Oleh: Abdullah*
Profesor Azyumardi Azra tidak hanya dikenal di Indonesia. Tapi ia dikenal di Timur Tengah, Asia Tenggara, dan bahkan di kalangan intelektual Barat karena sejumlah prestasi intelektualnya dalam pemikiran Islam yang ditorehkannya melalui karya-karyanya yang sangat fenomenal.
Salah satu karyanya yang diangkat dari disertasinya mencoba membedah asal muasal gerakan pembaharuan Islam. Karya tersebut dibukukan menjadi Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara.
Ia juga memiliki karya-karya dalam bidang politik, pemikiran Islam, sejarah, dan pendidikan Islam. Semua itu menjadi warisan berharga pemikiran almarhum Profesor Azra.
Sumber Gagasan Pendidikan Islam
Pendidikan Islam merupakan sebuah proses yang berlangsung cepat dan dinamis, juga paling banyak menyimpan masalah, khususnya berbagai aspek yang terkait dengan pendidikan Islam seperti dasar dan landasan pendidikan, kurikulum, tenaga pendidikan, metodologi pembelajaran, sarana dan prasarana, dan lembaga pendidikan.
Berbagai masalah dalam pendidikan Islam terjadi disebabkan oleh external and internal background. Yang dimaksud dengan external background adalah pengalaman historis, tepatnya warisan penjajahan kolonialisme Barat terhadap dunia Islam di abad 19, abad 20, dan masih berkembang di abad 21. Adapun internal background terkait dengan ajaran Islam yang dinamis, yang bersumber dari Alquran, Sunah, ijtihad dan pengaruh konteks sosial budaya masyarakat.
Modernisasi pendidikan merupakan suatu keharusan karena faktor sosial-budaya masyarakat selalu mengalami perubahan, terutama disebabkan oleh perkembangan teknologi informasi yang kian cepat.
Gagasan dan pemikiran Azra tentang pendidikan Islam sangat relevan dengan kondisi masyarakat modern, sehingga patut dijadikan acuan dalam pelaksanaan pendidikan Islam.
Azra mengemukakan gagasannya mengenai modernisasi pendidikan Islam yang dihubungkan dengan tantangan abad 21 dan era globalisasi, kemajuan sains dan teknologi.
Demikian pula pemikirannya mengenai perlunya reformulasi dalam kurikulum pendidikan Islam. Menurutnya, jika kaum muslimin ingin survive di tengah persaingan global yang semakin tajam dan ketat maupun tampil ke depan, reorientasi pemikiran mengenai pendidikan Islam dan restrukturisasi sistem kelembagaan yang jelas merupakan kebutuhan.
Cara pandang yang menganaktirikan sains dan teknologi tidak bisa lagi dipertahankan, melainkan pendidikan Islam harus menguasai teknologi dan melakukan banyak riset.
Pemikiran dan gagasan yang dikemukakannya didasarkan pada ajaran Islam yang sangat kontekstual sesuai dengan perkembangan zaman.
Untuk itu, Azra mengatakan, pengalaman ilmu pengetahuan atas dasar tanggung jawab kepada Tuhan dan manusia merupakan karakteristik pendidikan Islam. Pengetahuan bukan hanya untuk diketahui dan dikembangkan, melainkan sekaligus dipraktikkan dalam kehidupan nyata.
Pengetahuan dan motivasi yang demikian kuat mendorong almarhum Azra melakukan modernisasi pendidikan Islam di lingkungan di mana ia hidup dan menimba ilmu, yaitu di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), serta pendidikan yang ia dapat dari negara berbeda dan maju yakni Colombia of University, universitas-universitas, dan para pemikir yang pernah dikunjunginya dalam menuntut ilmu yang sangat kental dengan modernisasi semasa hidupnya.
Sejak berstatus sebagai mahasiswa, Azra sudah amat mendalami ide-ide modern yang dikemukakan oleh tokoh pembaru Islam di berbagai belahan dunia.
