Oleh: Dina Sulaeman*
Dengan diantar Hendri, mahasiswa S2 Indonesia di Beirut, saya sempat datang ke kamp Pengungsi Palestina Sabra-Shatila. Kamp ini saat ini tidak hanya dihuni oleh pengungsi Palestina, tetapi juga Suriah. Di dalam kamp rupanya ada sekolah (madrasah) informal untuk anak-anak pengungsi ini, yang didirikan oleh Muhammadiyah.
Mengenai kisah Sabra Shatila, saya copas terjemahan saya atas tulisan Dr. Ang Swee Chai.
***
Tiga puluh lima tahun yang lalu, ketika Israel menyerbu Beirut Barat, milisi Kristen Lebanon memasuki kamp pengungsi Palestina Sabra dan Shatila di Beirut Barat. Selama tiga hari, pasukan Israel menyegel kamp dan mengizinkan mereka membantai beberapa ribu pengungsi.
Saya saat itu adalah seorang ortopedik muda yang mengundurkan diri dari Rumah Sakit St. Thomas di London untuk bergabung dengan tim medis Christian Aid, membantu mereka yang terluka selama invasi Israel ke Lebanon beberapa bulan sebelumnya.
Beirut dikepung. Air, makanan, listrik dan obat-obatan diblokir. Invasi tersebut menyebabkan ribuan orang tewas dan terluka, dan membuat sekitar 100 ribu orang kehilangan tempat tinggal.
Saya diperbantukan ke Masyarakat Bulan Sabit Merah Palestina untuk memimpin departemen ortopedi di Rumah Sakit Gaza di kamp Sabra dan Shatila di Beirut Barat.
Saya bertemu para pengungsi Palestina di rumah mereka yang dibom dan mempelajari bagaimana mereka bisa menjadi pengungsi di salah satu dari 12 kamp Palestina di Lebanon itu.
Sebelumnya, saya tidak tahu bahwa orang Palestina itu ada. Mereka mengingat bagaimana mereka diusir dari rumah mereka di Palestina pada tahun 1948, sering kali dengan todongan senjata.
Mereka melarikan diri dengan harta apa pun yang bisa mereka bawa dan akhirnya menjadi pengungsi di negara-negara tetangga, seperti Lebanon, Yordania, dan Suriah.
PBB menempatkan mereka di tenda-tenda, sementara dunia berjanji bahwa mereka akan segera pulang. Harapan itu tidak pernah terwujud. Tahun 2017 (saat artikel ini ditulis-pent) adalah tahun ke-69 mereka hidup sebagai pengungsi.
Palestina terhapus dari peta dunia. Dari 750 ribu pengungsi, yang merupakan setengah dari populasi Palestina pada tahun 1948, telah berkembang menjadi 5 juta orang.
Segera setelah saya tiba di Beirut, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Yasser Arafat meninggalkan kota. Itu adalah imbalan yang diminta oleh Israel untuk menghentikan pemboman lebih lanjut atas Lebanon dan untuk mencabut blokade militer yang telah mereka lakukan selama 10 minggu.
Empat belas ribu pria dan wanita Palestina (anggota PLO) meninggalkan Lebanon setelah mendapat jaminan dari kekuatan Barat bahwa keluarga mereka yang ditinggalkan akan dilindungi oleh pasukan penjaga perdamaian multinasional.
Mereka yang pergi adalah para pejuang, pegawai negeri, dokter, perawat, dosen, serikat pekerja, jurnalis, insinyur dan teknisi. PLO adalah “pemerintah” Palestina di pengasingan, dan penyedia pekerjaan bagi belasan ribu orang itu.
Ketika mereka dipaksa pergi dari Lebanon, ribuan keluarga Palestina yang ditinggalkan sekarang tidak memiliki pencari nafkah, sering kali ayah atau saudara laki-laki tertua dalam keluarga. Keluarga-keluarga itu pun kebanyakan sudah kehilangan anggota keluarga; terbunuh dalam serangan militer tersebut.
Gencatan senjata hanya berlangsung selama tiga minggu. Pasukan penjaga perdamaian multinasional, yang dipercayakan oleh perjanjian gencatan senjata untuk melindungi warga sipil, tiba-tiba mundur.
Tak lama setelah itu, Presiden Kristen Lebanon yang baru dilantik, Bashir Gemayel, dibunuh. Kemudian, pada 15 September, beberapa ratus tank Israel melaju ke Beirut Barat. Beberapa dari mereka menyegel kamp Sabra dan Shatila, mencegah penduduk melarikan diri.
