BERITAALTERNATIF.COM – Lebih dari setengah abad kuliah-kuliah Ayatullah Al-Uzhma Khu`i merupakan pusat pengembangan ilmu pengetahuan Islam. Ratusan mujtahid dan fakih lahir berkat klinik ilmiah beliau.
Ayatullah Al-Uzhma Sayid Ali Huseini Sistani adalah satu dari sekian banyak murid beliau yang paling menonjol. Beliau adalah seorang mujtahid kaliber dan berbudi luhur.
Beliau lahir di kota Masyhad pada tahun 1349 Hijriah dan berasal dari keluarga ruhaniawan yang taat beragama. Setelah menamatkan ilmu-ilmu dasar dan tingkat menengah (suthuh), beliau mulai mengkaji ilmu rasional dan teologi di bawah bimbingan guru-guru besar hauzah.
Di kota kelahirannya pula Sayid Sistani memulai kajian-kajian Bahtsul Kharij fikih dan menyelesaikannya dengan baik di bawah bimbingan Allamah Mirza Mahdi Isfahani. Pada tahun 1368 Hijriah, beliau berhijrah ke kota Qom. Di sana Sayid Sistani melanjutkan karier ilmiahnya di bidang ilmu fikih dan ushul fikih di bawah asuhan sejumlah ulama dan ahli hukum setempat, termasuk marja’ besar masa itu, Ayatullah Al-Uzhma Sayyid Burujerdi yang menjadi gurunya dalam ilmu ushul dan fikih. Selain itu, Sayid Sistani juga belajar banyak ilmu lainnya, khususnya ilmu rijal dan hadis pada beliau.
Pada kesempatan lain, beliau juga hadir dalam rangkaian kuliah-kuliah Sayid Hujjat Kuhkamarei, seorang ahli hukum tersohor, dan ulama-ulama lainnya secara intensif.
Genap tiga tahun mengenyam pendidikan agama di Qom, Ayatullah Al-Uzhma Sistani kembali ke Najaf, Irak; pusat kegiatan ilmiah dan spiritual, pada tahun 1371 H. Di Najaf, beliau mengikuti kuliah mujtahid-mujtahid kaliber dunia secara intensif, seperti Ayatullah Al-Uzhma Hakim. Di bidang fikih dan ushul, beliau lebih aktif mengikuti kuliah-kuliah Ayatullah Al-Uzhma Khu`i dan selama sepuluh tahun, Ayatullah Sistani mengikuti pelajaran lengkap ilmu ushul yang diberikan oleh Syeikh Husein Al-Hilli.
Pada tahun 1381 Hijriah, Sayid Sistani membuka kuliah perdananya dengan kajian spesial kitab Al-Makasib, karya Syeikh Anshari. Kemudian dilanjutkan dengan memberikan komentar atas kitab Al-Urwatul Wutsqa. Selang tiga tahun kemudian, beliau memulai jenjang spesial di bidang ushul. Beliau menamatkan program ushul yang ketiga pada bulan Syakban 1411 H. Sebagian besar kuliah-kuliah ilmiah beliau ditranskrip oleh murid-muridnya.
Sang Jenius
Dalam setiap kajian dan kuliah guru-guru besar, Ayatullah Al-Uzhma Sistani selalu tampil dengan potensi dan kapasitas intelegensi luar biasa. Beliau tampak unggul di tengah-tengah peserta kuliah. Kritik dan sense kepekaan ilmiahnya tidak kalah tajamnya dengan kecakapannya dalam menganalisa permasalahan fikih dan ilmu rijal, ataupun pengenalannya yang luas akan teori-teori yang berkembang di berbagai bidang keilmuan.
Perlu dicatat bahwa dalam soal kejeniusan terdapat keserupaan antara beliau dan Syahid Shadr. Ijazah ijtihad yang diterimanya dari dua guru besar; Ayatullah Al-Uzhma Khu`i dan Allamah Syeikh Husein Al-Hilli adalah bukti atas derajat intelegensi beliau. Dan bukan rahasia lagi, jika Ayatullah Al-Uzhma Khu`i tidak pernah memberikan ijazah tertulis kepada satu pun dari murid-muridnya selain kepada Ayatullah Al-Uzhma Sistani dan Ayatullah Syeikh Ali Falsafi.
Bahkan pada tahun 1380 H beliau telah menerima ijazah ijtihad tertulis dari pakar hadis masa itu, Allamah Buzurg Tehrani yang mengagumi wawasan pengetahuan beliau di bidang ilmu rijal dan hadis. Artinya, belum genap tiga puluh satu tahun, Ayatullah Al-Uzhma Sistani telah mencapai derajat keilmuan yang tinggi.
Karya Ilmiah
Ayatullah Al-Uzhma Sistani telah memulai kuliah spesial fikih, ushul dan rijal. Di sepanjang tahun itu, beliau menyelesaikan kajian-kajian seputar makasib, thaharah, shalat, qadha, khumus dan beberapa kaidah-kaidah fikih seperti riba, taqiyah dan ilzam. Khusus di bidang ushul, beliau telah menyelesaikan kuliah-kuliah ushulnya selama tiga putaran. Bahkan Syeikh Mahdi Murwarid, Allamah Sayid Habib Huseiniyan, Sayid Murtadha Isfahani, Allamah Sayid Ahmad Madadi, Syeikh Baqir Irawani dan ulama-ulama serta pengajar-pengajar ulung Bahtsul Kharij, acap kali merujuk kepada kajian-kajian beliau sebagai referensi dan obyek pengembangan ilmiah mereka.
