Search
Search
Close this search box.

Budaya Literasi dan Geliatnya di Kutai Kartanegara

Penulis. (Istimewa)
Listen to this article

Oleh: Iven Hartiyasa*

Kemiskinan terjadi di dunia karena empat faktor, di antaranya budaya literasi dan penguasaan ilmu pengetahuan yang kurang. Demokrasi yang baik pun memerlukan dukungan masyarakat yang memiliki budaya baca. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef pernah menulis, “Demokrasi hanya akan berkembang, apalagi survive, di suatu masyarakat yang para warganya adalah pembaca, adalah individu-individu yang merasa perlu untuk membaca, bukan sekadar pendengar dan gemar berbicara.” (Daoed Joesoef, 2004).

Secara umum, menurut Kepala Perpusnas Syarif Bando, kemiskinan di dunia terjadi karena empat faktor, yaitu penguasaan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan yang kurang, skill inovasi dan kreativitas yang minim, akses ke permodalan yang sulit, hingga budaya malas yang menjangkiti. Inovasi, punya daya saing, dan kemandirian merupakan kunci yang harus dilakukan Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) jika ingin maju. Hal itu diutarakan beliau saat acara Peningkatan Indeks Literasi Masyarakat (PILM) Kabupaten Kukar pada November 2023.

Advertisements

Kehadiran perpustakaan dalam suatu negara salah satunya adalah untuk mencerdaskan kehidupan anak bangsa. Namun, kecerdasan saja tidak cukup untuk mengantar kesuksesan, tapi juga harus berbudaya. Seperti masyarakat di Eropa. Mereka tidak hanya memiliki kualitas manusia yang cerdas, berkualitas, dan berdaya saing, tapi juga beradab. Kenapa Belanda sanggup menjajah Indonesia? Karena masyarakatnya saat itu masih kurang pemahaman terhadap ilmu pengetahuan, kurang daya inovasi, dan kurang permodalan. Perlu diingat bahwa faktor kesuksesan bermula dari bagaimana kita menjadi manusia berbudaya.

Kiranya perlu dibahas secara singkat mengenai pengertian literasi yang digunakan dalam artikel ini, mengingat istilah literasi telah berkembang begitu luas, tidak hanya berkenaan dengan teks atau aktivitas membaca dan menulis. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan dua makna literasi, yaitu: (1) kemampuan menulis dan membaca; (2) pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu. Istilah literasi berikut maknanya itu agaknya merupakan saduran dari bahasa Inggris: literacy, yang memiliki arti: (1) The ability to read and write; (2) Competence or knowledge in a specified area.

Istilah literasi mulai marak digunakan di sekitar abad ke-19, sejalan dengan dampak mesin cetak yang meluas (Revolusi Guttenberg) serta merambah hingga negeri-negeri jajahan (Anderson, 2008).

Pendapat Ignas Kleden (1999) mengenai kegagalan transformasi masyarakat Indonesia dari masyarakat yang sudah ‘melek huruf’ ke masyarakat yang memiliki ‘budaya baca’ patut disimak. Ignas Kleden mengelompokkan masyarakat yang melek huruf menjadi tiga. Kelompok pertama adalah mereka yang memiliki kemampuan membaca sederhana, dinyatakan telah bebas buta aksara, namun karena akses terhadap bahan bacaan rendah dan keperluan untuk mempraktikkannya minim, membuat kemampuan itu berkurang atau bahkan hilang. Pada kelompok ini, menurut Kleden, secara teknis telah melek aksara, namun secara fungsional dan budaya masih tergolong buta aksara.

Kelompok kedua adalah mereka yang secara teknis dan fungsional telah melek aksara. Mereka mampu membaca dan menggunakannya untuk menyelesaikan tugas dan pekerjaan, namun belum menggunakan kecakapan itu sebagai kebiasaan untuk menambah pengetahuan, hiburan, atau berekspresi melalui tulisan. Pada kelompok ini, secara budaya masih dianggap buta aksara.

Kelompok ketiga adalah mereka yang di samping memiliki kemampuan baca tulis secara teknis dan fungsional, juga menjadikan membaca dan menulis sebagai kebutuhan hidup, kebiasaan, dengan cara membaca dan menuliskan hal-hal yang tidak hanya terbatas pada tugas dan pekerjaan. Pada kelompok yang terakhir ini, mereka telah menjadi bagian dari masyarakat yang memiliki budaya baca (reading habit).

