BERITAALTERNATIF.COM – Kasus “pemerkosaan dan pernikahan paksa” yang diduga dilakukan oknum ustaz berinisial AA, yang merupakan pimpinan salah satu Pondok Pesantren (Ponpes) di Tenggarong, kini sudah bergulir di Kejaksaan Negeri Tenggarong.
Kabarnya, kasus tersebut akan segera dibawa ke meja hijau untuk kemudian disidang oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Tenggarong.
Hal ini diungkapkan oleh pengacara Tim Reaksi Cepat Perlindungan Anak dan Perempuan (TRC-PPA) Kaltim Sudirman kepada beritaalternatif.com, Kamis (14/7/2022) sore.
“Kasus itu sudah mau masuk tahapan persidangan. Untuk kelanjutannya, masih terus berproses. Info yang kami dapatkan terakhir itu adalah tinggal tunggu jadwal persidangan saja,” ungkap Sudirman.
TRC-PPA Kaltim, sambung dia, telah berkomunikasi dengan korban beserta keluarganya. Terkait pendamping hukumnya, korban akan didampingi oleh jaksa penuntut umum, yang mewakili seluruh kepentingan korban dalam proses persidangan di pengadilan.
“Kalau terkait pendampingan psikis, karena kita sempat komunikasi juga, mereka sudah sering dikunjungi oleh UPTD PPA Kukar,” terangnya.
Karena itu, pihaknya tak bisa mengintervensi proses pemulihan psikis korban apabila yang bersangkutan dan keluarganya tak memintanya dari TRC-PPA Kaltim.
“Biarlah UPTD PPA yang mendampinginya. Tapi, kalaupun dari keluarganya mau kita dampingin korbannya, kita akan komunikasikan. Kita akan selalu terbuka untuk bantu korban,” ucapnya.
Meskipun kasus tersebut tidak sepenuhnya ditangani oleh TRC-PPA Kaltim, pihaknya berkomitmen untuk terus memantau perkembangannya, khususnya melihat proses persidangan di Pengadilan Negeri Tenggarong.
“Karena kan nanti (sidangnya) pasti akan terbuka. Dalam artian, ada berita-berita yang akan disampaikan kalau memang persidangan itu dilakukan secara tertutup,” sebutnya.
Dia menyebutkan bahwa penanganan kasus tersebut sudah berjalan sesuai proses hukum yang berlaku. Terkait tahapannya di kepolisian hingga kejaksaan yang dinilai tergolong lamban, Sudirman mengatakan, penanganan kasus seperti ini tidak serta-merta dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat.
“Karena kan banyak hal yang harus dipertimbangkan, baik oleh pihak kepolisian ataupun jaksa. Itu betul-betul ditangani secara matang, barulah kemudian diajukan ke pengadilan,” jelasnya.
Disinggung terkait pasal-pasal yang disangkakan kepada AA, dia mengaku belum mempelajarinya secara detail. Namun, pada umumnya kasus yang terkait anak, tersangka akan dikenakan hukuman sesuai Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Sebelumnya, kepolisian menjerat tersangka dengan Pasal 76 D Jo Pasal 81 Ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman kurungan penjara paling lama 15 tahun. “Cuman, kemungkinan ada tambahan-tambahan pasal lain,” jelasnya.
TRC-PPA Kaltim, jelas dia, menginginkan agar AA dihukum seberat-beratnya. “Kami sangat menentang perbuatan pelaku dan pelaku harus dihukum seberat-beratnya,” tegas dia.
Dia menegaskan bahwa pondok pesantren yang sebelumnya dipimpin oleh AA tidak bisa disalahkan dalam kasus tersebut. Pihaknya ingin masyarakat membedakan antara keduanya (pesantren dan pelaku).
Baginya, pondok pesantren yang pernah dipimpin tersangka tidak bermasalah. Pihak yang bermasalah dalam kasus tersebut hanya pelaku. “Jadi, yang kami inginkan adalah oknum ini harus betul-betul dihukum seadil-adilnya dan seberat-beratnya,” imbuh Sudirman.
Meskipun korban yang melaporkan kasus tersebut hanya satu orang, hal ini tidak berarti dapat dijadikan dalih bahwa pelaku bisa mendapatkan hukuman ringan.
Hukuman berat terhadap pelaku, ujar dia, harus diberikan oleh aparat hukum agar memberikan efek jera kepada AA, serta menjadi pelajaran bagi masyarakat supaya tidak melakukan hal yang sama.
Alasan lain, pelaku merupakan pimpinan pondok pesantren, yang mestinya menjadi pengayom bagi para santri dan santriwati.
“Jadi, kalau kemudian kita jadikan hanya satu orang korban sebagai indikatornya, itu sangat-sangat tidak elok,” tegasnya.
“Karena apa bedanya ketika dia melakukan itu kepada satu korban dengan 10 korban? Sama saja. Perbuatan itu tidak dibenarkan. Apalagi beliau seorang pemimpin pesantren di mana orang-orang menimba ilmu agama,” pungkasnya. (*)