Oleh: Ismail Amin*
Setelah menahan diri berminggu-minggu dengan pertimbangan strategis, Iran meluncurkan serangan rudal balistik jarak jauh ke instalasi militer kunci Israel di dan sekitar Tel Aviv pada 1 Oktober 2024.
Setiap rudal dengan hulu ledak beratnya mengenai sasaran, melewati beberapa lapisan pertahanan udara wilayah Palestina yang diduduki, meninggalkan infrastruktur militer Israel yang banyak dibicarakan terhuyung-huyung. Saat debu mereda dan fakta yang menyakitkan mulai muncul, rezim Israel dengan cepat memberlakukan pembungkaman pers, melarang pembicaran tentang jumlah korban atau dampak kerusakan.
Bagaimanapun, jika tidak ada yang melihat pecahan kaca, maka lebih mudah mengklaim, bahwa tidak terjadi apa-apa. Benyamin Netanyahu, meski dengan tangan bergetar melaporkan bahwa tentara-tentaranya secara heroik berhasil menghalau serangan Iran dan tidak membuahkan apa-apa. Padahal dengan mata telanjang, banyak rudal-rudal Iran yang berhasil meledak di darat yang terpantau oleh video-video amatir yang diambil oleh warga yang menyaksikan langsung.
Di antara target kunci adalah pangkalan udara Tel Nof dekat Tel Aviv, pangkalan udara Nevatim yang menampung pesawat tempur F-35, pangkalan udara Ramon, dan pangkalan udara Hatzerim.
Bagi beberapa jurnalis yang cukup berani untuk melaporkan tentang Operasi Janji Sejati II, dan kerusakan yang ditimbulkannya, seperti Jeremy Loffredo dari situs web Grayzone, harus membayar mahal keberaniannya. Ia diseret ke penjara dengan tuduhan yang dibuat-buat. Sebuah bogem mentah modern untuk mereka yang berani mengungkap kebenaran.
Namun, sifat alamiah rahasia, adalah tidak bisa ditutup-tutupi, dan memang demikian. Laporan kerusakan besar yang disebabkan oleh rudal Iran seperti Ghadr, Emad, dan Fattah-1 hipersonik bermunculan di media dengan bukti-bukti visual. Israel menghibur diri, dengan menyebarkan foto-foto selongsong-selongsong rudal yang jatuh di gurun-gurun pasir, untuk menunjukkan rudal-rudal Iran kebablasan dalam mencapai target. Padahal itu selongsongnya.
Dengan serangan ini, Iran kini dikenal sebagai negara produsen rudal dan pesawat drone terkuat di dunia. Rudal-rudal itu tidak hanya menghancurkan infrastruktur militer. Puluhan tentara yang ditempatkan di pangkalan-pangkalan ini juga menghilang begitu saja, meskipun pernyataan resmi Israel tetap bungkam, lebih memilih untuk tidak membesar-besarkan masalah daripada transparan, untuk menghindari rasa malu dan pembullyan. Serangan itu melumpuhkan pangkalan itu dan mengakibatkan banyaknya korban jiwa dari kalangan militer. Namun, rezim tersebut menolak untuk mengakuinya secara terbuka.
Beberapa minggu kemudian, tepatnya pada tanggal 18 Oktober, gerakan perlawanan Hizbullah Lebanon melaportkan keberhasilan misinya. Hizbullah meluncurkan serangan drone ke ruang makan, langsung ke unit pengintaian Brigade Golani di kota Haifa yang diduduki. Media Israel awalnya ragu-ragu, sebelum akhirnya dengan berat hati mengonfirmasi kematian lima tentara. Namun, seperti yang kemudian diungkapkan oleh sumber yang tidak mau disebutkan namanya, jumlah sebenarnya jauh lebih tinggi, terkubur di bawah lapisan kerahasiaan dan kesunyian yang menjadi ciri prosedur operasi standar militer Zionis.
Pertempuran darat baru-baru ini antara militer Israel dan pejuang perlawanan Hizbullah di Lebanon selatan jelas telah mendorong pasukan Israel ke titik puncaknya, dengan laporan saksi mata menunjukkan korban tewas di pihak Israel mencapai ratusan, serta hancurnya tank Merkava, buldoser militer, kendaraan lapis baja, pengangkut pasukan, serta pesawat nirawak Hermes 450.
