BERITAALTERNATIF.COM – Para calon anggota legislatif yang merupakan pendatang baru di Pileg 2024 menegaskan komitmen mereka untuk menolak politik uang.
Politik uang memang sudah menjadi rahasia umum dalam setiap kontestasi demokrasi di Provinsi Kaltim, bahkan seluruh wilayah Indonesia.
Politisi yang baru bertarung di Pemilu 2024 berinisial YC menyebut politik uang telah membawa efek buruh bagi demokrasi di negeri ini.
“Saya berharap kepada masyarakat agar menolak setiap tawaran. Apa pun bentuk tawarannya,” tegas dia, Rabu (24/1/2024).
Kata dia, politik uang merupakan pintu pembuka korupsi, suap, dan usaha para politisi memperkaya diri setelah mereka menduduki jabatan di lembaga legislatif.
“Jadi, saya sangat tidak setuju dengan politik uang karena politik uang tidak menjamin seseorang yang terpilih akan betul-betul membawa kepentingan masyarakat,” tegasnya.
Ia menyebut relawannya pernah mendapatkan tawaran uang dan sembako dari calon lain agar memilihnya di Pileg 2024.
Praktik seperti ini muncul saat dia berusaha mengajak tim dan relawannya berusaha mendekati dan mempengaruhi masyarakat tanpa menggunakan politik uang.
“Sejauh ini saya dan rekan-rekan tim tidak melakukan hal seperti itu; tidak menawarkan seperti itu. Kami lebih cenderung sosialisasi; turun satu per satu ke masyarakat,” ujarnya.
“Kami hanya menjangkau masyarakat untuk mendengar secara langsung apa yang menjadi keluhan dan aspirasi mereka,” sambungnya.
Meski tak menjalankan politik uang di Pemilu 2024, YC telah menghabiskan uang Rp 150 juta untuk membiayai aktivitas pencalegakannya.
Uang tersebut digunakannya untuk operasional pribadi dan tim, pendataan calon pemilih, kantor, pembentukan posko, dan pembuatan alat peraga kampanye.
“Untuk pemasangan dan pembagian alat peraga kampanye saja kita butuh operasional. Belum lagi baliho-baliho yang berbayar. Baliho-baliho berbayar itu di angka Rp 15 juta sampai dengan Rp 20 juta per bulan,” bebernya.
Politisi pendatang baru lainnya berinisial MD menolak praktik politik uang di Pemilu 2024.
Ia mengaku dirugikan atas praktik politik uang dalam kontestasi demokrasi tahun ini.
“Saya merasa kami dirugikan karena aktivitas ini sangat membatasi kami sebagai calon legislatif yang memiliki modal atau finansial terbatas,” terangnya.
Penggunaan politik uang di Pemilu, sambung dia, merupakan wujud ketidakpercayaan diri para politisi untuk mendapatkan suara masyarakat.
“Orang yang percaya terhadap dirinya tentu dia bekerja (keras tanpa menggunakan politik uang),” tegasnya.
Dia berharap penyelenggara Pemilu, pemerintah, organisasi masyarakat, dan tokoh-tokoh masyarakat terlibat aktif dalam menyosialisasikan bahaya laten politik uang di Pemilu.
“Masyarakat harus terus mendapatkan edukasi perihal praktik politik uang ini,” sarannya.
Modal yang terbatas di tengah kebutuhan besar dalam tahapan pencalegan dan kampanye merupakan tantangan tersendiri baginya untuk mendapatkan suara masyarakat di Pemilu 2024.
Ia mengaku telah menghabiskan uang Rp 50 juta sejak mengikuti tahapan kampanye dalam pesta demokrasi tahun ini.
Dana tersebut digunakan untuk persiapan kampanye berupa pembuatan alat peraga kampanye seperti baliho dan kalender.
“Saya juga menggunakan dana itu untuk operasional pribadi dan tim,” tutupnya. (hmd/fb)