Oleh: Ibrahim Amini*
Manusia haus akan cinta dan kasih sayang. Cinta memberi kehidupan di hati. Seseorang yang mencintai orang lain—di mana ia menginginkan orang itu juga memiliki perasaan yang sama kepadanya—pasti merasakan kebahagiaan di hatinya. Ketika seseorang merasa bahwa tak ada di dunia ini yang mencintai dirinya, maka ia akan merasa sedih dan berduka. Karenanya, ia akan selalu murung.
Anak adalah miniatur manusia, yang kenyataannya memerlukan cinta dan kasih sayang yang lebih besar ketimbang orang dewasa. Sebagaimana anak memerlukan makanan, ia juga memerlukan cinta dan kasih sayang. Anak tak peduli ia tinggal di istana atau di gubuk. Ia hanya melihat apakah ia memperoleh cinta dan kasih sayang dari keluarganya atau tidak.
Dengan cinta, anak menapaki jalan pertumbuhan menuju manusia seutuhnya. Dan sumber dari karakter yang baik adalah cinta dan kasih sayang. Di bawah refleksi cinta, perasaan dan pikiran anak dapat terasuh dengan baik, yang akan menjadikannya manusia yang baik pula.
Anak yang menerima cinta yang besar akan memiliki hati dan jiwa yang bahagia. Ia tidak akan menjadi korban kekecewaan. Ia akan menjadi orang yang percaya diri, berwatak baik, dan menghargai diri. Ia pun tidak akan menjadi korban dari problem psikologis. Anak yang menerima cinta dan kasih sayang kelak akan lebih siap menghadapi kenyataan hidup yang keras dan berbagai masalah dalam kehidupan orang dewasa.
Anak perempuan yang menerima cinta dan kasih sayang orang tua dan keluarganya, akan terberkahi dengan aura kasih sayang dan tak akan mudah jatuh dalam pikatan anak lelaki di masa mudanya, yang dapat berakibat buruk bagi masa depannya. Sedangkan anak lelaki yang memperoleh asuhan dalam atmosfer cinta dan kasih sayang tidak akan menjadi korban dari kemaksiatan, seperti narkoba dan minuman keras.
Dari sudut pandang psikologi juga dibuktikan bahwa anak yang menerima cinta dan kasih sayang besar dari orang tuanya, selama masa pertumbuhannya, ternyata lebih cerdas dan lebih sehat ketimbang anak yang tumbuh di sebuah asrama, di mana dirinya terpisah dari orang tuanya. Ini adalah salah satu alasan mengapa anak-anak yang berasal dari boarding school (sekolah berasrama) boleh jadi memerlukan nutrisi dan perawatan kesehatan yang lebih baik.
Selain itu, mereka yang memperoleh asuhan dalam lingkungan tak berperasaan, tanpa cinta dan kasih sayang, serta tak memperoleh kedekatan dengan orang tua, besar kemungkinan tak akan memiliki watak berkasih sayang pada orang lain.
Anak yang tak memperoleh cinta dan kasih sayang orang tuanya akan menjadi korban perasaan kehilangan dan rendah diri. Mayoritas penyebab terbentuknya watak pemarah, tak tahu malu, kasar, depresi, dan lain-lain adalah disebabkan kurangnya cinta dan kasih sayang orang tua di masa kecil seseorang.
Para pelaku kejahatan seperti mencuri dan membunuh, dalam banyak kasus, merupakan orang-orang yang tak memperoleh cinta dan kasih sayang orang tua di masa kecilnya. Mereka bertingkah seperti pemberontak dalam masyarakat. Mereka bahkan ingin bunuh diri. Koran dan majalah penuh dengan kisah orang-orang tak beruntung ini.
Dr. Hassan Ahdi—kepala divisi psikiatri dari National Society for Care of Children (Anjuman Melli Himayat Bachhagan)—telah melakukan penelitian terhadap lima ratus narapidana. Ia memperoleh data bahwa mereka melakukan tindak kriminal pertamanya di usia antara 12 dan 13 tahun. Hasil penelitiannya itu menyimpulkan bahwa penyebab utama kejahatan mereka adalah kurangnya cinta dan kasih sayang keluarga.
Ia berkata, “Awal dari sebagian besar masalah psikologis dapat ditelusuri dari masa kecil. Bahkan kebanyakan anak yang stabil pun memiliki masalah dalam menenangkan perasaannya.”