Dalam ide-ide tersebut dapat dijumpai ide pembaruan pendidikan Islam. Hal ini terjadi karena pada umumnya para tokoh pembaru menggunakan pendidikan sebagai wahana untuk melakukan transmisi modernisasi. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa eksistensi dan fungsi lembaga pendidikan Islam di era modern amat bergantung pada sejauh mana lembaga pendidikan tersebut mampu menjawab tantangan sesuai dengan kebutuhan zaman.
Sebagai seorang neo-modernis yang memiliki garis intelektual tradisional dan modernis, konstruksi bangunan pendidikan Islam Azra terkait unifikasi agama, sains dan teknologi dalam kelembagaan dan kurikulum di dalamnya harus mampu terunifikasi dengan harmonis tanpa mendikotomikan peran pendidikan konvensional yang berkutat antara pendiskriminasian peran pendidikan Islam dan pendidikan umum.
Lembaga pendidikan Islam di samping sebagai wadah resmi pendalaman ilmu agama, juga lebih diarahkan pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengembangan keterampilan dengan meningkatkan kemampuan untuk menggunakan berbagai peralatan elektronik.
Jadi, antara kemampuan berpikir dan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dilandasi iman dan amal saling terkait erat dalam perkembangannya. Hal ini merupakan suatu rangkaian sebab akibat. Keimanan merupakan sebuah kendali dari proses berpikir dan berilmu, sehingga orang yang berilmu dan berimanlah yang dapat mencapai kenikmatan dan kebahagiaan dunia akhirat.
Rasionalitas pendidikan Islam berarti suatu pendidikan Islam yang memuat rasionalitas dalam memilih, memilah, menyusun dan menetapkan unsur pendidikannya, mulai dari kelembagaan, manajerial, administrasi, kurikulum, metode pembelajaran, tenaga pendidik, jenjang pendidikan dan lainnya, serta inklusivisme pendidikan Islam berarti pendidikan Islam harus open mainded dalam artian yang luas, yaitu membuka cakrawala pemikirannya dalam mengembangkan berbagai gagasan, konsep, teori dan komponen pendidikannya, baik dari cendekiawan muslim sendiri atau pemikir non-muslim yang telah atau yang bisa dikonvergensikan dengan teks normatif dan ajaran historis agama Islam.
Transformasi Pendidikan Islam
Secara eksplisit, dalam transformasi pendidikan Islam ini, Azra menjabarkan dalam tiga variabel yang saling menguatkan satu dengan yang lainnya: pertama, menurut Azra, modernisasi menuntut diferensiasi sistem pendidikan untuk mengantisipasi dan mengakomodasi berbagai kepentingan diferensiasi sosial, teknik dan manajerial. Antisipasi dan akomodasi tersebut haruslah dijabarkan dalam bentuk formulasi, adopsi dan implementasi kebijakan pendidikan di tingkat nasional, regional, dan lokal.
Dalam konteks modernisasi administrasi ini, sistem dan lembaga pendidikan Islam, khususnya pesantren, pada umumnya baru mampu melakukan reformasi dan modernisasi administratif secara terbatas. Kebanyakan masih berpegang pada kerangka administrasi tradisional, termasuk dalam aspek kepemimpinan, sehingga pesantren tidak mampu mengembangkan diri secara baik.
Kedua, menurut Azra, pembagian dan diversifikasi lembaga-lembaga pendidikan harus sesuai dengan fungsi-fungsi yang akan dimainkannya. Dengan demikian, dalam masyarakat yang tengah mengalami modernisasi, lembaga pendidikan yang bersifat umum saja tidak lagi memadai. Lebih khusus lagi, sistem pendidikan seperti pesantren haruslah memberikan peluang bahkan harus membentuk lembaga-lembaga pendidikan khusus yang diarahkan untuk mengantisipasi diferensiasi sosial ekonomi.
Sistem pendidikan Islam, khususnya pesantren, sejauh ini kelihatannya belum mempunyai arah yang pasti tentang diferensiasi struktural yang harus dilakukan, apakah tetap dalam diferensiasi keagamaan yang dilihat dalam kerangka modernisasi yang mungkin tidak memadai lagi atau mengembangkan diferensiasi dari luar bidang itu, misalnya pesantren pertanian, pesantren agro bisnis, pesantren politeknik dan lain-lain.