Dari pendapat Kleden di atas, dapat dipahami bahwa capaian angka melek aksara selama ini lebih merujuk kepada melek aksara secara teknis dan fungsional dan belum berhasil membentuk masyarakat yang memiliki budaya baca. Asumsi tersebut perlu diperdalam dengan menelaah kajian-kajian literasi lainnya baik yang secara umum menggambarkan kondisi literasi di masyarakat maupun yang secara khusus menggambarkan kondisi literasi di sekolah.

Persoalan budaya baca yang rendah merupakan salah satu isu penting dalam memahami tingkat literasi yang rendah di masyarakat Indonesia. Masyarakat yang memiliki budaya baca tinggi diyakini akan memiliki tingkat literasi yang tinggi pula. Namun untuk mendorong agar masyarakat memiliki budaya baca tinggi diperlukan beberapa prasyarat.

Nyatanya, bagi pemerintah Kaltim, literasi merupakan salah satu pondasi dalam pengembangan sumber daya manusia yang berkompeten. Meskipun penerapannya belum maksimal. Namun itulah Upaya untuk kita beralih sektor dari yang katanya unggul di sumber daya alam (SDA) ke sumber daya manusia (SDM).

Dengan literasi yang kuat, masyarakat akan mampu mengakses informasi yang berkualitas, menghasilkan keputusan yang bijak, tangguh, dan berakhlak sesuai tujuan dari pembangunan nasional dan daerah. Pemprov Kaltim, menurut Sekda Kukar Sunggono, berkomitmen mendorong peningkatan literasi untuk seluruh lapisan masyarakat. Keseriusan Pemprov Kaltim dibuktikan dengan membangun 43 unit pojok baca di seluruh Kaltim, termasuk di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia. Bahkan, jumlah unit yang sama juga akan diberikan pada 2024 agar masyarakat berkesempatan mendapatkan akses informasi dan pengetahuan yang sama.

Nasib Literasi di Kukar

Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) di Kabupaten Kukar pada tahun 2024 ditargetkan meningkat signifikan. Ini disampaikan Staf Ahli Bupati Kukar Bidang Administrasi Umum, Ahyani Fadianur Diani. Kegiatan yang digelar oleh Dinas Kearsipan dan Perpustakaan (Diarpus) Kukar ini mengusung tema Budayakan Membaca untuk Menuju Bangsa yang Unggul. Setidaknya, ada 27 orang peserta dari unsur Kepala Sekolah Dasar (SD) dan Kepala Sekolah Menengah Pertama (SMP) se-Kecamatan Anggana Kukar, yang mengikuti kegiatan sosialisasi.

Membaca adalah jendela pengetahuan. Sementara literasi adalah kunci untuk meningkatkan kualitas SDM. Oleh karena itu, sangat penting untuk menggerakkan budaya baca dan literasi sejak dini, terutama di tingkat SD. Pemkab Kukar juga mendorong agar Diarpus Kukar membantu sekolah-sekolah maupun lembaga-lembaga pendidikan khusus dalam menyediakan fasilitas perpustakaan yang memadai.

Harapannya, fasilitas ini akan menjadi tempat yang nyaman bagi para siswa untuk menjelajahi dunia buku serta mengembangkan kegemaran untuk membaca. Guru-guru pun patut terlibat aktif dalam mempromosikan kegemaran membaca sebagai kegiatan yang menyenangkan dan bermanfaat.

Perlu dicatat bersama, sejak tahun 2020-2021, penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dapat digunakan untuk pembelian dan pengadaan buku bacaan tanpa ada ketentuan alokasi maksimum. Hal ini sesuai Permendikbud Nomor 8 Tahun 2000 dan Permendikbud Nomor 6 Tahun 2001 tentang Petunjuk Teknis BOS.

Dengan kemudahan ini kita berharap agar budaya baca dan literasi semakin meningkat, dan tujuan akhirnya ialah IPLM di Kabupaten Kukar pada tahun 2024 mengalami kenaikan signifikan. Pemerintah menyadari nilai penting budaya gemar membaca sehingga diatur dalam Pasal 48 hingga 51 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Dalam pasal-pasal tersebut tertulis dan terperinci mengenai pembudayaan kegemaran membaca melalui tiga jalur, yaitu keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat.

