JIKA Anda mendengar kerajaan tertua di Indonesia, hewan langka yang bernama orang utan, dan calon ibu kota baru Republik Indonesia, daerah mana yang terlintas dalam pikiran Anda?
Benar sekali. Inilah Kutai Kartanegara (Kukar) yang pernah menjadi kabupaten terkaya di Indonesia. Dalam artikel ini, kami akan mengupas secara lengkap tentang Kukar dari segi sejarah beserta fakta-faktanya.
Letak Geografis
Kukar merupakan salah satu kabupaten di Kalimantan Timur (Kaltim ) yang memiliki luas wilayah 27.263,10 km² dan luas perairan sekitar 4.097 km². Kukar terdiri dari 18 kecamatan, yang pada tahun 2020 melalui peraturan daerah setempat terdapat pemekaran dua kecamatan baru. Artinya, saat ini terdapat 20 kecamatan. Kukar mempunyai 237 desa/kelurahan dengan jumlah penduduk mencapai 696.784 jiwa.
Di sebelah utara kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Utara; sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kutai Timur, Kota Bontang dan Selat Makassar; sedangkan di selatan berbatasan dengan Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kota Balikpapan; di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kutai Barat dan Kabupaten Mahakam Ulu.
Sejarah
Kerajaan Kutai Kertanegara berdiri pada awal abad ke-13 di daerah yang bernama Jaitan Layar atau sekarang berada di Desa Kutai Lama kecamatan anggana dengan rajanya yang pertama yaitu Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325).
Pada abad ke-16, Kerajaan Kukar di bawah pimpinan Raja Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai—atau disebut pula Kerajaan Kutai Martapura atau Kerajaan Kutai Dinasti Mulawarman—yang terletak di Muara Kaman. Raja Kukar kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kertanegara ing Martapura sebagai peleburan atas dua kerajaan tersebut.
Pada abad ke-15, Tuan Habib Tunggang Parangan memulai dakwah Islam di Kukar. Kemudian pada abad ke-17 agama Islam yang disebarkannya diterima dengan baik oleh Kerajaan Kukar yang saat itu dipimpin Raja Makota. Lebih dari seabad kemudian, sebutan raja diganti dengan sebutan sultan.
Sultan Aji Muhammad Idris (1732-1739) merupakan raja Kukar pertama yang menggunakan gelar sultan. Kemudian sebutan kerajaan itu berganti menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martapura
Pada Abad ke-18, Aji Imbut dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin memindahkan ibu kota kesultanan tersebut ke Tepian Pandan pada 28 September 1782. Nama Tepian Pandan kemudian diubah menjadi Tangga Arung dan lama-kelamaan Tangga Arung lebih populer dengan sebutan Tenggarong, yang tetap bertahan hingga kini. Dari sumber lain disebutkan, nama Tenggarong berasal dari kata bunga “tegaron” yang dulu banyak tumbuh di wilayah yang saat ini disebut dengan Kota Tenggarong.
Pada 1844, dua buah kapal dagang pimpinan James Erskine Murray asal Inggris memasuki perairan Tenggarong. Murray datang ke Kutai untuk berdagang dan meminta tanah untuk mendirikan pos dagang serta hak eksklusif untuk menjalankan kapal uap di perairan Mahakam.
Namun Sultan A. M. Salehuddin mengizinkan Murray untuk berdagang hanya di wilayah Samarinda. Murray kurang puas dengan tawaran Sultan ini. Setelah beberapa hari di perairan Tenggarong, Murray melepaskan tembakan meriam ke arah istana dan dibalas oleh pasukan Kerajaan Kutai. Pertempuran pun tak dapat dihindari. Armada pimpinan Murray akhirnya kalah dan melarikan diri ke laut lepas. Lima orang terluka dan tiga orang tewas dari pihak armada Murray. Ia termasuk di antara yang tewas tersebut.