Ketiga, tujuan ekspansi kapasitas menurut Azra adalah untuk menyediakan pendidikan bagi sebanyak-banyaknya peserta didik sesuai kebutuhan yang dikehendaki berbagai sektor masyarakat. Pada satu segi, sistem dan kelembagaan pendidikan Islam sebenarnya sudah sejak lama melakukan ekspansi kapasitas, termasuk dengan terus berdirinya banyak pesantren baru di berbagai tempat. Sehingga pesantren dapat disebut sebagai pendidikan rakyat.
Tapi di pihak lain, ekspansi itu terjadi tanpa memperhitungkan kebutuhan sektor masyarakat, khususnya yang menyangkut lapangan kerja yang tersedia. Akibatnya, banyak pesantren tidak mampu menemukan tempat yang pas di masyarakat.
Output dari ketiga variabel di atas akan melahirkan perubahan di tengah masyarakat berupa: pertama, menurut Azra, maksud perubahan sistem nilai ini adalah perubahan dari kondisi jumud menjadi progresif dan dari kondisi tanpa gairah menjadi syarat prestasi dalam mobilitas intelektual dan sosial. Dalam arti lain, poin pertama ini menawarkan berbagai alternatif penyempurnaan dan perubahan bagi berbagai sistem nilai tradisional menjadi neo-modernisme.
Kedua, kepemimpinan modernitas dan inovator yang secara langsung dihasilkan sistem pendidikan dapat diukur dengan perkembangan kuantitas dan kekuatan birokrasi sipil-militer, intelektual dan kader-kader administrasi politik lainnya yang direkrut dari lembaga-lembaga pendidikan, terutama pada pendidikan tingkat menengah dan tinggi.
Ketiga, hal ini dapat diukur dari tingkat ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) atau tenaga kerja yang terlatih dan siap pakai, baik white collar maupun blue collar. Hal ini merupakan suatu masalah besar yang dihadapi sistem dan lembaga pendidikan Islam. Belum terdapat link and match yang jelas dan kuat antara sistem dan lembaga pendidikan Islam dengan masalah tenaga kerja yang terlatih dan siap pakai tersebut.
Keempat, dapat dilihat dari tingkat integrasi sosial dan mobilitas peserta didik ke dalam masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal integrasi sosial, output sistem dan lembaga kelihatannya relatif berhasil, karena didukung oleh faktor kependudukan di Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Tetapi, dalam hal mobilitas sosial, sistem kelembagaan pendidikan Islam kelihatannya belum signifikan.
Kelima, tercermin dari upaya-upaya pengembangan budaya ilmiah, rasional dan inovatif, peningkatan peran-peran integrative agama dan pengembangan pendidikan. Pada tingkat pengembangan pendidikan tinggi, sistem dan kelembagaan pendidikan Islam dalam hal ini contohnya di UIN Syarif Hidayatullah sedikit banyak telah mampu mengembangkan paradigma keislaman yang lebih integratif, dengan pendekatannya yang non-mazhab. Tetapi pada tingkat lembaga pendidikan yang lebih rendah, kebudayaan ilmiah, rasional dan inovatif kelihatannya belum banyak berkembang.
Dampak Pendidikan Islam
Demokrasi pendidikan Islam membawa semangat demokrasi dalam perencanaan, pengelolaan dan evaluasi penyelenggaraan pendidikan. Ada beberapa ciri dalam pendidikan Islam yang demokratis antara lain: pertama, adanya kurikulum yang dinamis dan memberikan ruang bagi terwujudnya kreativitas peserta didik, mempunyai semangat untuk melakukan perubahan sosial. Artinya, ketika dipraktekkan dalam cakupan lokal (kelas), bisa membawa peserta didik untuk menghargai kemampuan teman dan guru, kemampuan sosial ekonomi teman dan guru, serta sejumlah kemajemukan lainya.