Dalam sesi talk show Peningkatan Indeks Literasi Masyarakat (PILM) pengurus daerah organisasi Gerakan Pemasyarakat Minat Baca (PD-GPMB) Kaltim menegaskan, gerbang menuju peningkatan indeks literasi adalah dengan membaca. Apalagi nilai Tingkat Gemar Membaca (TGM) Kaltim masih tergolong sedang (46,27). Selain nilai TGM-nya yang sedang, infrastruktur dan pemerataan koleksinya pun dirasa masih kurang. Demikian menurut Sekretaris PD GPMB Kaltim Taufik.

Sudut pandang lain disampaikan Pustakawan Utama Perpusnas Sri Sumekar dalam melihat dinamika pertumbuhan literasi di Kabupaten Kukar. Menurutnya, sebaiknya Pemerintah Kukar memerhatikan lima aspek besar dalam peningkatan literasi, antara lain pemerataan layanan, jumlah koleksi bacaan yang tersedia, tenaga pustakawan, tingkat kunjungan pemustaka, dan perpustakaan yang berstandar.

“Kita jangan jadi bangsa yang buta karena ketidaktahuan karena malas membaca,” ucap Sri.

Hal yang tidak jauh berbeda juga disuarakan Rektor Universitas Kutai Kartanegara Ince Raden. Menurutnya, kemampuan literasi sangat dipengaruhi oleh kompetensi akademik, institusi, nilai-nilai budaya serta pengalaman. Jika sedari kecil sudah terbiasa membaca maka lebih mampu menyerap, menyaring, mengolah dan memaknai informasi.

“Kemampuan berpikir jauh lebih matang, cara berkomunikasi semakin baik, dan kerangka berpikir yang runut,” imbuh Ince. Beliau berharap bahwa semakin tinggi TGM, maka satu persoalan dari pembangunan berkelanjutan bisa teratasi, khususnya pada aspek pembangunan manusia.

Kepala Diarpus Kukar Aji Lina Rodiah melalui Sub Koordinator Pengembangan Pembudayaan Kegemaran Membaca Hedi Suhartono menjabarkan upaya yang telah dilakukan pihaknya. Salah satunya ialah Diarpus Kukar tengah membudayakan kegiatan lomba-lomba literasi di lingkungan SD khususnya pada pendidikan SMP maupun SD untuk menciptakan anak-anak yang cerdas dan berani serta berakhlak lebih baik ke depan. Tujuannya memaksimalkan pemanfaatan perpustakaan sekolah dan menunjang proses belajar mengajar yang akan memberikan nilai tambah dalam meningkatkan pengetahuan anak-anak didik. Di samping urgensi peningkatan kualitas tenaga pengelola yang memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang perpustakaan.

Bagaimana Literasi ASN Kukar?

Pemerintah Kabupaten Kukar melalui Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) bekerja sama dengan Yayasan Rumah Inovasi Digital menyelenggarakan pengukuran indeks kompetensi digital Aparatur Sipil Negara (ASN) 2023, sebagai pengukuran digital pertama di Indonesia. Hasil pengukuran itu menjadi dasar pengembangan SDM ASN Kukar demi meningkatkan kualitas pelayanan publik dan pemerintahan pada era digital. Demikian ujar Bupati Kukar Edi Damansyah melalui keterangan pers yang diterima Antara Kaltim di Samarinda.

Pengukuran indeks kompetensi digital bertujuan mengukur tingkat kemampuan digital ASN Kukar dalam lima area kompetensi, yaitu literasi data dan informasi, kolaborasi dan komunikasi, kreativitas konten, keamanan digital, dan pemecahan masalah. Inovasi itu sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo untuk mendorong transformasi digital di seluruh sektor pemerintahan. Pengukuran itu melibatkan 10.303 ASN Kukar dari total populasi 12.500 pegawai PNS dan PPPK yang berasal dari 94 unit kerja di lingkungan Pemkab Kukar.

“ASN harus siap menghadapi tantangan dan peluang Indonesia Emas 2045 dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi secara optimal,” tegas Bupati.

Hasil pengukuran itu menunjukkan bahwa skor rata-rata Indeks Kompetensi Digital ASN Kukar adalah 2,3 dari skala 4. Artinya, tingkat kemampuan digital ASN Kukar cukup baik secara umum, tetapi masih perlu ditingkatkan. Untuk itu, sebagai tindak lanjut, Pemkab Kukar akan berkolaborasi dengan Yayasan Rumah Digital untuk menyelenggarakan berbagai program pelatihan dan pembinaan bagi ASN agar kompetensi digital mereka semakin meningkat. Kepala BKPSDM Rakhmadi berharap hasil pengukuran itu dapat menjadi acuan bagi penyusunan peta jalan pengembangan kompetensi digital ASN Kukar.

