Oleh: Nur Syam*
Masyarakat Indonesia yang plural dan multikultural tentu harus berterima kasih yang tidak terhingga pada para pendiri bangsa. Pandangan para pendiri bangsa yang futuristik dalam melihat Indonesia ke depan adalah contoh betapa hebatnya para pendiri bangsa itu.
Kita masih bisa menyaksikan Indonesia yang bersatu dengan kehidupan negara dan bangsa yang aman adalah karena pilihan sangat cerdas pada pendiri bangsa (founding fathers) negeri ini yang mengedepankan kepentingan bangsa dan negara dibanding kepentingan individu dan golongan.
Suatu teladan yang sangat luar biasa bagi generasi sekarang dan yang akan datang telah ditunjukkan oleh para pendiri bangsa dengan menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, UUD 1945, NKRI dan kebinekaan (Bhineka Tunggal Ika) sebagai pilar kebangsaan.
Pancasila menjadi common platform bagi bangsa ini untuk merajut persatuan dan kesatuan bangsa. Kita tidak bisa membayangkan andaikan negeri ini berdasar atas isme-isme lain, baik isme yang diturunkan dari agama, atau isme sosial ekonomi dan politik yang berbeda dengan Pancasila.
Sungguh pilihan para pendiri bangsa untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dan bukan yang lain merupakan warisan yang tidak ternilai harganya bagi bangsa Indonesia. Jika ada orang yang menginginkan dasar negara selain Pancasila sebaiknya tidak usah menjadi warga negara Indonesia.
Andaikan para pendiri bangsa yang terdiri dari berbagai penggolongan sosial, agama dan politik tersebut tidak saling kompromi untuk menetapkan dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945, maka kita tidak tahu bagaimana negeri ini sekarang. Ada kaum nasionalis, agamawan, dan ideologi lain yang terlibat di dalam negosiasi untuk menetapkan dasar negara Indonesia yang baru saja diproklamirkan.
Andaikan kala itu tidak terjadi kedewasaan, keluasan paham dan paham kebangsaan yang matang, maka pastilah mereka akan berebut saling berkuasa. Dengan musyawarah dan mufakat akhirnya dipastikan bahwa yang menjadi dasar negara adalah Pancasila.
***
Dewasa ini ada sejumlah eksponen bangsa yang berpikir dalam corak yang berbeda. Ada di antaranya yang terpengaruh ideologi trans-nasional, baik berbasis agama (misalnya khilafah), ideologi sosialisme (misalnya gerakan New Left), dan ideologi liberalisme (misalnya gerakan kebebasan).
Di sisi lain juga terdapat kelompok atau golongan yang tetap setia pada NKRI dengan Pancasila sebagai dasar negara. Mereka adalah sekelompok warga negara yang sangat sadar bahwa masyarakat Indonesia yang sangat plural dan multikultural tidak bisa menggunakan bentuk negara lain selain NKRI dan dasar negara selain Pancasila.
Gerakan untuk mendirikan khilafah di Indonesia yang diprakarsai oleh HTI di masa lalu, tetap eksis hingga hari ini. Tidak lagi menggunakan HTI karena sudah dibubarkan oleh pemerintah, kemudian menjadi organisasi yang tidak berbentuk tetapi masih eksis paham khilafahnya. Mereka bisa memasuki organisasi yang masih eksis atau memasuki organisasi tidak berbentuk dengan tetap mengajarkan dan mentransformasikan ideologi khilafah bagi orang atau kelompok lain.
Begitu pula gerakan New Left juga bermetamorfosis ke dalam bentuk lain atau memasuki kekuasaan dengan bermain secara luwes tetapi tetap mengusung ideologi yang tidak akan pernah mati tersebut. Gerakan ini juga sudah masuk ke dalam birokrasi dan juga parlemen dan bahkan berpengaruh terhadap kebijakan-kebijakan dalam bentuk regulasi di Indonesia.
***
Beberapa waktu lalu, sebanyak 15.000 anak-anak muda melakukan apel siaga untuk menegakkan NKRI dan membela Pancasila sebagai dasar negara. Mereka adalah kader-kader NU yang telah bersumpah untuk menjaga NKRI untuk meneguhkan spirit kebangsaan. Dengan pakaian putih dan bercelana gelap berkopyah dan mengusung panji-panji NU mereka menyanyikan Yalal Wathan, di Pantai Kebumen Jawa Tengah.
Pada tengah malam mereka berikrar untuk menjadi penjaga NKRI dan membela tanah air dan berpawai disaksikan oleh ombak laut Pantai Selatan. Mereka akan menghalau terhadap segala individu dan kelompok yang akan merusak NKRI. Semua bentuk negara selain Pancasila, seperti khilafah dan lainnya adalah upaya untuk merongrong NKRI. Mereka memperingatkan kepada semua kelompok yang akan merongrong NKRI agar berhati-hati dan berpikir panjang.
Secara sosiologis, ada teori yang bisa digunakan untuk menjelaskan tentang identity and symbolic boundaries, bahwa pada saat terdapat sekelompok orang, kelompok dan lain dianggap sebagai yang lain atau dikecualikan, maka di sinilah identitas itu eksis. Lebih lanjut dijelaskan oleh Michele Lamont (Culture and Identity) menawarkan teori status multifacet yang berpusat pada hubungan antara berbagai standar evaluasi diri—misalnya moralitas dan status sosial ekonomi—dalam repertoar nasional.
Berdasarkan teori ini, maka bisa dipahami bahwa upaya untuk membela negara melalui berbagai cara, termasuk sumpah setia atau janji setia adalah upaya untuk memberikan ketegasan tentang identitas diri dalam relasi dengan kelompok lain. Simbol yang digunakan adalah baiat, sumpah setia atau janji kesetiaan, dan nyanyian heroik untuk membangkitkan semangat perlawanan atas kelompok lain yang akan merongrong atas NKRI.
Kemudian, melalui pengungkapan sumpah setia itu juga menggambarkan tentang bagaimana relasi yang terjadi dalam relasi dengan kelompok lain, berbasis standar moralitas diri, di mana status yang bervariasi dalam standar evaluasi diri tersebut akan memberikan kejelasan tentang siapa yang berada di dalam identitas yang sama dan yang tidak, dan hal tersebut bisa dipahami dalam realitas panggung pertunjukan berkebangsaan.
Mereka yang melakukan apel kebangsaan dengan sumpah setia tersebut hakikatnya merupakan simbol identitas sebagai bangsa yang akan teguh mempertahankan nasionalismenya di tengah berbagai ideologi yang berada di dalam panggung berkebangsaan. Dan secara historis NU telah teruji dengan kejelasan sikap dan tindakan kebangsaannya. Wallahu a’lam bi al shawab. (*Guru Besar dan mantan Rektor UIN Sunan Ampel, Surabaya)
Sumber: Artikel nusantarainstitute.com berjudul NKRI Harga Mati dan Makna Bela Negara