Kedua, perubahan paradigma pendidikan Islam, perubahan paradigma dari otoriter ke demokratis, tertutup ke keterbukaan, doktrinal ke partisipatoris. Artinya, dalam proses pengajaran pendidik tidak memonopoli dalam memberi dan mencari informasi. Intervensi pendidikan adalah sebagai fasilitator, dinamisator, mediator dan motivator.
Ketiga, adanya sinkronisasi antara lembaga-lembaga pendidikan Islam dengan lingkungan masyarakat. Sinkronisasi yang dimaksud yaitu dalam proses belajar mengajar dapat ditempuh dengan mengajarkan hal-hal yang berhubungan dengan dunia sekarang yang dibutuhkan oleh peserta didik dan masyarakat.
Telah disebutkan di atas bahwa tujuan konstruksi pendidikan dalam perspektif Azra adalah membentuk muslim nasionalis yang humanis, memproduksi ulama saintifik-saintifik ulama. Muslim nasionalis yang humanis dalam perspektif Azra adalah terbentuknya seorang pelajar sepanjang hayat yang mencintai, mempelajari, mengembangkan dan memperjuangkan berbagai gagasan, konsep, dan teori pendidikan Islam dari sumber normatif yang otentik (Alquran dan Hadis) atau historis seperti gagasan, konsep, dan teori pendidikan yang telah dikembangkan oleh para ahli, tokoh, dan pemikir-pemikir Islam sebelumnya.
Juga memosisikan dirinya sebagai pembelajar sepanjang hayat, manusia yang mencintai dan rela berjuang untuk negaranya dalam konteks menyelaraskan tujuan pendidikan Islam dalam lingkup nasionalisme, semangat patriotisme kebangsaan, dan kenegaraan di mana dia berada.
Selain itu, memiliki karakter mencintai kemanusiaan dalam arti yang luas, karena tidak dapat dipungkiri bahwa ajaran Islam yang berupa rahmat bagi seluruh alam harus mampu diejawantahkan dalam sebuah personalitas yang mampu menghargai kebebasan umat manusia.
Sedangkan makna memproduksi ulama saintifik dan saintifik ulama adalah kemampuan pendidik Islam yang holistik membangun pribadi pembelajar yang di satu sisi berilmu keagamaan yang mumpuni sehingga dia pantas mendapatkan gelar ulama, sedangkan di dalam dimensi yang lain dia memiliki kemampuan sebagai seorang intelektual, teknologi, dan sains, sehingga dia dapat disebut sebagai seorang saintifik.
Selanjutnya, kemampuan seorang budayawan, negarawan politikus, peneliti dan lainnya di samping juga harus memiliki wawasan keagamaan yang luas, sehingga dalam pribadinya terkumpul sebagai seorang saintifik, politikus, budayawan dan negarawan yang ulama.
Azra menjelaskan, secara filosofis konstruksi pendidikan Islam yang dibangun rekonsiliasi antara mazhab tradisional yang terlalu salafis, perenialis, esensialis, jumud dan tidak progresif serta sangat terikat dengan sejarah masa lalu dan mazhab modernisme yang modern, historis, progresif, anti kejumudan, inovatif, dan kurang menghargai berbagai warisan para pendahulu. Inilah sebuah rekonsiliasi pemikiran pendidikan yang terkenal dengan neo-modernis.
Problem Lembaga Pendidikan Islam
Secara kelembagaan, pemikiran Azra, secara teoritik setidaknya tertuju pada tiga institusi lembaga pendidikan Islam: pesantren, madrasah, dan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). Sedangkan secara aplikatif dan peran Azra dalam merekonstruksi lembaga banyak tercurah di lembaga yang dia pimpin sebagai rektor. Yakni Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan Universitas Islam Negeri (UIN) secara luas, khususnya di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Azra menyebutkan, pesantren dan madrasah kini paling tidak harus memiliki tiga pilihan jenis pendidikan: pertama, pendidikan yang berkonsentrasi pada tafaqquh fi al-din, seperti tradisi pesantren pada masa pra-modernis, dengan kurikulum yang hampir sepenuhnya ilmu agama.
