Oleh Aji Sofyan Effendi*
Dijagad media sosial viral tayangan tentang wacana pemberian konsesi IUP Batubara untuk dikelola oleh kampus atau perguruan tinggi yang ada di Indonesia, belum diketahui secara Persis apakah PTN atau PTS, apakah yg ada di Daerah yang memang berbasis Sumber Daya Alam (SDA) batubara atau termasuk daerah yang PTN/PTS nya berbasis non SDA seperti di Pulau jawa.
Disatu segi niat ini apakah masih wacana alias issue atau memang segera launching, belum dapat dipastikan juga, tidak seperti pemberian konsesi pemberian di ormas keagamaan, yang konon sudah memegang IUP tersebut, namun belum ada progres apakah IUP ini sudah operasional atau juga baru ancang – ancang diatas kertas.
Tidak gampang memang, proses ini, butuh pemikiran, konsep, rencana yang detail dan cermat, karena PTN/PTS yg ada, jangankan menjalankan bisnis batubara yg penuh onak duri, intrik dan mafia serta modal finansial dan skill yang tinggi, menjalankan bisnis membuka kantin di kampusnya aja bangkrut. Ya begitulah pernak pernik bisnis, karena kampus memang ditakdirkan untuk tidak berbisnis walaupun dosennya mengajarkan bagaimana bisnis yg sukses.
Banyak pola sebenarnya, agar PTN/PTS kalau toh mau berbisnis batubara, setidaknya ada beberapa cara :
1.Terkait dengan bisnis batubara, kampus khusus untuk kajian dan penelitian nya saja utk pengembangan lahan yang ramah lingkungan.
2.Tugas kampus terbatas untuk pengembangan SDM di sektor batubara saja.
3.Pelibatan kampus untuk pemberdayaan masyarakat disekitar konsesi IUP batubara..
4.Kampus perlu berkolaborasi dengan perusda di masing-masing daerah, eksekutor berada di perusda karena merek lebih berpengalaman, kampus hanya mendapatkan fee dalam kerjasama tersebut.
5.Kampus mendapatkan Corporate Social Responsibility (CSR) batubara misalnya 10% sebagai dana abadi pendidikan, sehingga mampu mendorong biaya operasional pendidikan dan bisa mensubsidi beasiswa pendidikan sehingga UKT menjadi mengecil.
6.Kampus, mendesain industri hilir batubara namun eksekusi tetap dilakukan oleh perusda, bisnis batu-bara nya bukan bermain di sektor hulu, karena memang kampus tidak mempunyai kemampuan itu.
Namun disisi lain, kita perlu memahami bahwa philosopi pendirian Kampus adalah “mercusuar pengetahuan” , tempat di mana ide dan nilai kemanusiaan dibentuk untuk membangun masa depan yang berkelanjutan. Di sisi lain, pertambangan batubara adalah simbol dunia bisnis yang sering kali penuh dengan intrik, mafia, , dan risiko finansial yang menghancurkan. Dunia kampus, dengan jubah akademiknya yang bersih, kini dihadapkan pada godaan gelap lubang-lubang tambang yang menganga.
Sejarah tidak pernah mencatat sukses story yang benar-benar konstruktif dari industri pertambangan batubara. Lubang-lubang tambang meninggalkan luka mendalam pada lanskap bumi, menguras sumber daya alam, dan sering kali menyisakan kerusakan ekologis yang tak tergantikan bahkan nyawa manusia di kaltim yaitu 32 bocah meninggal dunia akibat bermain di lobang – lobang menganga eks batubara, Ironisnya, kampus yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menciptakan solusi bagi krisis lingkungan justru berisiko menjadi pelaku dari kehancuran tersebut.
Apakah kita lupa bahwa regulasi dunia bisnis yang peduli lingkungan lahir dari gagasan-gagasan akademisi ? Para cendekiawan selama ini merumuskan hukum untuk menjaga agar eksploitasi sumber daya alam tidak merusak masa depan bangsa. Namun, jika kampus ikut berkecimpung dalam bisnis batubara, maka integritas hukum itu sendiri akan terkikis. Bagaimana kampus dapat mengajarkan kesadaran lingkungan jika mereka turut menggali lubang kehancuran ?
Pada akhirnya, lubang tambang bukan hanya soal kerusakan fisik, tetapi juga kerusakan nilai. Kampus yang terlibat dalam dunia bisnis batubara berpotensi kehilangan identitasnya sebagai pilar logika sehat dan garda hukum. Ia berubah dari tempat melahirkan solusi menjadi bagian dari masalah.
Jika wacana ini diwujudkan, kita tidak hanya kehilangan hutan-hutan tropis atau lahan-lahan produktif. Kita kehilangan jiwa kampus itu sendiri, yang selama ini menjadi penjaga nilai-nilai luhur peradaban. Filosofi akademik yang mendorong keadilan, keberlanjutan, dan keseimbangan akan terkubur di bawah debu tambang.
Maka, mari kita renungkan. Apakah keuntungan finansial sesaat sebanding dengan harga yang harus kita bayar ? Apakah kita rela melihat kampus-kampus di Indonesia kehilangan martabatnya, menjadi sekadar alat untuk mengisi pundi-pundi kampus ? Ataukah kita memilih untuk menjaga kemurnian nilai-nilai akademik, tetap menjadi penjaga nurani bangsa, dan menolak menjadi bagian dari lubang-lubang kehancuran ?
Peradaban yang besar tidak dibangun di atas kerusakan. Kampus sebagai jiwa intelektual bangsa tidak boleh kehilangan arah hanya karena iming-iming keuntungan materi. Kita butuh kampus yang berdiri tegak, dengan prinsip yang kokoh, menjadi pelita di tengah kegelapan dan bukan terjerumus ke dalam lubang hitam tambang batubara.
Bahwa niat baik pemerintah untuk memberikan konsesi IUP batubara, guna meringankan beban operasional keuangan kampus patut diapresiasi namun jangan sampai mudharat nya lebih besar dari manfaatnya tampak nya dunia bisnis batubara memiliki jarak timur dan barat dengan dunia kampus. (Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mulawarman*)