Di samping kegiatan mengajar dan mendidik, Ayatullah Al-Uzhma Sistani sangat produktif melahirkan karya-karya tulis, termasuk mentranskrip kuliah guru-guru besar beliau, di antaranya: syarah kitab Al-‘Urwahtul Wutsqa; kajian-kajian Ushul; risalah tentang Shalat Musafir; risalah tentang kaidah Tajâwuz wal Farâgh; risalah tentang Taqiyah; risalah tentang Kaidah Ilzâm; risalah tentang Ijtihad dan Taklid; risalah tentang Kaidah La Dharara wa La Dhirâr; risalah tentang Riba; kritik atas risalah Tashhih Asanid Ardabili; dan risalah tentang aliran ulama klasik prihal nilai validitas hadis.
Metode Kajian
Terdapat sejumlah keistimewaan metodologi yang dimiliki oleh Ayatullah Al-Uzhma Sistani yang tidak ditemukan dalam metode-metode kajian guru-guru besar kontemporer di sepanjang kajian-kajian ushul, di antaranya: Pertama, mengusut kronologi pembahasan dan melacak landasan-landasan pemikiran yang terkadang politis, teologis bahkan filosofis.
Kedua, komparasi antara pemikiran tradisional dan perkembangan sastra-budaya kontemporer, seperti yang beliau terapkan dalam bahasan-bahasan makna kata-kata.
Ketiga, sudut pandang sosiologis sebagian fukaha kerap memaknakan dan menerjemahkan teks-teks tradisional secara kontekstual. Pemahaman mereka terbatas pada redaksi kata dan kalimat, tanpa mau menyentuh makna-maknanya yang lebih luas.
Sebaliknya, sebagian lain melibatkan situasi dan kondisi yang menyertai penyabdaan teks-teks tersebut, sehingga dapat diketahui peristiwa-peristiwa yang berperan langsung dalam denotasi (semantika) teks-teks itu.
Keempat, kecakapan dalam menyimpulkan hukum. Ayatullah Al-Uzhma Sistani berpandangan bahwa seorang fakih mesti mengetahui tata bahasa Arab, prosa, syair, dan metaforanya secara sempurna, sehingga ia mampu memahami dan mengklasifikasikan teks-teks riwayat (tradisional) berdasarkan objek, bukan esensi.
Metodologi Fikih
Pertama, perbandingan antara fikih Syiah dan pelbagai mazhab Islam. Tidak syak lagi, mengenal pemikiran fikih Ahli Sunnah di masa-masa penyusunan kitab-kitab induk hadis dapat menyempurnakan pemahaman kita akan maksud-maksud para imam ma’shum dari suatu hadis dan riwayat.
Kedua, pemanfaatan disiplin ilmu-ilmu hukum kontemporer pada sebagian bab-bab fikih, seperti menelaah undang-undang dasar negara Irak, Mesir dan Prancis. Ketika membahas bab Bai’ (jual-beli) dan Khiyârât, karena pengenalan metode-metode yuridis terkini banyak memperkaya pengalaman-pengalaman sang mujtahid atau fakih, dan membantunya dalam menganalisa kaidah-kaidah fikih serta memperluas wawasan tipikal pemikirannya, untuk kemudian menerapkan poin-poin penting yang didapatkannya.
Ketiga, Ayatullah Al-Uzhma Sistani berupaya menspesifikasikan sebagian kaidah-kaidah fikih, pada saat sebagian besar mujtahid kita menggunakan kaidah-kaidah itu utuh seperti awal mereka menerimanya dari mujtahid-mujtahid terdahulu.
Kedudukan Marja’
Sebagian guru-guru besar hauzah ilmiah Najaf menuturkan bahwa setelah wafatnya Ayatullah Nashrullah Mustanbat, sekelompok ulama menemui Ayatullah Khu`i dan memohon kepada beliau agar mempersiapkan pengganti yang memiliki kriteria marja’ di hauzah ilmiah Najaf.
Maka, Ayatullah Khu`i menunjuk Ayatullah Sistani, karena tingkat keilmuan, ketakwaan dan kepribadiannya yang kuat. Hal ini bermula dari shalat jama’ah yang dipimpin beliau di mihrab Ayatullah Khu`i. Kemudian membahas dan mengomentari risalah dan aliran ilmiah beliau. Ketika Ayatullah Khu’i wafat, beliau adalah satu dari para pelayat jenazah Almarhum. Beliau pula yang memimpin shalat jenazah untuknya.
Setelah itu, beliau mulai memegang kendali kepemimpinan hauzah ilmiah dan mulai mengirim dan memberikan bagian dan hak-hak (jaminan santunan sosial) serta menyampaikan kuliah-kuliah di atas mimbar Ayatullah Khu`i.
Dengan demikian, Ayatullah Sistani tampak populer di Irak, negara-negara teluk Persia, India, dan Afrika, khususnya di kalangan remaja. Ayatullah Sistani merupakan salah satu mujtahid kaliber dengan kedalaman ilmunya. Mayoritas guru-guru besar hauzah ilmiah Qom dan Najaf memberikan kesaksian atas kedudukan ilmu beliau. (*)
Sumber Artikel: Safinah Online