Oleh: Ufqil Mubin*
Tahapan Pemilu 2024 sudah mulai mewarnai aktivitas masyarakat Indonesia, baik di dunia maya maupun dunia nyata. Hal ini ditandai dengan berbagai kampanye “terselubung” para politisi yang memanfaatkan platform digital, juga berbagai hajatan masyarakat seperti pernikahan, pertemuan antar warga, dan momen-momen tertentu yang mengumpulkan massa dalam jumlah besar.
Di lain sisi, memanasnya pesta demokrasi lima tahunan tersebut ditandai dengan pengundian nomor urut partai-partai politik peserta pemilu yang baru-baru ini dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum. Sebanyak 17 partai politik dinyatakan lolos serta mendapatkan nomor urut untuk menjadi peserta Pemilu 2024. Sebagian partai merupakan partai politik lama yang acap menduduki kursi di parlemen. Ada pula partai-partai pendatang baru yang akan meramaikan jagat perpolitikan Tanah Air pada tahun 2024.
Sebagaimana lazimnya pertarungan politik, setiap pengurus, kader, dan simpatisan partai akan bekerja keras untuk mendapatkan kursi di parlemen, terlebih dengan adanya ambang batas 4 persen yang ditetapkan dalam Undang-Undang Pemilu, yang membuat semua partai harus bekerja banting tulang untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya dalam pesta demokrasi di Indonesia. Bila partai tak mendapatkan suara minimal 4 persen, maka mereka tidak akan dapat menduduki kursi di DPR RI. Secara otomatis pula, nilai partai tersebut secara politik akan sangat rendah, baik nilai tawar politik di legislatif, eksekutif, maupun di masyarakat selaku konstituen mereka selama lima tahun setelah pemilu.
Karena itu, berbagai strategi dan taktik dimainkan oleh para politisi untuk mendulang suara dari masyarakat Indonesia. Sebagian politisi acap memainkan politik identitas yang bernuansa sara, bahkan membenturkan antar berbagai kelompok untuk menguatkan dukungan terhadap partai politik. Narasi-narasi yang membeda-bedakan antar satu kelompok dengan kelompok masyarakat lainnya kerap ditemukan dalam berbagai kesempatan, seperti “kita Islam, mereka komunis”. Atau “dia keturunan China, kita pribumi”.
Dalam kesempatan berbeda, kita juga acap menemukan narasi yang membenturkan identitas keagamaan, yang membuat masyarakat tersegregasi dalam kelompok-kelompok keagamaan, sehingga mengakibatkan masyarakat di akar rumput tak dapat menerima perbedaan-perbedaan pandangan keagamaan. Dalam bentuknya yang paling ekstrem, sebagian kelompok masyarakat menjadi orang-orang yang tak dapat menerima perbedaan paham, keberagaman, dan pandangan-pandangan yang berbeda dalam memahami agama.
Pada titik ini, politik telah memisahkan masyarakat berdasarkan identitas mereka. Narasi-narasi seperti ini sejatinya tak terkait langsung dengan hajat hidup masyarakat saat para politisi memegang kekuasaan di panggung politik di berbagai level, baik lokal maupun nasional.
Kita yang berada di ring terjauh dari para politisi yang akan memegang kuasa di parlemen dan legislatif sejatinya tidak membutuhkan berbagai narasi yang membeda-bedakan antar satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Sebagai awak media misalnya, sejatinya saya hanya membutuhkan kepada para politisi untuk menjamin kebebasan saya dalam menyampaikan pandangan, menjamin hak-hak insan pers lewat peraturan perundang-undangan, serta memberikan keleluasaan kepada insan pers untuk menjalankan tugas jurnalistiknya.
Sementara bagi para petani, nelayan, guru, pegawai negeri sipil, buruh, pelaku usaha, mereka juga hanya membutuhkan hak-hak sipil mereka dapat terpenuhi dengan baik, serta mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik dan layak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Bagi para penganut agama, apa pun agamanya, mereka hanya membutuhkan usaha sungguh-sungguh dari para politisi saat menduduki tampuk kekuasaan untuk menjamin agar mereka dapat beribadah serta menjalankan paham keagamaan mereka dengan bebas tanpa dibatasi dan diganggu oleh kelompok lainnya.
Di sudut-sudut desa di negeri ini, begitu banyak jalan-jalan rusak, yang dalam pemilu-pemilu sebelumnya acap dijanjikan oleh para politisi untuk diperjuangkan di parlemen dan eksekutif. Apakah para politisi akan kembali datang dengan janji yang sama, lalu lima tahun berikutnya kembali mengumbar janji?
Kita tentu saja juga bertanya, bisakah para politisi yang bertarung di Pemilu 2024 memperjuangkan aspirasi kita sebagai masyarakat? Apa saja program mereka yang pro terhadap rakyat? Apakah program tersebut sejalan dengan aspirasi masyarakat? Bagaimana cara mereka memperjuangkannya? Berapa tahun dibutuhkan untuk mewujudkan aspirasi masyarakat?
Hal-hal seperti ini kerap kita abaikan dalam pertarungan politik lima tahunan yang datang silih berganti di Indonesia. Kita yang berada di pinggir kekuasaan sejatinya tak perlu mati-matian membela para politisi hingga memutus tali persaudaraan, pertemanan, dan persahabatan. Perbedaan pilihan mestinya berangkat dari pandangan bahwa para politisi yang bertarung di pemilu dapat mewujudkan aspirasi kita lewat kekuasaan mereka di legislatif dan eksekutif. Bukan atas dasar narasi-narasi yang membenturkan kita sehingga terpecah belah satu sama lain. (*Pemimpin Redaksi Berita Alternatif)