Search
Search
Close this search box.

Catatan Perjalanan Beirut-Damaskus (1)

Dina Sulaeman berfoto bersama peserta konferensi dari Irlandia, Italia, dan Serbia. (Dok. Dina Sulaeman)
Listen to this article

Oleh: Dina Sulaeman*

Seperti saya tuliskan di postingan sebelumnya, saya melakukan perjalanan ini dalam keadaan duka cita, karena Ibu saya meninggal dunia 3 hari sebelum keberangkatan saya. Saya tetap harus berangkat demi men-support pihak penyelenggara; mereka sudah menyediakan tiket, yang ternyata tidak bisa di-refund.

Walhasil, saya berangkat ke Beirut, mengikuti international conference yang diadakan sebuah organisasi bernama “the Global Gathering to Support Choice of Resistance.” Organisasi ini beranggotakan sangat banyak orang dari berbagai negara, yang hadir kemarin itu adalah perwakilan dari sekitar 80 negara, dari Timteng, Asia, Australia, Afrika, Eropa, dan Amerika Latin. Ada yang dari AS juga. Saya baru beberapa bulan lalu menyatakan bergabung (oiya, bila ada yang mau gabung dari Indonesia, inbox saya ya).

Advertisements

Kata “the choice of resistance” maksudnya adalah hak untuk memilih; termasuk memilih untuk melawan. “Memilih” sebenarnya adalah term orang-orang liberal. Mereka menyatakan mengakui hak untuk memilih, mengakui HAM, di mana di dalamnya ada hak untuk self-determination; hak untuk merdeka, hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, dll.

Nah, artinya, bila ada sebuah bangsa memilih untuk melawan penjajahan atau penindasan yang dialaminya, tentu seharusnya dihormati. Tapi anehnya, saat orang-orang tertindas atau terjajah mau melawan, elit liberal (Barat), malah menyalahkan.

Dalam kasus Palestina-Israel, inilah “cause” yang sedang diperjuangkan: bahwa bangsa Palestina berhak untuk melawan kalau mereka memilih untuk melawan.

Untuk orang-orang Amerika Latin, yang diperjuangkan adalah kemerdekaan melawan eksploitasi AS. Misalnya, wakil-wakil dari Kuba, Venezuela, dll, dalam konferensi ini bicara soal bagaimana AS menerapkan sanksi ekonomi yang sangat mencekik rakyat, ketika negara mereka menolak untuk tunduk pada kemauan AS.

Wakil dari Serbia, juga bicara bahwa orang-orang Eropa juga seharusnya melawan (to resist; resistance) dominasi AS karena saat ini elit Eropa patuh pada agenda perang AS; yang akibatnya malah merugikan rakyat Eropa sendiri (hanya menguntungkan elit).

Demikian singkatnya, nanti akan saya tulis soal konferensi ini di tulisan terpisah.

Di hari ke-4, saat penutupan, di mana saya merencanakan pada hari itu saya berangkat ke Damaskus, saya baru tahu kalau visa saya belum diurus panitia. Padahal, saya sejak awal sudah berkali-kali minta kepastian, apakah mereka bisa bantu visa Suriah saya, atau saya usaha sendiri apply visa? Mereka bilang, tenang saja, akan kami urus. Ternyata, mereka tidak/belum mendapatkan visa untuk saya.

Dengan agak panik, saya menghubungi beberapa orang. Di antara opsinya adalah saya tetap tinggal di Beirut, mungkin numpang di mana.. entahlah (minta bantuan mahasiswa Indonesia); atau, saya ganti tiket (langsung pulang ke Indonesia). Dr. Tim dari Australia, menawarkan opsi, daripada ganti tiket (yang sudah pasti sangat mahal), saya tetap di Beirut dan ikut konferensi yang lain; dia akan bantu. Kebetulan, keesokan harinya ada konferensi selama 4 hari, di Beirut juga, membahas isu pengungsi Palestina.

Tapi, saya belum memutuskan, ya, atau tidak. Masih berharap ada keajaiban.

Sebenarnya, tepat hari pertama saya tiba di Beirut, saya sudah kirim email ke KBRI Damaskus, memberitahukan rencana perjalanan saya ke Suriah sekaligus laporan bahwa saya belum punya visa. Tanpa saya duga, ternyata pihak KBRI membantu saya soal visa ini.

Di hari Senin sore, ketika saya sudah pasrah, ga tau mau ngapain lagi (mau pulang, atau tetap di Beirut, atau ikut konferensi lain), saya tidak mau ‘berjuang’ apa-apa lagi, sudah kehabisan energi, mungkin karena situasi saya sedang berduka, sehingga emang sejak awal saya kehilangan energi. Lalu, tiba-tiba muncul WA dari pihak KBRI Suriah, isinya: VISA SURIAH! Masyaallah… terima kasih banyak untuk Pak Dubes Wajid Fauzi dan segenap staf KBRI Damaskus.

Saat itu, saya sedang makan siang (di Lebanon, makan siangnya sore hari, sekitar jam 15) bersama rekan dari Irlandia dan Italia, bernama Fra dan Roberta. Keduanya sudah tahu kasus saya dan berempati. Jadi, saya beritahukan soal visa itu ke mereka. Lalu saya menangis. Awalnya, saya berusaha menahan tangis, tapi Fra dan Roberta menggoda, “Nangis aja, kami gak lihat kok!” Fra berusaha bercanda, “Roberta lihat, ada ikan paus tuh di sana!” Roberta juga pura-pura menoleh. Restoran tempat kami makan memang jendelanya menghadap ke laut Mediterrania. Walhasil, saya menangis sambil tertawa.

Lalu, muncul persoalan baru: ke Suriahnya naik apa? Pihak hotel menawarkan taksi, 150 USD. Saya panik dong, mahal amat. Tapi kemudian, karena saya memang ngomong ke beberapa orang, jadi mereka pada kepo, saya naik apa ke Damaskus. Tawaran-tawaran lain berdatangan. Ada yang menawarkan taksi 20 USD, atau 66 USD.  Terus-terang saya keder banget pergi sendirian. Mungkin karena suasana hati saya saat itu. Apalagi, begitu keluar hotel, saya tidak bisa nyambung ke internet lagi. Beli pulsa internet di Beirut agak rumit.

Lalu ada orang India yang baik banget, mengupayakan agar saya bisa naik mobil van berisi 10 orang, dengan biaya 10 USD, khusus trayek Beirut-Damaskus. Bahkan dia memastikan agar si sopir van bisa berhubungan dengan staf KBRI supaya saya benar-benar diantar sampai ke “tangan” staf KBRI. Staf KBRI juga dengan penuh perhatian memonitor keberangkatan saya.

Tapi akhirnya, saya malah diantar langsung sampai ke depan pintu KBRI Damaskus, oleh seorang delegasi dari Rusia, yang kebetulan memang mau ke Suriah. Alhamdulillah alaa kulli haal.

Sekian dulu, saya masih agak kelelahan dan agak bingung… terlalu banyak kenangan, tapi entah apa yang harus ditulis. (*Pengamat Asia Barat)

Advertisements

Kunjungi Berita Alternatif di :

Bagikan

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements

BERITA ALTERNATIF

POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA