Oleh: Abdarah*
Budidaya jagung merupakan salah satu penggerak utama perekonomian masyarakat, namun di balik kontribusinya, kegiatan ini juga membawa dampak negatif yang signifikan terhadap lingkungan, sosial, dan keberlanjutan pertanian. Salah satu masalah utama adalah kerusakan lingkungan yang terjadi akibat pembukaan lahan secara masif di kawasan hutan atau dataran tinggi. Petani sering kali membuka lahan baru tanpa memperhatikan kelestarian hutan, sehingga menyebabkan deforestasi yang berdampak pada hilangnya tutupan vegetasi alami. Deforestasi ini mengakibatkan erosi tanah yang parah, mengurangi kesuburan tanah, dan memperburuk kualitas sumber daya air di sekitar area tersebut.
Selain itu, budidaya jagung yang terus-menerus dilakukan tanpa rotasi tanaman menyebabkan penurunan kualitas tanah. Penggunaan pupuk kimia secara intensif oleh petani semakin mempercepat proses degradasi tanah. Tanah yang kehilangan unsur hara menjadi kurang produktif, sehingga membutuhkan lebih banyak input bahan kimia untuk mempertahankan hasil panen. Penggunaan pestisida secara berlebihan juga menjadi ancaman serius terhadap kesehatan lingkungan karena dapat mencemari air, tanah dan merusak ekosistem lokal.
Ketergantungan petani pada sistem monokultur, yang di mana mereka hanya menanam jagung, membawa risiko besar terhadap keberlanjutan sektor pertanian. Ketika serangan hama atau penyakit melanda, seluruh lahan jagung dapat mengalami gagal panen. Di sisi lain, perubahan iklim yang mengakibatkan kekeringan atau curah hujan yang tidak menentu semakin memperbesar risiko tersebut.
Ketergantungan pada jagung juga membuat petani rentan terhadap fluktuasi harga pasar. Penurunan harga jagung di pasar global dapat langsung memengaruhi pendapatan petani, budidaya jagung sering kali meningkatkan biaya produksi petani, sementara hasil yang diperoleh terkadang tidak sebanding dengan biaya tanam, sehingga banyak dari mereka kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Konflik sosial terkait pengelolaan lahan pun sering terjadi akibat perluasan lahan jagung. Banyak petani yang membuka lahan di kawasan hutan lindung atau tanah adat, yang sering kali memicu perselisihan dengan masyarakat adat maupun pemerintah setempat. Kurangnya regulasi yang jelas serta lemahnya pengawasan membuat masalah ini semakin sulit untuk diatasi. Selain itu, ketimpangan sosial di antara petani semakin terlihat. Petani yang memiliki akses terhadap modal dan teknologi pertanian modern cenderung mendapatkan keuntungan lebih besar, sementara petani kecil yang terbatas sumber dayanya acap tertinggal.
Dari sudut pandang ekonomi, budidaya jagung yang tidak terdiversifikasi menciptakan ketergantungan pada satu komoditas, yang membuat perekonomian daerah rentan terhadap perubahan pasar. Ketika harga jagung jatuh, petani tidak memiliki alternatif lain untuk menopang penghasilan mereka. Masalah ini semakin diperparah oleh kurangnya infrastruktur yang memadai, seperti jalan dan fasilitas penyimpanan, sehingga hasil panen sering kali sulit dipasarkan atau bahkan rusak sebelum sampai ke pasar.
Minimnya edukasi dan pendampingan bagi petani juga menjadi tantangan besar. Banyak petani yang masih mengandalkan metode pertanian tradisional yang kurang efisien dan cenderung merusak lingkungan. Akses terhadap informasi dan teknologi modern masih terbatas, sehingga sulit bagi petani untuk mengadopsi praktik pertanian yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Akibatnya, praktik-praktik yang merusak lingkungan terus berlanjut, sementara hasil panen tidak mengalami peningkatan yang signifikan.
Dampak-dampak negatif ini menunjukkan bahwa budidaya jagung perlu dikelola dengan baik untuk memastikan keberlanjutannya. Pemerintah, petani, dan berbagai pihak terkait harus bekerja sama untuk mengatasi masalah ini. Edukasi tentang praktik pertanian berkelanjutan, diversifikasi tanaman, serta pengelolaan lahan yang lebih bijak menjadi langkah penting yang harus segera diambil. Dengan pendekatan yang lebih holistik, dampak buruk dari budidaya jagung dapat diminimalkan, sehingga potensi ekonomi tetap dapat dimanfaatkan tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. (*Dosen Prodi Teknologi Pangan Universitas Mbojo Bima)