Seorang pemuda menulis, “Aku membuka mataku dalam sebuah keluarga miskin di sebuah desa kecil. Biaya perawatanku dan dua saudara perempuanku di atas penghasilan orang tuaku. Karenanya, nenekku kemudian mengambilku. Keadaannya lebih baik. Ia begitu mencintaiku. Ia kerap membelikanku pakaian yang bagus dan lainnya. Namun, kenyamanan ini tetap tak mampu menggantikan cinta dan kasih sayang ibu dan ayahku yang kudambakan. Ia sering merasa seolah aku telah kehilangan sesuatu. Aku diam-diam kerap menangis. Saat itu, aku duduk di bangku kelas tiga. Suatu ketika, ayahku menemuiku dan memintaku pulang. Aku begitu girang mendengarnya dan segera bersiap berangkat. Aku merasa seolah penderitaanku selama bertahun-tahun telah terobati dalam sekejap. Oleh karena itu, aku menyarankan pada para ayah dan ibu agar jangan menjauhkan anaknya dari cinta dan kasih sayang mereka dengan mengirimnya ke suatu tempat, bagaimana pun miskinnya kehidupan mereka. Mereka mesti menyadari bahwa hidup terpisah dari orang tua serta jauh dari cinta dan kasih sayang mereka akan terasa sulit bagi anak. Kehampaan ini tak dapat tergantikan dengan kenyamanan apa pun.”
Ia juga menulis dalam suratnya yang lain, “Aku telah terjauhkan dari cinta dan kasih sayang orang tuaku. Itulah mengapa kini aku menjadi orang yang mudah patah hati dan pencemburu. Aku berwatak pengecut dan mudah marah. Ketika kecil, aku kerap melarikan diri dari sekolah. Dan dengan berbagai kesulitan, aku dapat terus sekolah hingga mencapai kelas enam, namun kemudian drop out.”
Perhatian Islam terhadap Cinta
Keyakinan suci Islam, yang memberikan perhatian besar terhadap proses pengasuhan anak, menegaskan secara khusus seputar cinta dan kasih sayang pada anak. Alquran dan al-hadis kerap membahas hal itu. Berikut di antaranya.
Imam Ja’far Shadiq berkata, “Disebabkan cinta besar yang dicurahkan orang tua pada anak mereka, Allah akan memasukkan mereka dalam rahmat-Nya.”
Dalam sebuah hadis qudsi diriwayatkan bahwa Allah Swt berfirman pada Nabi Musa, “Mencintai anak-anak adalah tindakan terbaik, karena tujuan penciptaan mereka adalah untuk menghamba kepada Allah dan bersaksi atas keesaan-Nya. Bila anak-anak meninggal ketika kecil, mereka akan masuk surga.”
Rasulullah Saw bersabda, “Cintailah anak-anak dan berbuat baiklah kepada mereka.”
Rasulullah Saw juga bersabda, “Sering-seringlah mencium anak-anak kalian. Karena, setiap kali kalian mencium mereka, Allah akan menaikkan derajat kalian satu tingkat di surga.”
Suatu hari, seseorang berkata pada Rasulullah Saw, “Aku belum pernah mencium anak hingga detik ini.” Setelah ia pergi, Rasulullah Saw berkata pada para sahabat, “Menurutku, ia sedang bersiap menghuni neraka.”
Rasulullah Saw juga bersabda, “Seseorang yang tidak berbuat baik kepada anak-anak dan tidak menghormati orang-orang yang lebih tua, bukanlah bagian dari kami.”
Imam Ali, dalam wasiat beliau, berkata, “Berbuat baiklah kepada anak-anak dan hormatilah orang-orang yang lebih tua dari kalian.”
Ekspresi Cinta dan Kasih Sayang
Mencintai anak merupakan insting alami. Mungkin sedikit orang tua yang tidak mencintai anak mereka dari lubuk hati. Namun, mencintai anak dari hati saja tidak cukup. Anak memerlukan cinta yang direfleksikan dalam aksi nyata orang tua. Anak ingin dicium, dipeluk, dan ditatap dengan senyuman.