Informasi pertempuran di Tenggarong ini sampai juga ke pihak Inggris. Sebenarnya Inggris hendak melakukan serangan balasan terhadap Kutai, namun ditanggapi oleh Belanda bahwa Kutai adalah salah satu bagian dari wilayah Hindia Belanda. Belanda akan menyelesaikan permasalahan tersebut dengan caranya sendiri. Kemudian Belanda mengirimkan armadanya di bawah komando t’Hooft dengan membawa persenjataan yang lengkap.
Setiba di Tenggarong, armada t’Hooft menyerang istana Sultan Kutai. Sultan Aji Muhammad Salehuddin diungsikan ke Kota Bangun yang sekarang sebagai salah satu kecamatan di Kukar. Akhirnya Kota Tenggarong dibakar. Pembakaran ini menghanguskan lebih dari 500 rumah penduduk. Kesultanan Kutai Kertanegara pun kalah dan takluk pada Belanda.
Pada 11 Oktober 1844, Sultan A. M. Salehuddin harus menandatangani perjanjian dengan Belanda yang menyatakan bahwa Sultan Kutai mengakui pemerintahan Hindia Belanda dan mematuhi pemerintahannya di Kalimantan yang diwakili oleh seorang Residen yang berkedudukan di Banjarmasin.
Pada 1850, Sultan Aji Muhammad Sulaiman memegang tampuk kepemimpinan Kesultanan Kutai kartanegara ing Martadipura. Tiga tahun kemudian, pemerintah Hindia Belanda menempatkan J. Zwager sebagai Assisten Residen di Samarinda.
Bersama dengan perdana menterinya yang bernama Pangeran Sukmawira atau Habib Hamid Baraqbah, saat itu kekuatan politik dan ekonomi masih berada dalam genggaman Sultan A. M. Sulaiman.
Tahun 1888, pertambangan batu bara pertama di Kutai dibuka di Batu Panggal oleh insinyur tambang asal Belanda, J.H. Menten. Menten juga meletakkan dasar bagi eksploitasi minyak pertama di wilayah Kutai. Kemakmuran wilayah Kutai pun tampak semakin nyata sehingga membuat Kesultanan Kutai Kartanegara menjadi sangat terkenal pada masa itu.
Setahun berlalu, Sultan Sulaiman wafat dan digantikan putera mahkotanya Aji Mohammad dengan gelar Sultan Aji Muhammad Alimuddin.
Sultan Alimuddin hanya bertakhta dalam kurun waktu 11 tahun. Dia wafat pada 1910. Berhubung pada waktu itu putra mahkota Aji Kaget belum dewasa, tampuk pemerintahan Kesultanan Kutai Kertanegara dipegang oleh Dewan Perwalian yang dipimpin Aji Pangeran Mangkunegoro. Pada 14 November 1920, Aji Kaget dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kertanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Parikesit.
Dua tahun setelah kemerdekaan atau 1947, Kesultanan Kutai Kertanegara mendapatkan status sebagai Daerah Swapraja. Pada 27 Desember 1949, daerah tersebut masuk dalam Republik Indonesia Serikat.
Daerah Swapraja Kutai diubah menjadi Daerah Istimewa Kutai yang merupakan daerah otonom/daerah istimewa tingkat kabupaten pada 1959. Daerah Istimewa Kutai dipecah menjadi tiga Daerah Tingkat II, yakni: daerah Tingkat II Kutai dengan ibu kota Tenggarong; Kotapraja Balikpapan dengan ibu kota Balikpapan; Kotapraja Samarinda dengan ibu kota Samarinda.
Pada 20 Januari 1960, bertempat di Gubernuran di Samarinda, A.P.T. Pranoto yang menjabat sebagai Gubernur Kaltim, atas nama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, melantik dan mengangkat sumpah 3 kepala daerah untuk ketiga daerah swatantra tersebut: A.R. Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai; Kapt. Soedjono sebagai Wali Kota Kotapraja Samarinda, dan A.R. Sayid Mohammad sebagai Wali Kota Kotapraja Balikpapan.
