Search
Search
Close this search box.

Kesetiaan yang Butuh Penjelasan

Listen to this article

Oleh: Ismail Amin Pasannai*

Pada 1 Februari 1979 Imam Khomeini kembali dari pengasingan. Setelah 14 tahun tinggal di perasingan di Turki, kemudian ke Irak dan selanjutnya ke Paris, Imam Khomeini akhirnya kembali ke Iran. Sesuatu yang tidak pernah diprediksi oleh pengamat dan analis politik mana pun. Kedatangan Imam Khomeini difasilitasi Shapour Bakhtiar, Perdana Menteri yang ditunjuk oleh Syah. Sebuah komite penyambutan dibentuk pada 21 Januari 1979, untuk mengatur dan memastikan kembalinya Imam Khomeini.

Bakhtiar ingin mengajak Imam buat berunding. Dia hendak menawarkan Imam Khomeini untuk membuat ‘Vatikan’ di Qom.

Advertisements

Semestinya begitu tiba di bandara, komite penyambutan akan mengarahkan Imam untuk bertemu dengan Bakhtiar yang terpaksa tiba di bandara dengan helikopter karena jutaan rakyat Iran yang hendak menyambut Imam Khomeini telah memenuhi bandara. Tapi kehadiran Bakhtiar tidak digubris oleh Imam. Imam malah meminta dibawa ke Pemakaman Behesht-e Zahra, tempat banyak orang yang terbunuh selama revolusi dimakamkan. Jutaan pendukung berbaris di jalan menyoraki namanya, dan ratusan ribu orang berkumpul di pemakaman untuk mendengarkan pidatonya. Dalam pidatonya, Imam Khomeini menyatakan bahwa kabinet Shapour Bakhtiar adalah ilegal dan dia mengatakan akan mendirikan pemerintahan revolusioner sementara.

Pidato itu membuat marah Bakhtiar. Dia ngotot bahwa pemerintahannyalah yang sah sebagai amanah dari Syah dan satu-satunya di Iran, siapa pun yang membentuk pemerintahan tandingan akan ditindak keras dan akan diperangi dengan kekuatan penuh. “Para mullah harus pergi ke Qom dan membangun tembok di sekitar mereka dan membuat Vatikan mereka sendiri,” kata Bakhtiar.

Imam tidak bergidik. Dia menunjukkan keseriusannya membentuk pemerintahan revolusioner. Pada 5 Februari di markasnya di Madrasah Refah di Teheran selatan, Imam Khomeini mendeklarasikan pemerintahan revolusioner sementara. Ia mengangkat Mehdi Bazargan sebagai perdana menterinya sendiri dan memerintahkan rakyat Iran mematuhi Bazargan sebagai kewajiban agama. Sejak itu terjadilah dualisme kekuasaan. Bakhtiar memerintahkan militer mengerahkan kekuatan penuh untuk menghabisi pemberontak (pendukung Khomeini) sementara Imam Khomeini juga menyerukan para pendukungnya untuk menduduki jalan-jalan di seluruh negeri. Situasi kritis yang membuat Dewan Militer berada dalam kegamangan. Jenderal Mehdi Rahimi, panglima militer dan komandan pengawal kekaisaran menolak menggerakkan pasukannya untuk memerangi pemberontak karena tidak ingin terjadi pembantaian massal pada rakyat sipil.

Hampir di semua negara yang mengalami kekacauan politik, militer akan segera mengambil alih kekuasaan dengan kekuatan senjata mereka. Baik itu sementara ataupun membuat sistem yang menguntungkan petinggi militer untuk berkuasa sepenuhnya. Tapi beda dengan yang saat itu terjadi di Iran. Perwira-perwira tinggi militer bukan hanya tidak ada dari mereka yang berinisiatif mengambil alih kendali kekuasaan, mereka malah mengambil keputusan gila yang tidak pernah disangka oleh siapa pun.

Di saat Bakhtiar sebagai penguasa tertinggi mewakili Syah memerintahkan militer menghabisi demonstran, perwira-perwira tinggi militer tanpa diminta siapa pun menemui Imam Khomeini. Mereka datang dengan memberi hormat militer, menyerahkan tongkat komando dan menyatakan baiat kesetiaan pada Imam Khomeini dan revolusi Islam. Dunia seketika berguncang dahsyat dengan momen bersejarah tersebut.

Penyerahan tongkat komando yang menandai kemenangan revolusi Islam Iran dan runtuhnya rezim despotik Pahlevi. 

Pada 8 Februari 1979, Angkatan Udara lebih dulu menyatakan kesetiaan pada Imam Khomeini. Menyusul angkatan militer lainnya termasuk Kepolisian pada tanggal 11 Februari 1979. Siang itu juga dengan semua kekuatan militer telah berada di tangannya, di tanggal 11 Februari 1979, Imam Khomeini menyatakan kemenangan revolusi Islam Iran dan berakhirnya kekuasaan Syah Pahlevi atas Iran. Bakhtiar melarikan diri dari istana di bawah hujan peluru, dan berhasil keluar dari Iran dengan menyamar.

Prof. Bernard Lewis, pakar kajian Timur Tengah dari Inggris berkata,  “Ini jelas sebuah kejadian yang harus dijelaskan.” Sampai detik ini, kedigdayaan kekuasaan para Mullah di Iran berdiri di atas kesetiaan para tentara.

Kaum mullah dan cendekiawan boleh memiliki peran besar dalam kemenangan Revolusi Islam Iran dengan agitasi dan propaganda mereka, namun tentaralah yang memuluskan jalannya revolusi Iran sehingga mencapai kemenangannya. Para perwira yang hidup dengan gemilang kemewahan, gaya hidup sekuler dan permisif di zaman Syah dengan sumpah setia untuk menjaga kekuasaan Syah sampai mati, tapi seketika berbalik arah dan mendukung Imam Khomeini dengan kesetiaan dan dukungan yang tidak terperikan bahkan sampai sekarang. Ada yang bisa menjelaskan? (*Cendekiawan Muslim)

Advertisements

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA