kembali kepada pelakunya. Setiap perbuatan yang kita lakukan mempunyai konsekuesi logis yang harus diterima, cepat atau lambat, di dunia dan diakhirat. Perilaku buruk dan tercela adalah musuh kita, sebaik apa pun kita membawakan kebenaran, sepintar apa pun kita berethorika, perilaku buruk bagaikan duri dalam daging.
Mengenal musuh global, nasional, lokal hingga musuh yang ada dalam diri sendiri sangat penting agar di dalam kita melakukan sebuah gerakan mempunyai barometer yang jelas.
Menemukan Format Aktualisasi
Setelah kita mengenal diri sendiri, memahami tujuan dan mengenali musuh kita, maka hal yang tidak kalah penting adalah menemukan format atau rumus dalam mengaktualisasi gerakan dalam bentuk nyata dan teknis. Banyak orang yang gagap dalam menentukan cara mengaktualkan segenap potensi yang dimilikinya. Ia terombang-ambing dan terbawa arus dominasi isu karena tidak tahu tentang langkah apa yang harus diambilnya.
Banyak yang menginginkan revolusi dengan konsep-konsep besar tapi bingung untuk memulainya bahkan bertolak belakang dari konsep yang ia gagas.
Dari carut-marutnya ide-ide yang ada, maka perlu pemahaman tentang pentingnya menemukan format aktualisasi dengan langka-langkah sebagai berikut: pertama, belajar. Semua orang hendaknya mempelajari semua ilmu pengetahuan di berbagai bidang. Dengan potensi berfikir yang dimiliki manusia, tindakan membatasi ilmu pengetahuan adalah sebuah langkah mundur yang akan menghambat gerakan yang akan dituju. Kita harus terus belajar.
Di sisi lain, keadaan fisik dan waktu manusia membatasi dirinya untuk mengeksekusi semua bidang yang dipelajari, maka diperlukan orang lain dalam sebuah wadah berupa organisasi untuk mencapai tujuannya. Maka gerakan yang dibuat haruslah terorganisir agar cita-cita yang diinginkan bisa tercapai.
Kedua, realistis. Selain mengorganisir diri maka untuk merumuskan tujuan harusalah realistis. Realistis di sini adalah jelas dan terukur sesuai dengan kemampuan diri. Apabila punya kemampuan di bidang IT, maka lakukan sesuai kemampuan; jika punya kemampuan di bidang komunikasi, maka lakukan sesuai tugas; begitu pula dengan kemampuan lainnya, seseorang harus menjalankan dan sadar diri akan kemampuannya serta peran yang harus ia ambil. Apabila ingin mengambil tanggung jawab yang lebih luas dan besar, maka yang perlu dilakukan adalah meng-upgrade kemampuan.
Ketiga, membuat program dan skala prioritas. Seperti yang disampaikan sebelumnya, boleh saja orang mempunyai tujuan yang mulia, namun tanpa program yang jelas dan langkah yang tepat dalam menentukan prioritas, maka semua yang diinginkan itu hanya akan menguap di udara; semuanya menjadi kosong. Menentukan program dan tahapan dalam bentuk timeline harus dimiliki oleh para penggerak perubahan, apa pun bidang dan profesinya.
Keempat, tim dan frekuensi yang sejalan. Pertikaian yang tidak penting sering terjadi pada komunitas-komunitas kecil yang mencoba untuk bergerak dan melakukan perubahan karena perbedaan karakteristik dan persepsi. Munculnya ketidakpercayaan di internal bisa diakibatkan karena berbedanya frekuensi dan integritas masing-masing personil. Hal ini membuat gerakan yang dibangun akan bubar dan sia-sia.
