BERITAALTERNATIF.COM – Baru-baru ini, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Daryono mengungkapkan terkait gempa Megathrust yang akan melanda wilayah di Indonesia.
Daryono menyinggung kekhawatiran ilmuwan Indonesia soal seismic gap Megathrust Selat Sunda dan Megathrust Mentawai-Siberut.
Seismic gap adalah wilayah di sepanjang batas lempeng aktif yang tidak mengalami gempa besar atau gempa selama lebih dari 30 tahun.
BMKG memperkirakan, Megathrust Selat Sunda bisa memicu gempa dahsyat dengan kekuatan maksimal M 8,7 dan Megathrust Mentawai-Siberut M 8,9.
“Rilis gempa di kedua segmen megathrust ini boleh dikata ‘tinggal menunggu waktu’ karena kedua wilayah tersebut sudah ratusan tahun belum terjadi gempa besar,” ujar Daryono dalam keterangan resminya, Minggu (11/8/2024).
Gempa Megathrust merupakan jenis gempa bumi yang terjadi di zona subduksi, yaitu wilayah di mana satu lempeng tektonik menyusup di bawah lempeng lainnya.
Gempa ini dianggap memiliki magnitudo yang sangat besar karena terjadi pada patahan yang panjang serta melibatkan area yang luas.
Gempa Megathrust dapat menyebabkan tsunami besar dan kerusakan yang meluas di daerah sekitar episentrumnya.
Zona subduksi seperti yang ada di sepanjang wilayah pesisir Sumatra dan Jawa di Indonesia sangat rentan terhadap gempa Megathrust.
Contoh dari gempa Megathrust yang terkenal adalah Gempa dan Tsunami Samudra Hindia pada tahun 2004 yang terjadi di lepas pantai Sumatra dan menyebabkan kehancuran besar di beberapa negara di sekitar Samudra Hindia.
Daryono menjelaskan, gempa paling besar yang yang dipicu oleh Megathrust Mentawai-Siberut terjadi pada 10 Februari 1797.
Pada saat itu, kekuatan gempa mencapai M 8,5 dan menimbulkan tsunami besar sehingga lebih dari 300 orang meninggal.
“Artinya, sudah lebih dari 300 tahun di zona ini tidak terjadi gempa besar sehingga wajar jika para ahli menjadikan zona ini sebagai the big one yang mana menjadi perhatian para ahli,” imbuh Daryono.
Langkah preventif BMKG terkait potensi gempa besar dan tsunami akibat Megathrust, Daryono menyampaikan, BMKG sudah menyiapkan system monitoring, processing, dan diseminasi informasi gempabumi dan peringatan dini tsunami yang semakin cepat dan akurat.
Upaya lainnya adalah memberikan edukasi, pelatihan mitigasi, drill, evakuasi, berbasis pemodelan tsunami kepada pemerintah daerah, stakeholder, masyarakat, pelaku usaha pariwisata pantai, dan industri pantai serta infrastruktur kritis, seperti pelabuhan dan bandara pantai.
Kegiatan tersebut dikemas dalam kegiatan Sekolah Lapang Gempa Bumi dan Tsunami (SLG), BMKG Goes To School (BGTS), dan Pembentukan Masyarakat Siaga Tsunami atau Tsunami Ready Community.
“Harapan kita, semoga upaya kita dalam memitigasi bencana gempa bumi dan tsunami dapat berhasil dengan dapat menekan sekecil mungkin risiko dampak bencana yang mungkin terjadi, bahkan hingga dapat menciptakan zero victim,” kata Daryono.
Untuk diketahui, jalur megathrust di Indonesia memanjang dari sebelah barat ujung utara Sumatera ke selatan Jawa hingga di selatan Bali dan Nusa Tenggara yang terbagi-bagi ke dalam beberapa segmen.
Zona megathrust berada di zona subduksi aktif. Seperti subduksi Sunda (mencakup Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, dan Sumba), subduksi Banda, subduksi Lempeng Laut Maluku, subduksi Sulawesi, subduksi Lempeng Laut Filipina, dan subduksi Utara Papua.
Berdasar data Pusat Gempa Nasional, 2017, Indonesia memiliki 13 segmentasi megathrust yang aktif dan berpotensi menyebabkan gempa besar serta tsunami.
Zona tersebut yaitu Aceh-Andaman, Nias-Simeulue, Kepulauan Batu, Mentawai-Siberut, Mentawai–Pagai, Selat Sunda Banten, Selatan Jawa Barat-Jawa Tengah, Selatan Jawa Timur, Sumba, Papua, Utara Sulawesi, dan Subduksi Lempeng Laut Filipina. (Nsa)
Sumber: Kompas