Saat orang tua menyenandungkan ninabobo, anak pun merasakan kehangatan mereka. Anak juga menginginkan orang tuanya bermain dengannya. Anak menganggap hal ini sebagai tanda cinta. Ia juga menganggap kemarahan dan perselisihan sebagai tanda tak sayang. Kapan saja orang tua memandangi anak, ia mengamati apakah terdapat pandangan cinta atau tidak pada wajah mereka.
Terdapat pula orang tua, yang mencurahkan cintanya, hanya ketika anak masih bayi. Namun, saat ia tumbuh, ekspresi cinta mereka pun berkurang sedikit demi sedikit. Ketika anak telah remaja dan dewasa, mereka secara total mengabaikannya dan bahkan berkata bahwa ekspresi cinta akan menjadikannya manja. Ini jelas bukan sikap yang benar. Anak selalu mengharap cinta orang tuanya sepanjang hidupnya. Ia merasa bahagia dengan ekspresi cinta orang tuanya.
Sebaliknya, bila mendapati orang tuanya mengabaikannya, ia pun merasa terluka. Khususnya masa remaja, yang merupakan periode kritis dalam kehidupan manusia. Pada masa ini, dukungan dan bimbingan orang tua paling banyak diperlukan. Pengabaian pada masa remaja dan dewasa itulah yang menyebabkan banyaknya kasus bunuh diri di usia tersebut. Selain pula menyebabkan kasus-kasus kabur dari rumah.
Perlu kiranya saya kutipkan beberapa kalimat dari catatan harian seorang remaja bernama Naznin, sebagai berikut:
“Saat aku mengingat ayah dan ibuku, tak ada lain selain tertawa. Meskipun mereka lebih berhak dikasihani ketimbang tertawa. Ibu sibuk dengan dunianya yang penuh dengan pekerjaan sehari-hari. Kemudian, ia asyik bergosip berjam-jam dengan bibi Vizri dan nyonya Hamidah. Bila beberapa dari kami bersaudara, lelaki dan perempuan, mendatanginya saat itu karena beberapa keperluan, ia pun akan menunjukkan sikap tidak senang, karena merasa terpotong pembicaraannya.”
“Ia tak menyadari bahwa sementara dirinya membicarakan kekurangan orang lain, ia telah membuatku merasa seperti burung yang terbang ke sana kemari demi menumpahkan isi hati kepada orang lain. Ibu dan ayah sibuk berdebat satu sama lain, atau sibuk bergosip dengan teman-temannya. Kalau tidak, mereka pergi keluar rumah.”
“Sementara, aku juga disibukkan dengan kegiatan sekolah dari pagi sampai malam. Sehingga, aku pun jarang melihat ayah. Kebetulan, guruku seorang psikolog. Hari ini, ia membicarakan tentang pengaruh seorang ayah terhadap kejiwaan anak perempuannya. Pembicaraannya itu menyentuh hatiku. Ia benar ketika mengatakan bahwa aku adalah orang yang telah dewasa di mata semua orang. Namun, aku tetap merasa perlu bimbingan ayahku setiap saat dalam hidupku. Aku memerlukan kekuatan moral seorang yang bijak dan baik. Namun ayahku… kelihatannya ia tak punya waktu untuk ini.”
Rumah: Tempat Terbaik
Tempat pelatihan terbaik bagi anak, khususnya di tahap-tahap awal kehidupannya, adalah rumah. Dalam periode ini, anak menerima perhatian total, kebaikan, dan cinta orang tuanya. Orang tua juga dianjurkan untuk tidak menitipkan anaknya dalam perawatan asrama.
Memang mungkin saja asrama itu memiliki lingkungan yang higienis dan makanan bergizi. Namun tetap saja asrama tersebut memberikan lingkungan yang dingin dan asing bagi anak. Tempat itu bagaikan ruang hampa bagi anak, yang begitu mendambakan ditemani orang tuanya. Lingkungan baik dan makanan bergizi saja tidaklah cukup untuk mengisi kehampaan disebabkan ketiadaan cinta dan perhatian orang tua.
Rasulullah Saw bersabda, “Bila Anda menyukai seseorang, ekspresikan perasaan itu kepadanya. Ekspresi cinta ini akan saling mendekatkan kalian.”
Rasulullah Saw juga biasa bermain dengan anak-anak dan cucu-cucu beliau setiap pagi, serta mengekspresikan cinta dan kasih sayang beliau kepada mereka. (*Tokoh Pendidikan Islam)