Pada era Reformasi 1998, terjadi perubahan di Kabupaten Kutai. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1999, Kabupaten Kutai dimekarkan menjadi empat daerah: Kabupaten Kutai dengan ibu kota Tenggarong, Kabupaten Kutai Barat dengan ibu kota Sendawar, Kabupaten Kutai Timur dengan ibu Sangatta, serta Kota Bontang dengan ibu kota Bontang. Selanjutnya, Kabupaten Kutai diganti namanya menjadi Kabupaten Kukar.
Fakta-Fakta
Kaya Wisata
Tahukah Anda bahwa Kukar kaya akan tempat-tempat wisata yang wajib dikunjungi oleh para wisatawan? Secara singkat dapat digambarkan sebagai berikut:
Pertama, Pulau Kumala. Pulau Kumala merupakan sebuah tempat yang berada di delta Sungai Mahakam. Tempat ini sangat terkenal dan menjadi salah satu destinasi yang diserbu oleh para wisatawan. Terletak di pusat Kota Tenggarong, Pulau kumala mempunyai luas kurang lebih sebesar 81 hektare, berada di tengah Sungai Mahakam.
Obyek rekreasi Pulau Kumala terdiri dari Jembatan Repo-repo, Landmark Pulau Kumala, Dayak Experience Center, taman yang luas untuk bersepeda, sky tower dan wahana bermain lainnya.
Kedua, Taman Kota Raja. Taman ini berada tepat di sebelah Jembatan Kutai Kartanegara Ingmartadipura Tenggarong yang Merupakan tempat wisata dengan menyuguhkan keindahan suasana senja untuk mengambil momen yang instagramable pada malam hari karena adanya cahaya lampu warna-warni yang menambah daya tari keindahan taman ini.
Ketiga, Bukit Bengkirai. Bukit ini dikelilingi oleh pepohonan lebat yang bernama pohon bangkirai. Mempunyai luas 1.500 hektare, tumbuhan tersebut mempunyai ketinggian rata-rata 40-50 meter. Pohon ini sudah tumbuh lebih dari 150 tahun lamanya.
Macam-macam rekreasi di bukit yang terletak di Kecamatan Samboja ini adalah panorama alam yang sejuk dan menyegarkan, jembatan gantung setinggi pohon bengkirai, serta flora dan faunanya yang unik.
Keempat, Pantai Ambalat. Pantai Amborawang Laut yang disingkat Ambalat adalah pantai yang terdapat barisan pohon pinus yang tumbuh lebat. Pantai ini mempunyai luas sekitar 3 km2 dan memiliki warna pasir putih kecoklatan. Pantai Ambalat berada di Amborawang Laut, Kecamatan Samboja.
Kelima, Ladang Budaya. Ladang Budaya atau Ladaya merupakan tempat wisata seperti kebun binatang mini dan mempunyai aneka fasilitas yang bisa dipilih oleh para pengunjung.
Wahana yang ada di Ladaya terdiri dari Mini Zoo, Kawasan Outbound, Flaying Fox, Pin Ball, Panggung Seni, Odah Rehat dan fasilitas seru lainnya. Ladaya berada di Jalan H. Bachrin Seman, RT 12, Mangkurawang, Kecamatan Tenggarong.
Keenam, Danau Semayang. Di Kukar terdapat satu destinasi wisata baru yang kian naik daun bernama Danau Semayang. Wisata ini memiliki luas danau yang mencapai 13.000 hektare.
Danau Semayang mempunyai pesona alam yang indah, baik pada air pasang maupun air surut. Danau Semayang berada di Desa Melintang, Kecamatan Muara Wis.
Ketujuh, Puncak Bukit Biru. Ini merupakan salah satu destinasi wisata paling populer di Kukar. Biasanya, para pengunjung mendatangi tempat ini di kala sore menjelang petang untuk menyaksikan keindahan mata hari tenggelam. Ditambah dengan panorama alam sekitar, membuat Bukit Biru selalu menarik untuk dikunjungi. Lokasi Bukit Biru berada di Desa Sumber Sari, Kecamatan Loa Kulu.
