Oleh: Yustinus Prastowo*
Pidato politik (AHY) yang menggelitik. Saat dunia menjuluki kita “bright spot” di tengah suramnya ekonomi global, tudingan ‘mandek’ bahkan mundur hanya menebar pesimisme.
Saya siap menjawab dengan sanggahan buat Mas Agus Yudhoyono, sebagai pemenuhan hak publik untuk diskursus yang sehat dan terbuka.
Pembangunan infrastruktur harus diakselerasi untuk mengejar kemajuan, tingkatkan konektivitas, turunkan biaya logistik, tumbuhkan sektor ekonomi baru. Daya saing akan naik dan kesejahteraan merata. Ini prasyarat niscaya bagi Indonesia untuk maju.
Akselerasi infrastruktur tentu tanpa menomorduakan perlindungan sosial bagi masyarakat rentan dan miskin, karena faktanya, lebih dari separuh belanja APBN memberikan manfaat langsung kepada masyarakat.
Ini juga sudah dilakukan. Berbagai program pemberdayaan untuk mendukung akses permodalan UMKM, pula untuk masyarakat miskin dan rentan dilakukan melalui subsidi bunga, UMi, dan KUR. Pun demikian dengan akses ke pekerjaan melalui program Prakerja dan pelatihan di BLK.
Pada tahun 2022, dukungan UMKM terealisasi sebesar Rp 26,1 triliun. KUR tersalur Rp 364,3 triliun untuk 7,6 juta debitur. Nilai penjaminan UMKM sebesar Rp 12,7 triliun untuk 764 ribu debitur. Selain itu pemerintah memberikan jaminan korporasi Rp 2,2 triliun untuk 8 debitur. Ketimbang bicara normatif belaka, lebih baik berpijak pada data dan fakta.
Sejak 2019 sampai dengan 2022, belanja pegawai tumbuh rata-rata 3,8% di antaranya untuk kenaikan gaji dan pensiun pokok, THR, gaji ke-13, serta perbaikan tukin K/L (seiring capaian reformasi birokrasi).
Untuk tenaga pendidik, pada 2022 kita berikan TPG non PNS untuk 577 ribu guru dan TPG PNS untuk 1,06 juta guru. Tukin ini penilaian yang lebih fair karena didasarkan pada capaian kinerja.
Selanjutnya, kita tunggu kejutan dalam Pidato Presiden RUU APBN 16 Agustus nanti.
Dalam kurun waktu 2019-2022, subsidi non energi cenderung naik dengan rata-rata 36,8%-nya untuk subsidi pupuk. Di tahun 2022 sebanyak 7,4 juta ton subsidi pupuk tersalurkan.
Di tahun 2023 ini Pemerintah tetap memberikan anggaran untuk subsidi pupuk dengan jumlah sebesar Rp 25,3 triliun. Kita menyiapkan dan mematangkan skema subsidi yang lebih adil dan tepat sasaran.
Selanjutnya untuk menjamin petani menjual hasil panen pada harga terbaik, kita terapkan kebijakan SSRG (Skema Subsidi Resi Gudang) untuk petani menjaminkan komoditi yang disimpan di gudang Sistem Resi Gudang (SRG) yang resinya dapat diagunkan ke bank untuk mendapatkan modal.
Mestinya Mas AHY masuk ke dalam detail dan mengkritik formulasi dan implementasi, tak sekadar melempar tudingan tanpa dasar.
Pada tahun 2022 perekonomian kita tumbuh 5,3% dan tertinggi dalam satu dekade terakhir, serta lebih kuat daripada rata-rata kawasan regional. Atas pertumbuhan ekonomi yang berkualitas tersebut kita berhasil menurunkan tingkat pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan.
Jadi, mana data yang menunjukkan kemiskinan dan pengangguran meningkat? Sebaiknya tidak ahistoris, mengabaikan pengaruh dan dampak pandemi Covid-19 dan dinamika perekonomian global beberapa waktu terakhir.
Kalau sebelum pandemi datang, saya juga punya data. Pada tahun 2018 dan 2019 ekonomi kita tumbuh stabil masing-masing 5,2% dan 5,0%, relatif lebih baik dari negara-negara lain di dunia.
Inflasi pun relatif terjaga dan untuk pertama kalinya, pada Februari 2020 indikator PMI Manufaktur Indonesia kembali ke zona ekspansi. Sekali lagi, membandingkan itu perlu konteks dan pijakan Mas AHY.
Untuk ini (anggaran diarahkan untuk meringankan penderitaan rakyat) kami sependapat. Karena nyatanya 55,2% atau Rp 492,0 triliun atau mayoritas belanja pemerintah pusat semester I-2023 diarahkan untuk melindungi dan memberikan manfaat langsung kepada masyarakat. Jadi, Mas AHY sedang mengafirmasi.
Setiap tahun, pemerintah menggelontorkan ratusan triliun untuk belanja perpajakan. Saat pandemi, ditambahkan dana PEN yang termasuk di dalamnya untuk subsidi pajak DTP. Belum lagi tax holiday untuk industri pionir, serta UU HPP yg mengatur WP OP UMKM dengan omzet di bawah Rp 500 juta tidak kena PPh. Ini UU terobosan di 2021 agar keadilan lebih substansial. Sayang Partai Demokrat banyak tidak setuju saat pembahasan.
Pemerintah tidak berdalih, itu memang amanat UU 17/2003 yang membatasi jumlah pinjaman maksimal 60% dari PDB. Untuk mengendalikannya, efisiensi bunga utang selalu ditingkatkan dengan tetap memperhatikan volatilitas pasar keuangan global. Ketersediaan likuiditas pemerintah juga dicermati. Bukan tanpa alasan lembaga pemeringkat R&I baru saja meningkatkan outlook Indonesia menjadi positif (sebelumnya stabil) dengan peringkat BBB+. Artinya tata kelola kita baik dan diapresiasi. Saya percaya Mas AHY tidak akan asing aseng dan objektif.
Dengan menghentikan utang (yang selama ini terkendali), maka kita akan kehilangan kesempatan untuk dapat berbelanja pada sektor prioritas. Karena faktanya, meskipun utang bertambah 1,6 kali, pemerintah dapat mempercepat pembangunan infrastruktur karena alokasi anggaran naik 2,3 kali; pendidikan naik 1,3 kali; kesehatan naik 1,9 kali; dan perlindungan sosial naik 3,8 kali.
Matur nuwun untuk kritikannya Mas AHY. Semoga ini jadi diskursus yang baik dan menjadi percakapan rasional di ruang publik. (*Tenaga Ahli Kemenkeu RI)