Kepala Bidang Pengembangan Kompetensi Aparatur BKPSDM Kukar Rokip mengatakan Program Tenggarong Project, termasuk di dalamnya pengukuran indeks kompetensi digital, muncul terkait kebutuhan BKPSDM Kukar untuk memenuhi kewajiban pelatihan 20 jam pelajaran per tahun. Namun, pelatihan itu harus dengan pemanfaatan dan optimalisasi teknologi informasi dan komunikasi.

Ketua Umum Yayasan Rumah Inovasi Digital Muhammad Faisal Risani mengatakan pengukuran indeks kompetensi digital juga menjadi basis data pengembangan talenta SDM ASN di Kukar. “Tenggarong Project tidak hanya mengukur kompetensi digital ASN Kukar, tetapi juga mengembangkan manajemen talenta, membangun digital learning platform, dan menyediakan fasilitas ‘coworking space’ bagi ASN Kukar,” jelasnya. Harapannya Tenggarong Project dapat menjadi contoh bagi daerah lain di Indonesia dalam mewujudkan transformasi digital sektor pemerintahan.

Dimensi Budaya Literasi

Dimensi budaya merupakan dimensi yang menggambarkan sejauh mana kebiasaan atau perilaku masyarakat dalam mengakses bahan-bahan literasi. Hal ini antara lain tergambar melalui indikator (1) Persentase penduduk berumur 5 tahun ke atas dalam seminggu terakhir yang membaca surat kabar; (2) membaca buku cetak selain kitab suci; (3) membaca artikel/berita yang bersumber dari media elektronik, internet, dan sofcopy; (4) Persentase penduduk berumur 5 tahun ke atas dalam sebulan terakhir yang mengunjungi perpustakaan; dan (5) memanfaatkan Taman Bacaan Masyarakat.

Indikator 1-3 pada dimensi budaya di atas menggambarkan kebiasaan membaca baik membaca bahan bacaan cetak maupun elektronik selama seminggu terakhir. Sedangkan indikator 4-5 menunjukkan kebiasaan memanfaatkan bahan pustaka di perpustakaan umum dan perpustakaan komunitas selama sebulan terakhir. Indikator di atas diharapkan dapat memberikan gambaran budaya literasi masyarakat.

Semula, term literasi merujuk kepada praktik menulis dan membaca yang digunakan untuk membedakan antara mereka yang sudah melek aksara (literate) dan yang masih buta huruf (illiterate). Namun, istilah ini kemudian berkembang dan dipadankan dengan istilah ‘pengetahuan’ dan ‘keterampilan’ dalam berbagai bidang kehidupan. Pemerintah menyebutkan terdapat enam literasi dasar yang perlu dimiliki oleh setiap warga negara, yakni literasi baca-tulis-hitung, literasi sains, literasi teknologi informasi dan komunikasi, literasi keuangan, literasi budaya, dan literasi kewarganegaraan (Jendela Pendidikan dan Kebudayaan, Edisi VI/Oktober-2016).

Fuad Hasan (dalam Sutarno, 2003) mengatakan bahwa upaya untuk meningkatkan ‘minat baca’ masyarakat harus berpijak dari adanya ‘kemampuan membaca’. Kemampuan atau kecakapan membaca (proficiency) merupakan syarat awal untuk mengakses bacaan. Setelah memiliki kecakapan membaca, maka langkah selanjutnya ialah membina ‘kebiasaan membaca’. Upaya membina kebiasaan membaca itu tidak dapat terlaksana tanpa tersedianya bahan bacaan dan sarana pendukung lainnya.

Melalui penjelasan Fuad Hasan tersebut, menjadi jelas bahwa budaya baca tidak tumbuh dengan sendirinya, melainkan memerlukan beberapa komponen, antara lain: (1) kemampuan membaca, (2) tersedianya bahan bacaan, dan (3) pembinaan kebiasaan membaca. Tanpa satu di antara tiga hal itu tentu upaya membangun budaya baca akan sulit diwujudkan.