Namun, rezim di Tel Aviv hanya mengeluarkan sebagian kecil dari jumlah yang mengerikan ini, menghitung jumlah tentara dalam puluhan alih-alih ratusan untuk mengecilkan serangan terhadap moral para pemukim yang terus hidup dalam ketakutan. Pada Minggu (27/10), seorang juru bicara militer Israel dengan berat hati mengumumkan tewasnya seorang perwira dan tiga prajurit dari Batalyon 8207, Brigade Alon 228 selama pertempuran darat di Lebanon selatan dengan Hizbullah berdasarkan klausul “diizinkan untuk menerbitkan”. Jadi, penerbitan konten tersebut harus sesuai dengan klausul yang berwenang di Israel.
Transparansi Iran dan Gerakan Perlawanan
Di Gaza, jumlah korban tewas di antara warga Palestina secara tragis telah melampaui 43.000, sebagian besar dari mereka adalah wanita dan anak-anak, setelah satu tahun agresi genosida yang dimulai pada 7 Oktober 2023. Namun, para pejuang dari Brigade Al-Qassam, Brigade Al-Quds, dan lainnya tetap melancarkan perlawanan.
Buletin harian dari kelompok-kelompok ini menggambarkan operasi kompleks yang terus memakan korban dari pasukan rezim, menggunakan repertoar yang mencakup senapan Qassam Ghoul, peluru Al-Yassin 105, alat peledak Shuath, dan bom barel Thaqib. Bahkan tongkat yang diabadikan oleh Martir Yahya Sinwar.
Namun, kita hampir tidak mendengar apa pun dari militer Israel tentang jumlah korban tewas dalam operasi ini. Mereka tetap bungkam tentang kerugian tersebut sambil membanggakan kejahatan genosida mereka sendiri. Ketidakmampuan mereka beradu senjata di darat, mereka tutupi dengan melancarkan operasi serangan udara, yang malah target operasinya adalah warga sipil dan pengungsi.
Iran secara terbuka mengakui empat tentaranya tewas setelah serangan Israel di kota-kotanya pada hari Sabtu (26/10/2024). Baik Iran maupun Poros Perlawanan, yang mencakup Lebanon, Palestina, Yaman, dan Irak, tidak menutupi kerugiannya. Hamas dan Jihad Islam di Gaza, Hizbullah di Lebanon, dan Ansarullah di Yaman menghormati mereka yang gugur dalam perjuangan melawan rezim Israel dan para pelindung Baratnya.
Para pejuang ini gugur demi suatu tujuan, tujuan yang lebih besar daripada ambisi pribadi. Baik itu pemimpin Hizbullah Sayyid Hassan Nasrallah, komandan IRGC Abbas Nilforoushan atau pemimpin Hamas Yahya Sinwar, orang-orang ini bertempur di garis depan dan menerima kesyahidan. Mereka mendambakannya dan siap untuk itu.
Seperti yang diamati dengan tepat oleh Pemimpin Revolusi Islam Iran Ayatullah Sayyid Ali Khamenei dalam sambutannya pada hari Minggu (27/10/2024), kaum Zionis tidak mengenal Iran, pemuda Iran, bangsa Iran, dan mereka belum benar-benar memahami kekuatan, kemampuan, kecerdikan, dan kemauan bangsa Iran.
“Rezim Zionis menderita karena salah perhitungan tentang Iran,” ucapnya.
Rezim pembunuh anak-anak tidak dapat memahami semangat Iran atau tekad baja rakyatnya—apalagi ketahanan warga Palestina, Lebanon, dan Yaman, yang menganggap mati syahid sebagai lambang kehormatan. Inilah alasannya mengapa prosesi pemakaman massal memenuhi Teheran, Gaza, Tepi Barat yang diduduki, Lebanon selatan, dan Sana’a untuk para martir karena pengorbanan demi suatu tujuan merupakan suatu kehormatan bagi mereka. Sebaliknya, pasukan rezim Israel dan para pemukim terperangkap dalam dilema tidak memiliki tempat di mana pun dan mati tanpa alasan apa pun.
Entitas Zionis adalah sekelompok pemukiman ilegal yang ditempati oleh para pemukim tanpa rasa memiliki. Sementara kaum Zionis memperjuangkan agenda untuk keuntungan politik mereka sendiri, mereka berusaha menemukan keyakinan atas tanah yang tidak dapat mereka sebut rumah, tanah yang dicuri dari penduduk aslinya.