Kedelapan, Musium Mulawarman. Obyek wisata Museum Mulawarman mempersembahkan warisan budaya dan kaya akan nilai sejarah. Terdapat kurang lebih 5.373 koleksi benda sejarah yang berupa besi, kain, kuningan, kulit kayu dan lainnya. Menurut catatan Museum, koleksi di sini 50 persen terbuat dari bahan organik dan setengahnya lagi bahan anorganik. Adapun alamat Museum ini ada di Kota Tenggarong.
Kesembilan, Waduk Panji Sukarame. Ini merupakan salah satu tempat populer yang juga banyak dikunjungi oleh wisatawan. Obyek ini berada sekitar 10 menit dari pusat Kota Tenggarong.
Waduk ini merupakan bendungan yang digunakan untuk kebutuhan pengairan sawah. Termasuk danau buatan yang di sekelilingnya memiliki panorama alam luar biasa. Di pinggir danau ini juga dilengkapi papan kayu dan biasanya dimanfaatkan untuk duduk bersantai maupun mengambil gambar.
Kesepuluh, Batu Dinding. Ini Adalah salah satu destinasi di atas permukaan bukit yang indah. Wisata ini menyuguhkan keindahan alam yang mempesona. Layaknya mendaki sebuah puncak, perlu usaha yang ekstra. Namun setelah sampai di puncak Batu Dinding, wisatawan dapat menyaksikan panorama alam terbuka di sekitar. Batu Dinding berada di Desa Karya Merdeka, Kecamatan Semboja.
Bermaskot Lembuswana
Lembuswana adalah hewan dalam mitologi rakyat Kutai yang hidup sejak zaman Kerajaan Kutai. Lembuswana menjadi lambang Kerajaan Kutai hingga Kesultanan Kutai Kartanegara. Hewan ini memiliki semboyan Tapak Leman Ganggayaksa.
Lembuswana merupakan hewan yang disucikan karena merupakan tunggangan Dewa Batara Guru dalam memberikan petuah dan petunjuknya. Lembuswana dicirikan berkepala singa, bermahkota (melambangkan keperkasaan seorang raja yang dianggap penguasa dan mahkota adalah tanda kekuasaan raja yang dianggap seperti dewa), berbelalai gajah (leman artinya gajah, melambangkan Dewa Ganesha sebagai dewa kecerdasan), bersayap garuda, dan bersisik ikan.
Ekonomi dan Sumber Daya Alam
Dengan wilayah luas, Kukar menjadi daerah yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA). Terutama minyak bumi dan gas alam (migas) serta batu bara.
Perekonomian Kukar hingga saat ini masih didominasi pertambangan dan penggalian dengan kontribusi sebesar 64,91%, disusul oleh pertanian, kehutanan dan perikanan sebesar 12,98%, kontruksi sebesar 7.85%, industri pengolahan sebesar 4,06% dan perdagangan sebesar 3.64%.
Produk Domestik Regional Bruto Kutai Kartanegara tahun 2019 mencapai 207 juta/kapita. Artinya, rata-rata pendapatan yang diterima oleh setiap penduduk selama satu tahun di Kukar mencapai nilai tersebut.
Hewan Langka
Kukar yang merupakan bagian dari Pulau Kalimantan mempunyai hewan-hewan unik dan langka. Di antaranya orang utan, burung enggang, pesut mahakam, rusa hutan dan bekantan.
Menghidupkan Kembali Kesultanan
Setelah bergabung ke NKRI, Kesultanan Kutai Kertanegara ing Martadipura melebur menjadi salah satu daerah di Indonesia. Namun pada 1999, Bupati Kukar, Syaukani Hasan Rais berniat untuk menghidupkan kembali Kesultanan Kutai Kertanegara ing Martapura. Usaha pengembalian Kesultanan ini tak bermaksud untuk menghidupkan feodalisme di daerah, namun sebagai upaya pelestarian warisan sejarah dan budaya Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia. Selain itu, usaha menghidupkan tradisi Kesultanan Kutai Kertanegara adalah untuk mendukung sektor pariwisata Kaltim dalam upaya menarik minat wisatawan dalam negeri dan mancanegara.
Pada 7 November 2000, Bupati Kukar bersama Putra Mahkota Kutai H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerja Adiningrat menghadap Presiden RI Abdurrahman Wahid di Bina Graha Jakarta untuk menyampaikan maksud tersebut. Presiden Wahid menyetujui dan merestui pengembalian Kesultanan Kutai Kartanegara kepada keturunan Sultan Kutai Kertanegara ing Martadipura.
Kemudian pada 22 September 2001, Putra Mahkota Kesultanan Kutai Kertanegara, H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan H. Aji Muhammad Salehuddin II.
Setelah Sultan H. Aji Muhammad Salehuddin II meninggal dunia pada 5 Agustus 2018, gelar sultan dilanjutkan oleh anaknya, Putra Mahkota Aji Pangeran Adipati Praboe Soerya Adiningrat, dengan gelar Sultan Aji Muhammad Arifin yang ditabal secara resmi pada hari Sabtu, 15 Desember 2018. Sultan Aji Muhammad Arifin merupakan Sultan Kutai Kartanegara yang ke-21.
Perayaan Adat Erau
Erau merupakan salah satu festival budaya tertua di Nusantara. Tradisi tahunan ini telah berlangsung selama berabad-abad, seiring perjalanan sejarah Kesultanan Kutai Kertanegara Ing Martadipura. Bisa dikatakan, Erau telah berlangsung sejak masa awal Kesultanan Kutai berdiri.
Dahulu, Erau merupakan hajatan besar bagi Kesultanan Kutai dan masyarakat di seluruh wilayah kekuasaannya yang kini mencakup sebagian besar wilayah Kalimantan Timur. Pada awalnya, perhelatan ini berlangsung selama 40 hari 40 malam, serta diikuti oleh segenap lapisan masyarakat.
Dalam perhelatan tersebut rakyat dari berbagai penjuru negeri berpesta ria dengan mempersembahkan sebagian dari hasil buminya untuk dibawa ke ibu kota Kesultanan. Hal ini berkaitan dengan salah satu fungsi dari Erau sebagai wujud rasa syukur atas limpahan hasil bumi yang diperoleh rakyat Kutai. Keluarga besar Kesultanan pun menjamu rakyatnya dengan beraneka sajian sebagai bentuk rasa terima kasih atas pengabdian mereka kepada Kesultanan.
Erau yang dilangsungkan menurut tata cara Kesultanan Kutai terakhir kali diadakan pada 1965. Kemudian, atas inisiatif pemerintah daerah dan izin dari pihak Kesultanan, tradisi ini mulai dihidupkan kembali pada 1971. Hanya saja, penyelenggaraannya tidak satu tahun sekali, melainkan menjadi dua tahunan, serta dengan beberapa persyaratan. Sejak saat itulah pelaksanaan Erau menjadi ajang pelestarian budaya warisan Kesultanan Kutai dan berbagai etnis yang hidup di dalamnya.
Erau dilangsungkan bertepatan dengan hari jadi Kota Tenggarong, yaitu setiap 29 September. Tetapi, sejak 2010, pelaksanaan festival ini dimajukan menjadi bulan Juli karena menyesuaikan dengan musim liburan sehingga lebih banyak wisatawan yang datang. Festival ini dimeriahkan oleh aneka kesenian, upacara adat dari Suku Kutai, suku-suku Dayak, dan lomba olahraga ketangkasan tradisional.
Punya Salah Satu Sungai Terpanjang di Kalimantan
Nama Mahakam diketahui berasal dari bahasa Sanskerta, yang terbagi dalam dua etimologi, yakni kata maha dan kama. Maha berarti tinggi atau besar. Sedangkan kama berarti cinta. Artinya, mahakama, dapat diterjemahkan sebagai cinta yang sangat besar atau agung. Sesuai dengan filsafah penduduk asli Kutai bahwa sekali minum air Sungai Mahakam maka akan terpikat hati dan ingin kembali lagi untuk menetap di Kalimantan.