Kedua, pendidikan yang berbasis madrasah yang mengikuti kurikulum Kemendikbud dan Kemenag, yang semula merupakan pendidikan agama plus pendidikan umum.
Ketiga, pendidikan berbasis sekolah umum Islam yang pada dasarnya adalah pendidikan umum plus agama, pendidikan yang berbasis keterampilan seperti model SMK.
Ketiga jenis pilihan di atas dapat dilaksanakan dalam satu pesantren tertentu, secara implisit mengakomodasikan hampir keseluruhan harapan masyarakat secara sekaligus pada pesantren.
Harapannya tetap menjalankan: trasmisi ilmu-ilmu dan pengetahuan agama; pemeliharaan tradisi Islam; memproduksi calon-calon ulama. Harapan lain adalah agar para santri mengetahui ilmu agama dan umum. Lainnya, agar para santri memiliki keterampilan, keahlian, khususnya dalam bidang sains dan teknologi.
Ada beberapa persoalan dan solusi yang Azra kemukakan dalam persoalan pesantren dan madrasah. Permasalahan pesantren adalah terletak pada stagnasi pola pikir peta kognitifnya yang sangat terkesan normatif dan dogmatis. Normatif karena terlalu terikat dengan teks tanpa melihat situasi historis yang melatarbelakangi turun dan terciptanya teks tersebut, sehingga menjadikan pola pikir seluruh komponen pesantren terkesan kolot, kaku, anti perubahan, dan sulit berkembang.
Sedangkan makna dogmatis adalah pola pikir pendidikan pesantren yang terkesan sangat mengekang kreativitas optimalisasi rasional. Implikasi dari hal tersebut menyebabkan adanya diskriminasi terhadap keilmuan yang dikembangkan berdasarkan oleh rasio, filsafat, logika dan lainnya.
Maka dari kepemimpinan tradisional yang diperoleh dari pengakuan masyarakat secara kultur kemudian dijalankan dan dikembangkan berdasarkan pola-pola kepemimpinan tradisional yang terkesan eksklusif, anti kritik, otoriter dan sentralistik. Di sini, kepemimpinan yang dihasilkan lembaga-lembaga pendidikan Islam, khususnya pada tingkat menengah seperti pesantren, kelihatannya sebagian besar termasuk ke dalam kepemimpinan tradisional, tegasnya kepemimpinan keagamaan yang tentunya berhasil dicapai setelah mendapatkan pengakuan dari masyarakat.
Sedangkan pada tingkat pendidikan tinggi Islam melahirkan kepemimpinan tradisional tadi, tetapi dalam batasan tertentu juga melahirkan intelektual dan birokrat.
Sebuah pola filosofis tipologi kurikulum yang bersifat penekanan pada pola, gagasan, konsep, dan teori lama, pengembangan yang tidak substansial, terpenjara dalam dinamika teks, tetapi terlepas dari histori teks itu sendiri, terpenjara dalam dinamika cara berpikir seorang tokoh dan kurang menghargai progresifitas dan kreatifitas rasio.
Permasalahan di atas secara tidak langsung membentuk eksklusifitas masyarakat pesantren dan madrasah serta mengisolasi mereka dari kekayaan khazanah peninggalan umat Islam secara komprehensif, baik yang tradisional, modern maupun neo-modernis.
Menurut Azra, lembaga pendidikan yang mampu mengintegrasikan berbagai potensi dasar peserta didik berdasarkan sumber-sumber yang otentik dalam kacamata neraca konvergensi pola lama dan pengambilan serta penciptaan berbagai pola baru mendukung terselenggaranya sistem pembelajaran yang kondusif bagi lembaga tersebut secara langsung atau tidak langsung.
Faktor pendukung secara langsung adalah berbagai pendukung yang terlibat dalam pra, ketika, dan setelah terjadinya proses pembelajaran. Sedangkan makna faktor pendukung tidak langsung adalah berbagai kebutuhan eksternal proses belajar mengajar di pesantren dan madrasah, namun memiliki dampak signifikan jika faktor tersebut tidak terkendali dengan optimal seperti kerja sama dengan masyarakat, lembaga bisnis, lembaga pendidikan di luar pesantren dan madrasah, peningkatan secara terus-menerus sumber daya pendidik di pesantren baik dari segi ekonomi, sosial, pendidikan, karier dan lainnya.