Sebagian besar pemukim, seperti Benzion Mileikowsky (lebih dikenal sebagai Benjamin Netanyahu) keturunan Polandia, memiliki paspor ganda buat jaga-jaga. Retorika tentang “tanah yang dijanjikan” gagal untuk menginspirasi nasionalisme, karena sulit untuk merasa bangga terhadap wilayah yang direbut secara paksa dan ilegal dari orang lain. Sebuah laporan oleh @dimitrilascaris di X telah menemukan peningkatan tajam dalam migrasi pemukim Israel ke Siprus sejak 7 Oktober 2023, dengan banyak yang berusaha membeli properti, termasuk rumah dan tanah.
Sangat kontras dengan keyakinan dan tekad yang tak tergoyahkan dari para pejuang perlawanan, tentara Israel tampak kehilangan arah, berjuang bukan untuk suatu tujuan tetapi untuk agenda politik, untuk kolonialisme-pemukim.
Contoh penting dari sifat mudah dibuang ini adalah Doktrin Hannibal, sebuah pengingat suram dari 7 Oktober 2023, ketika pasukan Israel membunuh pasukan mereka sendiri untuk mencegah penangkapan mereka oleh pejuang Hamas, meninggalkan banyak tentara dan pemukim rezim yang terlupakan, berubah menjadi statistik yang dingin dan terbuang sia-sia. Belum lagi, sandera yang harusnya diselamatkan, tidak sedikit justru malah terbunuh oleh operasi IDF sendiri.
Di Iran, Palestina, Yaman dan Lebanon, para martir menginspirasi generasi untuk meneruskan warisan mereka. Obor Sayyid Abbas Mousavi diteruskan oleh Sayyid Hassan Nasrallah dan warisan Syaikh Ahmad Yassin dilestarikan oleh Ismail Haniyah dan Yahya Sinwar. Gerakan ini tumbuh dan ideologinya menguat. Di sisi lain, pasukan atau pemukim Israel yang terbunuh jarang menerima penghormatan publik. Mereka diperlakukan hanya sekedar statistik. Sejak 7 Oktober, sejumlah besar pemukim telah meninggalkan wilayah pendudukan, dengan rezim dengan panik memberlakukan larangan perjalanan untuk mengekang eksodus.
Fakta yang tidak bisa disembunyikan, menurut Haaretz 130 tentara Israel telah menyatakan bahwa mereka akan menolak bertugas di tentara pendudukan. Ke 130 prajurit yang meliputi para prajurit cadangan dan wajib militer di berbagai cabang militer, termasuk Korps Lapis Baja, Korps Artileri, Komando Front Dalam Negeri, angkatan udara, dan angkatan laut mengirim surat kepada Menteri Kabinet dan Kepala Staf Angkatan Darat. Para penandatangan surat tersebut menyatakan tidak ingin mati sia-sia.
Jadi Netanyahu memahami bahwa pengungkapan korban tewas dalam pertempuran akan semakin menurunkan moral penduduk pemukim yang sudah dirundung rasa takut dan cemas. Pembungkaman pelaporan korban adalah langkah yang diperhitungkan, sebuah taktik untuk menghindari kesadaran massal terhadap biaya pendudukan yang terus meningkat.
Banyak tentara dan pemukim Israel tewas pada tanggal 7 Oktober di tangan militer Israel sendiri di bawah Arahan Hannibal. Saat ini, para korban itu telah terlupakan. Tidak ada lagi yang mengingat mereka. Mereka telah berubah menjadi statistik yang dingin, terbuang sia-sia untuk entitas yang tidak sah dengan fondasi yang goyah yang semakin menatap kehancurannya.
Ini adalah salah satu bahaya hidup di tanah yang diambil secara paksa. Seorang penjajah tidak akan pernah benar-benar menjadi bagian dari tanah yang diduduki dan tanah yang diduduki tidak akan pernah bisa menjadi rumah. Dan rezim yang dibangun di atas ilusi dan kekuatan akan selamanya berdiri di atas fondasi pasir, terkikis oleh setiap tindakan perlawanan dan setiap nama yang coba dikuburnya.
Sementara, Iran, Hamas, Hizbullah dan front perlawanan lainnya, akan transparan melaporkan jumlah korban yang tewas dari tentarannya dengan rasa bangga. Tidak ada nama yang disembunyikan dan diabaikan. Mereka diupacarakan dengan pemakaman yang dihadiri masif berbagai kalangan. Sebab mereka percaya, setiap tetes darah dari pejuang yang gugur, akan semakin menyuburkan semangat perlawanan. (*Mahasiswa S3 Universitas Internasioal Almustafa Iran)