Mencari tim yang se-frekuensi adalah salah satu langkah utama untuk membangun gerakan yang lebih besar. Apabila kecenderungan ingin terjun di bidang usaha, maka harus bergerak dengan karakter tim yang sama; jika ingin menbangun gerakan di bidang media harus dengan tim yang se-frekuensi; andaikata ingin terjun ke dunia NGO (Non Goverment Organization) maka carilah tim yang searah; bilamana ingin berjuang di dunia pendidikan mesti dengan orang-orang yang concern di dunia itu. Begitu pula di bidang kesenian dan bidang-bidang lain.
Kelima, bersatu. Di antara bidang-bidang yang dimiliki masing-masing insan di setiap komunitas, hendaknya bersatu untuk tujuan yang lebih besar. Dialektika adalah hal yang biasa. Yang menjadi masalah adalah jika emosionalitas yang memecah belah yang berujung pada anarkisme hingga melahirkan korban kekerasan dan korban jiwa antar anak bangsa. Ini adalah langkah mundur untuk mencapai tujuan besar berbangsa dan bernegara.
Perbedaan latar belakang (background) masing-masing komunitas adalah sebuah berkah yang sepatutnya kita syukuri. Jika dilihat dari dimensi yang lebih luas, perbedaan adalah bentuk keindahan yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Semua bidang profesi yang dimiliki anak bangsa hendaknya bersatu pada tujuan umum. Konflik yang tidak produktif akan menguntungkan musuh-musuh kita agar kita menjadi bangsa yang pro status quo.
Belajar dari para revolusioner kemerdekaan Republik Indonesia yang mempunyai latar belakang yang berbeda-beda, saling berdebat dan berargumentasi tentang konsep negara, ketika mereka bersatu maka melahirkan kekuatan besar dalam melawan arogansi kolonialisme pada saat itu. Kita ketahui bahwa Jenderal Sudirman seorang prajurit; Ir. Soekarno merupakan seorang guru, arsitek dan politisi; Bung Hatta adalah seorang akademisi dan politikus; Tan Malaka seorang jurnalis dan filsuf; Sutan Sjahrir seorang organisatoris dan politikus; Ki Hajar Dewantara sebagai tokoh pendidikan; S.K.Trimurti seorang tokoh perempuan yang berprofesi sebagai guru dan wartawati, dan banyak lagi tokoh-tokoh yang secara personal mempunyai basisnya masing-masing. Mereka mempunya kekuatan yang berbeda, namun mereka bersatu untuk menciptakan sebuah tatanan baru yang layak untuk generasi selanjutnya berupa Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perbedaan profesi dan potensi seharusnya dilakukan untuk gerakan yang positif sebagaimana yang dicontohkan para pahlawan itu.
Saat ini kita mempunyai banyak Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, pengusaha yang besar, politisi dan diplomat yang tidak kalah dari negara lain, aktifis dan jurnalis yang idealis, seniman yang melegenda, tokoh pendidikan yang tidak terhitung lagi jumlahnya, prajurit yang berani membela negeri, akademisi-akademisi yang berpengetahuan luas, tenaga medis yang handal dan banyak lagi potensi anak bangsa ini jika disatukan akan menjadi kekuatan besar dalam membangun negeri ini. Sebagaimana tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam UUD 1945 alinea 4 bahwa tujuan negara yang bersifat nasional adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dari berbagai uraian yang telah dituliskan dalam pandangan ini, kita bisa menarik kesimpulan sebagai berikut: pertama, jiwa revolusioner adalah fitrah manusia. Menghidupkannya berarti langkah maju menuju kesempurnaan manusia.
Kedua, menghidupkan jiwa revolusioner selain memahami diri juga perlu memahami tujuan umum dan bagaimana ending serta apa hasil dari gerakan yang telah dijalankan.
Ketiga, agar tujuan berjalan dengan baik, maka memahami musuh eksternal dan internal adalah sebuah keharusan, agar spirit perlawanan terus menyala.
Keempat, menyusun konsep dan tujuan saja tidak cukup tanpa adanya langkah nyata. Aktualisasi gerakan yang terorganisir adalah kunci tercapainya tujuan. Demikian. (*Chief Executive Officer Beritaalternatif.com)