Search
Search
Close this search box.

Bangsa Jepang Ibarat Per yang Melompat Tinggi

Penulis. (Istimewa)
Listen to this article

Oleh: M. Dudi Hari Saputra*

Dari berbagai bangsa di dunia, Jepang adalah salah satu bangsa yang saya syukuri keberadaannya hari ini.

Mereka sudah mempengaruhi kehidupan kita semenjak kecil, dari film kartun Nobita, atau permainan mobil-mobilan seperti Tamiya, dan tentu tidak lupa permainan game dari Atari, Nintendo, Sega, dan Playstation.

Advertisements

Ketika beranjak dewasa, bangsa ini juga memberikan hal yang menarik: ada manga-manga bacaan wajib seperti Naruto, Bleach, dan tentunya One Piece. Selain musik (J-Rock dan J-Pop) dan film-film berkualitas mereka, saya tidak ingin mention wanita-wanita serta film-film dewasanya, kita cukup sama-sama tahu.

Dan juga budaya bangsa ini, dari sikap disiplin, sopan, ramah, kreatifitas, pantang menyerah, dan lebih hebatnya adalah pemaaf.

Bangsa Jepang ibarat benda berupa per. Di era Tokugawa, Jepang menerapkan kebijakan blokade internal. Mereka menutup segenap akses dari dunia luar. Ibarat per, bangsa ini terus menekan hasratnya untuk keluar.

Perubahan terjadi ketika restorasi internal terjadi. Kalau menonton film Samurai X dan The Last Samurai, kita pasti paham bahwa Jepang mengalami pergolakan internal yang luar biasa. Rezim Shogun Tokugawa runtuh, berganti ke rezim Kaisar Meiji yang kemudian mendirikan sistem negara Jepang seperti Inggris. Di satu sisi ada kaisar sebagai kepala negara, namun juga ada bentuk pemerintahan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan.

Tentu, Perancis dan Amerika Serikat (AS), dan Inggris memiliki andil. Perancis pro Tokugawa, dan AS-Inggris pro Meiji. Jadi, bangsa Eropa ini cukup memiliki andil untuk segenap konflik di dunia, tidak terkecuali di Jepang.

Ibarat per yang lama ditahan, ketika dilepas, ia meloncat ke mana-mana dan keras pula. Jepang pasca keterbukaan restorasi Meiji mengalami kemajuan cepat yang luar biasa, ekspansi industri dan militernya sangat eksponensial. Dalam beberapa tahun saja, mereka sudah bisa mengejar kemajuan Jerman, dan puncaknya di era 1940-an, mereka menguasai dan memiliki banyak koloni di Asia Timur dan Tenggara, serta menantang kekuatan terbesar di Laut Pasifik saat itu, yakni AS, melalui serangannya ke Pearl Harbor-Hawai.

Tapi, ibarat per yang baru dilepas tadi, yang awalnya loncat tinggi, lama-lama daya pegasnya turun juga. Mereka baru menyadari bahwa AS yang dihajarnya adalah negara industri besar, yang dulunya asyik membuat kulkas, kini dengan cepat menciptakan ribuan tank, pesawat tempur, dan kapal perang (kritik Roosvelt atas kebijakan AS saat itu yang cenderung pasif bahwa AS asyik membuat kulkas di saat Jepang banyak membuat bom).

Puncaknya, meletus ledakan bom atom di Hirosima dan Nagasaki. Jepang kalah dan malu total.

Armada Pasifik AS di bawah MacArthur dan Nimitz bahkan sampai masuk ke Tokyo dan menjadikan bekas markas besar militer Jepang sebagai kantor mereka.

Sederhananya, Jepang kalah telak. Menyerah tanpa syarat ke AS. Militernya dikendalikan oleh AS hanya untuk kebutuhan pertahanan.

Tapi bagaimana respons Kaisar Jepang dan rakyatnya atas kekalahan memalukan tersebut?

Jujur, persis seperti di cerita-cerita komik manga dan kartun Jepang. Tengoklah Nobita dan Naruto. Mereka adalah orang-orang yang dulunya kalah; lemah. Dan jika Nobita di-bully oleh Giant, maka Jepang pun sebenarnya di-bully oleh AS.

Tapi, bagaimana respons Nobita atau Naruto terhadap musuhnya? Malah memaafkan dan menjadikannya teman. Itulah psikologi bangsa Jepang saat ini. Mereka menjadikan musuh besar dan lama mereka, AS, sebagai sahabat dan teman dekat mereka, dan Jepang hari ini malah semakin besar ekspansi perekonomiannya, walau sudah dipatok oleh Tiongkok.

Tapi hal ini bisa menjadi pelajaran untuk kita, terutama untuk dunia Timur Tengah yang sangat susah menghilangkan dendam.

Ada konflik dan dendam ribuan tahun yang terus dipendam, Persia benci Arab, Arab benci Persia, Kurdi benci Turki, Turki benci Kurdi, Pashtun benci Hazarat, Hazarat benci Pashtun, dan lain-lain.

Maksud saya, permusuhan dan kebencian itu hanyalah perspektif kita dalam memandang sesuatu. Ia bukanlah sesuatu yang nyata di luar. Mengutip perkataan Rumi, “Kita adalah apa yang kita pikirkan. Kita melihat orang lain membenci kita, karena kita juga berfikiran untuk membenci mereka.”

Belajarlah dari bangsa Jepang. Sekian dan itadakimasu. (*Dosen Universitas Kutai Kartanegara)

Advertisements

Kunjungi Berita Alternatif di :

Bagikan

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements

BERITA ALTERNATIF

POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA