Oleh: Dr. Muhsin Labib*
Media umum dan media sosial ramai-ramai menghebohkan perubahan sikap dan keputusan monarki klan Saud itu dalam bidang pariwisata dan budaya, khususnya soal industri hiburan dan hore-hore di Arab Saudi.
MBS (penguasa sebenarnya Saudi sejak ayahnya uzur fisik dan mental) kini dielu-elukan oleh media Barat sebagai figur modernis, seolah melupakan album kejahatan dan kebiadaban rezim tribal ciptaan kolonial Inggris ini.
Terbaru, perempuan di koloni Saudi kini dapat bebas berbikini saat mengunjungi pantai, tak terkecuali di pantai sekitar Kota Jeddah. Bahkan kaum perempuan dan laki-laki dibebaskan untuk berbaur hingga berjoget ria bersama diiringi dentuman musik keras, menikmati wisata pantai.
Sejak diperbolehkannya kaum perempuan mendapatkan izin mengemudi pada 2018, MBS terus mencampakkan tradisi wahabi dengan memodernisasi Saudi. Meski alkohol belum diizinkan, pasangan asing yang belum menikah sekarang dibolehkan menginap dalam satu kamar.
Singkatnya, generasi manja dan hura-hura koloni Saud tak lama lagi tak perlu repot piknik ke Eropa, Amerika, Thailand atau mancanegara untuk teler dan menyalurkan fantasi seks liarnya.
Modernisasi (mulai dari dibolehkannya perempuan mengendarai mobil, berbikini ria di pantai, hingga diizinkannya para wisatawan zionis berkunjung ke Saudi) yang nyata-nyata sangat kontras dengan doktrin kaku wahabisme itu hanyalah bagian dari skenario memanipulasi kewarasan publik. Ringkasnya, modernisasi budaya tanpa modernisasi pola pikir itu hanyalah strategi menyembunyikan agenda keji rezim anti demokrasi yang didukung penuh negara pengklaim paling demokratis, AS.
Salah satu agendanya adalah mengalihkan perhatian masyarakat dunia, terutama umat Islam dari kejahatan-kejahatannya, antara lain pembunuhan dan intimidasi terhadap para oposan dan kelompok minoritas Syiah seperti pembunuhan sadis Jamal Kashogi, serta genosida paling berdarahnya di Yaman.
Agenda lainnya adalah pengondisian jelang pengumuman perkawinan resmi (yang disesatsebutkan sebagai normalisasi) setelah lama berselingkuh diam-diam (berhubungan secara bilateral namun rahasia) dengan rezim zionis yang menjajah dan menganiaya Palestina sejak 1948.
Saudi melakukan persiapan ini setelah menyuruh rezim-rezim monarki Teluk, semacam Uni Emirat Arab dan Bahrain, menjalin hubungan resmi dengan sekutu rahasianya, Israel.
Ironisnya, banyak orang Islam yang tak juga terbuka mata nalarnya tentang pengkhianatan dan penghinaannya terhadap perjuangan rakyat Palestina serta pengabaiannya atas opini bangsa Arab dan umat Muslim di seluruh dunia dengan menjalin hubungan diplomatik dengan rezim ilegal zionis.
Kelak, jika koloni Saudi (yang dianggap sebagai pusat dunia Islam) mengumumkan hubungan diplomatiknya dengan rezim Tel Aviv, mayoritas negara OKI yang sampai hari ini tidak mendukung opsi perlawanan bagi berdirinya negara Palestina merdeka akan mengikutinya.
Agenda utamanya adalah menyudutkan posisi Iran yang memimpin blok resistensi vis-a-vis rezim palsu zionis “Israel”.
Apa yang dibangun Iran yang pengaruhnya semakin meluas dan menguat di seluruh kawasan, bahkan di dunia, adalah poros perlawanan demi merebut hak rakyat Palestina dan bangsa-bangsa lainnya dari penjajahan hegemoni Barat dengan zionisme, kapitalisme dan neokolonialisme. (*Cendekiawan Muslim Indonesia)