Oleh: Dr. Muhsin Labib*
Banyak tokoh yang menentang rezim otoriter berdarah dingin Orba. Tapi sangat sedikit yang melakukannya secara frontal dan menerima risikonya, yaitu dijebloskan ke dalam penjara.
Ada beberapa penentang Orba yang dipenjarakan. Hampir semuanya adalah aktivis veteran bahkan sebagian besar dari mereka adalah mantan pejabat dan perwira ABRI (TNI sekarang) melalui aktivitas politik yang dianggap makar atau aksi subversif.
Hanya satu orang di antara para penentang Orba yang punya catatan sebagai berikut: masih muda, menentang secara terbuka dengan mendirikan sebuah partai yang tentu diharamkan dan dipenjarakan.
Pemuda ini telah menorehkan namanya di atas prasasti perjuangan tanpa pamrih jauh sebelum era reformasi yang secara simsalabim membesarkan banyak nama sebagai pahlawan dan tokoh masyarakat yang sebagian dari mereka adalah sisa penikmat kekuasaan Orba.
Dia tenar dan jadi legenda dan idola para pemuda progresif bukan karena platform media sosial, bukan karena anak presiden, anak pahlawan nasional, anak pejabat, anak jenderal, anak kiai dan agamawan yang dianggap punya darah biru, dia bukan dari kelas priayi dan Korpri, tapi karena merasakan derita pemuda-pemuda di desa yang kehilangan hak untuk mandiri dan kehilangan cita-cita.
Dia hanyalah anak warga biasa. Dia bangkit sebagai representasi generasi muda yang ditindas dan dimiskinkan oleh sistem ekonomi kapitalistik yang melahirkan konglomerasi dan elite korup meneriakkan perlawanan hingga di-DO dari universitas ternama.
Setelah reformasi, meski mendahului banyak aktivis dalam perjuangan melawan Orba, dia tetap rendah hati tak mengklaim diri sebagai tokoh paling berani menentang Orba dan menuntut posisi khusus dalam transisi kekuasaan dan dinamika politik.
Dia justru memperkuat intelektualitas dan memperluas wawasan karena sadar bahwa aktivis sejati tak hanya berteriak orasi tapi perlu membekali diri dengan literasi. Sembari mengukuhkan visi kerakyatan, dia menjelajahi cakrawala diskursus Barat dan mengintip traktat karya para filosof Barat dan Timur. Beberapa tahun belakangan ini Eksistensialisme transendental Mulla Sadra menarik perhatiannya dan terlihat mengubah atau melengkapi perspektifnya tentang Tuhan, agama dan masyarakat.
Dia pun berusaha beradaptasi dengan atmosfer politik yang patronase dan primordial bahkan feodal demi melanjutkan visi perjuangan yang telah dirintisnya, meski tak sesuai harapan dan metode perjuangannya yang egaliter dan informal.
Ternyata reformasi hanyalah pergantian sindikat oligarki. Even-even kontestasi politik bukanlah pertarungan demi ideologi kerakyatan, bukan kompetisi dan lomba gagasan demi pemerataan kesejahteraan sebagaimana ditegaskan dalam Pancasila dan UUD tapi perebutan mata rantai makan di savana yang penuh intrik, rekayasa dan post truth. Dinamika itu membuatnya terdorong untuk mengambil keputusan besar dengan risiko tinggi demi memanfaatkan sisa waktu dan stamina yang tersedia.
Oligarki mungkin telah menjadi takdir dalam demokrasi. Politik dunia fauna adalah memanfaatkan dan dimanfaatkan. Oligarki biasanya memanfaatkan politik demi bisnis, tapi kadang oligarki dimanfaatkan demi kekuasaan. Ada sedikit orang yang mampu memanfaatkan oligarki untuk kepentingan bangsa. Idealisme dalam situasi tertentu bisa dipadu dengan pragmatisme etis.
Terlepas dari setuju dan tidak, setiap orang berhak menentukan pilihan dalam arena politik yang selalu dinamis dan relatif. Yang pasti, dalam tradisi perjuangan sepanjang sejarah, penjara adalah salah satu bukti keberanian, jejak harum patriotisme dan prestasi seorang pejuang yang tak bisa dibandingkan dengan apa pun. Karena itulah, dia layak mendapatkan respek. (*Cendekiawan Muslim)