Konstruksi pesantren dan madrasah idealnya dicanangkan Azra adalah menjadikan sebuah pesantren dan madrasah mampu menjadi lembaga yang neo-modernis yang berbasis perenial-esensialis dan kontekstual-falsifikatif.
Keluarga merupakan lembaga pendidikan pertama dan utama sebelum diterjunkannya anak di dunia pesantren dan madrasah. Dalam artian, apa yang terjadi dalam keluarga merupakan proses pendidikan yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan anak atau peserta didik. Oleh karena itu, sikap keagamaan, akhlak, akal pikiran, tingkah laku sosial dan budaya anak banyak dibentuk dan dipengaruh oleh pendidikan dalam keluarga. Maka fungsi dan tugas keluarga adalah menanamkan dan membentuk serta menjaga anak agar memiliki karakter yang baik.
Tantangan di Era Globalisasi
Di era globalisasi ini, pendidikan tinggi Islam setidaknya menurut Azra, mendapat empat tantangan utama sehingga belum mampu mencapai potret idealisnya: pertama, tantangan untuk meningkatkan nilai tambah, yaitu bagaimana meningkatkan produktivitas kerja nasional dan internasional serta pertumbuhan ekonomi sebagai upaya pendukung untuk melahirkan dan mengembangkan kualitas berkelanjutan.
Kedua, tantangan untuk melakukan riset secara komprehensif terhadap era reformasi struktur masyarakat tradisional dan agraris ke masyarakat industri, informasi, komunikasi, dan teknologi, serta bagaimana implikasinya bagi peningkatan dan pengembangan kualitas kehidupan SDM.
Ketiga, tantangan untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam menghasilkan karya-karya kreatif yang berkualitas sebagai hasil pemikiran, penemuan dan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Keempat, tantangan terhadap munculnya invasi dan kolonialisme baru di bidang iptek, yang menggantikan invasi dan kolonialisme di bidang politik dan ekonomi.
Formulasi Pendidikan
Gagasan paling fonomenal Azra mengenai formulasi pendidikan tinggi adalah tawarannya mengenai modernisasi pendidikan Islam dalam berbagai dimensinya yang tercermin dalam empat langkah fundamental, yakni reformulasi tujuan perguruan tinggi, rekonstruksi kurikulum, simplifikasi beban belajar dan dekompartementalitalisasi.
Munculnya pemikiran reformulasi tujuan perguruan tinggi karena secara faktual pendidikan tinggi Islam masih sangat terkesan berfungsi sebagai training center pembinaan dan pencetakan calon pegawai atau guru. Fungsi tersebut menurut Azra harus segera disempurnakan atau didekonstruksikan sebagai center of learning and research atau center of islamic thougt.
Makna dari restruktralisasi kurikulum merupakan peninjauan ulang terhadap mata kuliah umum yang kurang atau sangat sedikit sekali relevansinya dengan islamic studies. Dalam permasalahan kurikulum ini, sistem pendidikan Islam harus segera mendapat perhatian khusus karena secara realistis banyak terjadi tumpang tindih berbagai subjek umum dalam jenjang pendidikan.
Terlalu banyak beban belajar mata kuliah dalam setiap semester di perguruan tinggi karena banyak mata pelajaran yang tidak relevan harus segera diatasi dengan simplifikasi mata pelajaran yang tidak ada relevansinya dengan islamic studies. Tujuan dari simplifikasi ini adalah identifikasi pembelajaran terhadap mata kuliah yang paling relevan dengan islamic studies.