Lalu, sekelompok milisi Kristen, yang dilatih dan dipersenjatai oleh Israel, memasuki kamp (pada 16 September). Ketika tank-tank akhirnya ditarik dari seputar kamp pada 18 September, beberapa ribu warga sipil ditemukan tewas di dalam kamp, sementara yang lain telah diculik dan hilang.
Tim rumah sakit kami, yang telah bekerja tanpa henti selama 72 jam, diperintahkan untuk meninggalkan pasien kami di bawah todongan senapan mesin, dan berbaris keluar dari kamp pada tanggal 18 September.
Saat saya keluar dari ruang operasi di bawah tanah, saya mendapati kebenaran yang menyakitkan. Sementara kami berjuang di dalam rumah sakit untuk menyelamatkan beberapa lusin nyawa, di luar, ribuan orang dibantai. Beberapa mayat sudah membusuk di bawah terik matahari Beirut.
Bayangan pembantaian itu sangat membekas di ingatan saya. Mayat, di antaranya telah dimutilasi, memenuhi gang-gang kamp. Hanya beberapa hari sebelumnya, mereka adalah manusia yang penuh harapan dan kehidupan, percaya bahwa mereka akan dibiarkan dalam damai untuk membesarkan anak-anak mereka meskipun PLO dievakuasi.
Mereka adalah orang-orang yang menyambut saya di rumah mereka yang berantakan. Mereka menyediakan kopi Arab dan makanan apa pun yang mereka temukan, makanan sederhana tetapi diberikan dengan kehangatan dan kemurahan hati.
Mereka membagikan kisah kehidupan mereka yang hancur kepada saya. Mereka menunjukkan kepada saya foto-foto pudar dari rumah dan keluarga mereka di Palestina sebelum tahun 1948 dan kunci rumah besar yang masih mereka simpan.
Para wanita berbagi dengan saya sulaman indah mereka, masing-masing dengan motif desa yang mereka tinggalkan. Banyak dari desa-desa ini hancur setelah mereka pergi.
Selama tiga hari pembantaian itu, beberapa dari orang-orang ini menjadi pasien yang gagal kami selamatkan. Lainnya telah meninggal ketika tiba di RS. Mereka meninggalkan anak yatim dan janda.
Seorang ibu yang terluka memohon agar kami mencabut kantong darah terakhir di rumah sakit yang sedang ditransfusikan kepadanya, untuk diberikan kepada anaknya. Dia meninggal tak lama kemudian.
Anak-anak menyaksikan ibu dan saudara perempuannya diperkosa dan dibunuh; dan mereka akan selalu menanggung trauma. Wajah-wajah ketakutan dari keluarga-keluarga yang ditangkap oleh orang-orang bersenjata sambil menunggu kematian; ibu muda yang putus asa yang mencoba memberi saya bayinya untuk dibawa ke tempat yang aman; bau mayat yang membusuk saat kuburan massal terbongkar; tangisan pedih para wanita yang menemukan sisa-sisa orang yang mereka cintai dari potongan-potongan pakaian dan kartu identitas pengungsi—kenangan ini tidak akan pernah meninggalkan saya.
Para penyintas kembali untuk tinggal di rumah-rumah di mana keluarga dan tetangga mereka dibantai. Mereka adalah orang-orang yang berani, dan tidak ada tempat lain bagi mereka untuk dituju.
Saat ini, pengungsi Palestina di Lebanon diblokir dari 30 sindikasi profesi, dan hanya 2 persen warga Palestina yang bekerja di bidang non-profesional yang memiliki izin kerja yang layak. Mereka tidak memiliki paspor.
Mereka dilarang memiliki dan mewarisi harta benda. Mereka tidak diberi hak untuk kembali ke rumah mereka di Palestina. Mereka tidak hanya terlahir sebagai pengungsi, mereka akan tumbuh sebagai pengungsi dan mati sebagai pengungsi.
Saya masih memiliki pertanyaan menyakitkan, yang perlu dijawab. Mengapa mereka dibantai? Apakah dunia telah melupakan para pengungsi yang selamat itu? Bagaimana kita bisa membiarkan situasi di mana satu-satunya klaim seseorang atas kemanusiaan adalah kartu identitas pengungsi?
Pertanyaan-pertanyaan ini telah menghantui saya sejak saya pertama kali bertemu dengan pengungsi Palestina dari Sabra dan Shatila. Hingga kini, saya belum menerima jawaban. (*Pengamat Timur Tengah)