Oleh: Mukmin*
Hasil sidang isbat sudah diumumkan oleh pemerintah melalui Kementerian Agama RI yang jatuh hari Ahad (3/4/2022). Kaum muslim Indonesia pun menyambut gembira dan antusias atas kedatangan bulan suci Ramadan 1443 Hijriah ini.
Mengapa kita patut gembira menyambut bulan suci Ramadan? Karena di dalamnya banyak kemuliaan, berkah dan ampunan dari Allah Swt.
Sebagaimana hadis Rasulullah Saw, “Telah datang kepada kalian Ramadan bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan kalian berpuasa padanya. Pintu-pintu surga dibuka. Pintu-pintu neraka ditutup. Setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik dibandingkan seribu bulan. Siapa yang dihalangi dari kebaikannya, maka sungguh ia terhalangi.” (HR. Ahmad).
Hadis ini mengajarkan bahwa umat Islam hendaknya bergembira dengan datangnya Ramadan.
Seseorang merasa gembira dengan berbagai alasan, misalnya karena pemberian materi, harta, pujian atau perhatian sesama manusia. Akan tetapi ada satu syarat yang harus ada bagi seorang muslim untuk bisa merasakan kegembiraan menyambut Ramadan, yaitu iman di dalam hati.
Tanpa adanya kesungguhan iman, alasan untuk bergembira menyambut Ramadan akan sulit diterima nalar. Bagaimana tidak, kurang lebih 13 jam seseorang rela menahan haus dan lapar seharian dalam keadaan lapar yang melilit dan haus yang semakin mencekik di tenggorokan selama sebulan penuh Ramadhan. Jika bukan karena dorongan iman dalam hati, maka muslim tidak mampu melewatinya.
Bukankah akan lebih menyenangkan jika saat haus dan lapar, segera kita santap sajian makan dan minum yang tersedia? Juga tidak mudah diterima oleh logika, bagaimana sepasang suami istri yang telah sah menikah, dilarang berhubungan intim di siang hari di bulan Ramadan? Itu semua tidak mungkin dilakukan tanpa iman.
Oleh karena itu, dengan kesungguhan iman seorang muslim yang berpuasa akan sangat antusias menyambut Ramadan. Jelas tergambar baginya kemurahan dari Allah Swt.
Untuk memperoleh limpahan pahala yang berlipat ratusan bahkan ribuan kali, dapat dilakukan hanya dengan amal salih yang sederhana di bulan Ramadan.
Bagi seorang muslim yang berpuasa, gambaran terbuka lebarnya pintu surga dengan segala kenikmatan di dalamnya sudah cukup menjadi alasan untuk banyak bersedekah dan beramal selama bulan Ramadan yang penuh berkah dan pahala dilipatgandakan.
Selanjutnya dengan iman pula seorang muslim yang berpuasa rela menahan haus dan lapar. Padahal sangat mudah baginya untuk bersembunyi dari pandangan manusia untuk makan dan minum sepuasnya di saat orang berpuasa.
Baginya, Allah Maha Melihat dan Mengawasi apa yang dia lakukan. Dia takut Allah murka jika ia melanggar perintah Allah dengan tidak berpuasa di siang hari bulan Ramadhan.
Sabda Rasulullah Saw, “Barangsiapa berpuasa Ramadan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Yang dimaksud berpuasa atas dasar iman yaitu berpuasa karena meyakini akan kewajiban puasa. Sedangkan yang dimaksud ihtisab adalah mengharap pahala dari Allah Swt. (Fathul Bari, 4: 115).
Ibnu Baththal Rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud karena iman adalah membenarkan wajibnya puasa dan meyakini ganjaran dari Allah. Juga melaksanakan qiyam Ramadan. Sedangkan yang dimaksud ihtisaban adalah menginginkan pahala Allah dengan puasa tersebut dan senantiasa mengharap ridha-Nya.” (Syarh al-Bukhari oleh Ibn Baththal, 7: 22).
Artinya, puasa yang dilandasi iman sepenuh hati dan ikhlas itulah yang menuai balasan pengampunan dosa yang telah lalu.
Kalau seseorang mendasari puasanya karena dasar iman, mengharap pahala dan rida, maka tentu hatinya semakin tenang, lapang dan bahagia dalam melaksanakan ibadah kepada Allah Swt.
Ia pun akan bersyukur atas nikmat puasa Ramadan yang didapatinya tahun ini. Hatinya tentu tidak merasa berat dan susah ketika menjalani puasa. Sehingga ia pun terlihat berhati ceria dan berakhlak yang baik.
Segala bentuk keutamaan di bulan Ramadan inilah yang membuat para ulama salaf terdahulu sangat merindukan Ramadan, bahkan jauh hari sebelumnya. Ibnu Rajab Al-Hambali berkata, “Dahulu mereka (para salaf) berdoa kepada Allah Swt selama enam bulan agar mereka dipertemukan lagi dengan Ramadan. Kemudian mereka juga berdoa selama enam bulan agar Allah menerima (amal-amal salih di Ramadan yang lalu)”.
Sebagai muhasabah, kita harus meyakini bahwa hidup di dunia ini hanya persinggahan sementara. Boleh jadi bulan Ramadan tahun ini adalah yang terakhir bagi kita, maka mari bersama-sama kita manfaatkan Ramadan tahun ini dengan sebaik-baiknya; dengan penuh keimanan dan pengharapan kepada Allah Swt.
Semoga sisa umur kita senantiasa diberkahi dan diampuni dosa-dosa kita dan dapat berjumpa kembali di bulan Ramadan berikutnya. (*Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Kutai Kartanegara Tenggarong)