Dekompartementalisasi merupakan suatu cara untuk melonggarkan dan melepaskan mahasiswa yang masuk perguruan tinggi Islam agar tidak terjebak dalam dikotomi fakultas dan jurusan sejak awal yang berimplikasi pada sempitnya pemahaman mereka terhadap Islam yang holistik dan komprehensif. Langkah yang bisa ditempuh dalam menyukseskan dekompartementalisasi adalah dengan memberikan mata kuliah islamic studies pada mahasiswa semester satu sampai empat secara komprehensif tanpa sekat kewajiban memilih fakultas atau jurusan. Barulah setelah mereka semester lima diwajibkan untuk menentukan jurusan yang sesuai dengan bakat dan minat mereka setelah mendalami islamic studies selama empat semester sebelumnya.
Tujuan dan Masa Depan
Tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa kepada-Nya dan dapat mencapai kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat dalam konteks sosial, masyarakat, bangsa, dan negara.
Maka pribadi yang bertakwa ini menjadi rahmatan lil ‘alamin, baik dalam skala kecil maupun besar. Tujuan hidup manusia dalam Islam inilah yang dapat disebut sebagai tujuan umum atau akhir dari tujuan pendidikan Islam.
Tujuan khusus, menurut Azra, sifatnya lebih praxis, sehingga konsep pendidikan Islam jadinya tidak sekedar idealis ajaran-ajaran Islam dalam bidang pendidikan. Sehingga dapat dirumuskan harapan-harapan yang ingin dicapai dalam tahapan penguasaan kognitif, afektif dan psikomotorik, sekaligus dapat pula dinilai hasil-hasil yang telah dicapai. Dari tahapan-tahapan inilah kemudian dapat dicapai tujuan-tujuan yang lebih terperinci.
Dalam menyelenggarakan pendidikan pada abad yang mendatang sangat diperlukan adanya model pendekatan yang beragam sebagai ganti model pendekatan yang serba seragam, yang di mana sudah tidak sesuai lagi dengan semangat demokrasi, keterbukaan, informasi dan kesetaraan.
Jadi, kurikulum tidak berorientasi pada subject matter yang lebih diarahkan hanya untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan orang dewasa melainkan pada cild oriented yaitu harus diorientasikan pada anak didik.
Karena itu, dalam menghadapi hal tersebut perlu adanya gagasan untuk mengantar anak didik sejak awal belajar langsung bersahabat dengan kehidupan nyata yang dalam era modern ini bercirikan kompetensi atau kompetisi, dinamika kerja sama dalam jaringan interdependensi demi kepentingan bersama.
Oleh sebab itu, Azra menawarkan gagasan seyogyanya kurikulum harus diarahkan pada: orientasi pada perkembangan peserta didik; orientasi pada lingkungan sosial; dan orientasi pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam hal ini, pengembangan kurikulum harus memberikan arah dan pedoman yang memenuhi kebutuhan peserta didik yang disesuaikan dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Selain itu, orientasi kurikulum diarahkan juga untuk memberi kontribusi pada perkembangan sosial, sehingga output-nya mampu menjawab dan mengejawantahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.
Demikian juga pendidikan Islam harus berorientasi terhadap ilmu pengetahuan yang memuat sejumlah mata pelajaran dari berbagai disiplin ilmu, termasuk teknologi.
Secara konseptual, konstruksi pemikiran pendidikan Islam yang ditawarkan oleh Azra adalah sumber dari tipologi filsafat pendidikan Islam yang berupa neo-modernis. Modernisasi pada kelembagaan pendidikan Islam yang ditawarkannya adalah empat tiang utama yang saling menguatkan dan menyempurnakan antara satu dengan lainya; unifikasi agama, sains dan teknologi; rasionalitas dan inklusivisme pendidikan Islam; serta transformasi pendidikan Islam dan demokrasi pendidikan Islam.
Pemikiran modernisasi pendidikan Islam yang ditawarkan Azra merupakan mencitakan output lembaga pendidikan Islam yang mampu menjadi agent of change di tengah masyarakat global dalam lima peran; perubahan sistem nilai, output politik, ekonomi, sosial, dan kultural. Sehingga peserta didik memiliki dasar competitive advantage dalam lapangan kerja di era globalisasi saat ini. (*Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)