Sungai Mahakam merupakan sungai terpanjang kedua di Indonesia dengan panjang mencapai 192 kilometer dan luas sekitar 149.277 km2. Mahakam menjadi satu dari tiga sungai utama (amat besar dan amat panjang) di Kalimantan. Dia memang kalah panjang dari Sungai Kapuas di Kalimantan Barat yang 1.000 kilometer lebih panjang terutama di bagian muara.
Air Sungai Mahakam bersumber dari Pegunungan Iban yang berada di tengah Pulau Kalimantan, tepatnya di dekat perbatasan Indonesia dengan Serawak, Malaysia. Sungai ini bermuara di Selat Makassar, tepatnya ke arah timur dan tenggara Kota Samarinda.
Sungai Mahakam juga menjadi induk dari 13 sungai. Sungai Mahakam memiliki beberapa anak sungai, di antaranya Sungai Belayan, Sungai Lawa, Sungai Kedang Kepala, Sungai Telen, dan Sungai Tenggarong.
Sungai ini adalah habitat bagi ikan pesut atau lumba-lumba air tawar yang merupakan binatang khas Sungai Mahakam yang tidak dapat ditemukan di tempat lain. Biasanya ikan pesut berada di antara Muara Kaman hingga Melak. Populasi terbesarnya ada di Muara Pahu. Ikan ini juga hanya muncul pada pagi atau sore hari.
Sungai Mahakam adalah sumber pemasok air bagi 76 danau yang tersebar di sepanjang aliran sungai. Ada tiga danau besar yang menjadi sumber penghidupan masyarakat sekitar, yaitu Danau Jempang (150 km²), Danau Semayang (130 km²), dan Danau Melintang (110 km²).
Air Sungai Mahakam dimanfaatkan oleh tiga PDAM di tiga daerah: PDAM Kota Samarinda, Kukar dan Kutai Barat. Artinya, sekitar 3 juta penduduk dari tiga daerah tersebut setiap hari memakai air Sungai Mahakam untuk mandi, mencuci, memasak, bahkan minum—tentu setelah diolah PDAM. Itu belum termasuk berjuta-juta ikan dan binatang lainnya yang hidup di air bahkan di pohon-pohon yang tumbuh di sepanjang daerah alirannya.
Suku Kutai dan Suku Dayak
Suku Kutai, Dayak-Kutai, atau Urang Kutai adalah salah satu dari rumpun suku Dayak yaitu Dayak Ot Danum yang mendiami wilayah Kaltim yang mayoritas saat ini beragama Islam dan hidup di tepi sungai.
Pada awalnya Kutai merupakan nama suatu teritori tempat bermukimnya masyarakat asli Kalimantan. Suku Kutai berdasarkan jenisnya adalah termasuk Suku Melayu yang berada di Kaltim.
Adat-istiadat lama Suku Kutai memiliki beberapa kesamaan-kesamaan dengan adat-istiadat Suku Dayak Rumpun Ot Danum—khususnya Tunjung-Benuaq. Misalnya Erau (upacara adat yang paling meriah), belian (upacara tarian penyembuhan penyakit), memang, dan mantra-mantra serta ilmu gaib seperti parang maya, panah terong, polong, racun gangsa, perakut, peloros, dan lain-lain. Di mana adat-adat tersebut dimiliki oleh Suku Kutai dan Suku Dayak. Bahkan hingga saat ini masih ada Suku Kutai di Desa Kedang Ipil yang menganut kepercayaan kaharingan. Sama halnya dengan Suku Dayak.
Selain itu, Suku Kutai juga memiliki kedekatan budaya dengan Suku Banjar karena terjadi asimilasi dengan budaya Melayu Banjar seperti pertunjukan Mamanda, serta budaya Melayu seperti Jepen/Zapin, musik Panting Gambus, budaya bersyair seperti Tarsul. (*)
Sumber: Dilansir dari berbagai sumber