Pendapat Fuad Hasan senada dengan pandangan Miller dan McKenna (2016) mengenai empat faktor yang dapat memengaruhi terjadinya aktivitas literasi. Keempat faktor tersebut antara lain: (1) Proficiency atau kecakapan merupakan syarat awal agar seseorang dapat mengakses sumber-sumber literasi. Bebas buta aksara, misalnya, merupakan salah satu syarat kecakapan yang harus dimiliki untuk dapat membaca teksteks tertulis. (2) Access merupakan sumber daya pendukung di mana masyarakat dapat memanfaatkan sumber-sumber literasi, seperti perpustakaan, toko buku, dan media massa. (3) Alternatives ialah beragam pilihan perangkat teknologi informasi dan hiburan. ‘Alternatif’ di sini dapat dimaknai sebagai opsi lain yang disediakan oleh perangkat elektronik dan digital dalam mengakses sumber-sumber liteasi. (4) Culture meliputi gagasan, nilai, norma, dan makna yang dibentuk oleh keluarga, komunitas, dan lingkungan yang lebih luas yang turut memengaruhi perilaku literasi. Dalam hal ini ‘budaya’ dimaknai sebagai upaya membentuk kebiasaan atau habitus literasi.

Empat faktor di atas memiliki peran penting dan saling berkaitan dalam mendukung aktivitas literasi, sehingga ketiadaan satu faktor akan memengaruhi fungsi dari faktor lain. Kemampuan dan kecakapan membaca misalnya, akan memengaruhi akses terhadap bahan bacaan dapat dimanfaatkan secara optimal. Begitu pula kecakapan mengakses berbagai alternatif teknologi informasi akan memengaruhi penggunaan teknologi tersebut untuk keperluan mengakses informasi.

Singkat kata, itulah literasi. Dari tidak tahu menjadi tahu; dari gelap menjadi terang; dari bodoh menjadi cerdas. Jadi, menurut hemat saya, literasi bukan hanya baca tulis. Baca tulis masyarakat Indonesia sudah dahsyat. Pada tahun 2005 buta huruf di Indonesia masih 10%. Deklarasi Dakkar Education for All mengatakan anggota Unesco hanya boleh 5%. Belakangan ini orang buta huruf di Indonesia hanya tinggal 1,9%. Sangat dahsyat. Namun ternyata bisa baca tapi tidak mengerti apa yang dibaca. Sebagian masyarakat Jakarta saja tingkat mengerti apa yang dibaca. Hanya 50 sekian persen. Makin ke timur, makin ke Papua, tinggal 11-12%. Begitu kata Kang Maman di chanel Youtube Basabasi TV.

Ini sebenarnya kritik buat sekolah. Misal, 15 menit membaca sebelum masuk kelas. Setelah ia membaca, anak itu disuruh menceritakan ulang atau tidak? Setelah menceritakan ulang, bisakah ia menuliskan? Setelah ia tulis, bisakah ia mempraktekkan apa yang ia sudah baca? Kita cuma bicara soal yang penting bisa baca; soal mengerti urusan belakang.

Padahal prinsip dalam agama, literasi itu tiga: mencerahkan (enlightmen), memperkaya wawasan (enrichmen), dan memberdayakan (empowermen). ‘Minadzhulumat ila nur’ itu memberdayakan. Sehingga, di mana peran iqro’ bismirobbik? Sebab salah memahami bacaan, tidak mengerti bacaan, itu bisa mengubah (arti/makna) keseluruhan. Meski hanya satu huruf. Ya, umpama nur menjadi nar. Minadzhulumat ila nar. Dari gelap menuju api neraka. Gak bahaya ta?! (*Pengamat literasi di Kukar)

Referensi:

Budaya Baca dan Literasi di Kukar Ditarget Naik Signifikan Tahun 2024

https://www.liputan6.com/regional/read/5450702/menilik-keseriusan-kabupaten-kukar-bangun-budaya-literasi?page=2

https://repositori.kemdikbud.go.id/13033/1/Puslitjakdikbud_Indeks%20Aktivitas%20Literasi%20Membaca%2034%20Provinsi

Indonesia Bisa Baca, Tapi Tidak Mengerti Apa yang Dibaca! (Kita dan Literasi #2) || BasabasiTV (youtube.com)

Puslitjakdikbud_Indeks Aktivitas Literasi Membaca 34 Provinsi.pdf

Advertisements

Kunjungi Berita Alternatif di :

Bagikan

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA