BERITAALTERNATIF.COM – Menurut Washington Institute for Near East Policy (ini adalah lembaga think tank dari organisasi lobi Zionis Israel, AIPAC; kepada AIPAC-lah para kandidat presiden AS biasa meminta ‘restu’ saat kampanye), cekungan Mediterania mengandung cadangan gas terbesar di dunia.
Suriah adalah satu-satunya negara produsen minyak dan gas di antara negara-negara pesisir Laut Mediterania. Gas adalah primadona energi abad ke-21 karena relatif bebas polusi dan harganya pun lebih murah.
Di saat yang sama, Eropa dan AS tengah dilanda krisis ekonomi, sehingga kontrol energi menjadi kunci utama bila mereka ingin bertahan sebagai penguasa dunia.
Selain itu, Suriah memiliki posisi yang sangat penting, karena jalur pipa gas dan minyak dari Timur Tengah ke Eropa harus melalui wilayahnya. Qatar adalah produsen gas terbesar ke-3 di dunia, sementara Arab Saudi merupakan produsen minyak terbesar dunia.
Keduanya berambisi menjadi penyalur utama migas ke Eropa dan untuk itu memerlukan pipa migas yang melewati Suriah.
“Sebagian besar pihak asing dalam Perang Suriah adalah negara-negara pengekspor gas dengan kepentingan pada salah satu dari dua jalur pipa gas yang akan melalui Suriah, baik dari Qatar atau dari Iran menuju Eropa,” tulis Profesor Mitchell Orenstein dari The Davis Center for Russian and Eurasian Studies di Harvard University.
Pada tahun 2009, Qatar mengajukan proposal proyek pembangunan pipa gas sejauh 1.500 mil kepada pemerintah Suriah. Jalur pipa itu akan mengular dari Qatar, Saudi, Yordania, Suriah, Turki, lalu melewati laut ke Eropa.
Saat ini, transportasi gas Qatar terbatas pada tanker Liquefied Natural Gas (LNG) yang sebagian besarnya dijual ke Asia dan secara terbatas dikapalkan ke Eropa atau melalui jalur gas Dolphin ke Uni Emirat Arab dan Oman.
Assad menolak proposal Qatar karena akan merugikan Rusia yang juga memasarkan produksi gasnya ke Eropa. Perusahaan gas Rusia, Gazprom, menjual 80 persen produknya ke Eropa.
Sejak 2010, Rusia telah memulai proses pembangunan jalur pipa gas alternatif Iran-Irak-Suriah yang akan mengalirkan gas dari kilang di Iran melalui Irak lalu Latakia (Suriah), dan melewati laut Mediterania.
Proyek ini akan membuat Rusia memegang kontrol atas penjualan gas dari Iran, kawasan laut Kaspia, dan Asia Tengah ke Eropa. Jalur pipa baru ini akan menghilangkan ketergantungan Rusia kepada Ukraina, negara yang dilalui jalur pipa gas dari Rusia ke Eropa. [Pada 2014, Presiden Ukraina yang pro-Rusia, Victor Yanukovich digulingkan melalui gerakan demo yang disponsori oleh para makelar perang yang sama seperti di Suriah.].
Pada bulan Juli 2011, proyek pembangunan pipa gas Iran-Irak-Suriah senilai $10 miliar dolar itu pun diumumkan dan sebuah perjanjian pendahuluan ditandatangani.
Sebelumnya, pada Maret 2011, seiring dengan gelombang Arab Spring (demo-demo di berbagai negara Arab, seperti Tunisia, Mesir, dll), sebagian kecil rakyat Suriah juga berdemo.
Pada Agustus 2011, AS, negara-negara sekutunya, dan PBB bersuara serempak: Assad harus mundur. Akhir Desember 2011, AS, Inggris, Perancis, dan Israel secara diam-diam memberikan bantuan kepada para ‘pemberontak’ Suriah demi terjadinya ‘peruntuhan dari dalam’.
The Memorandum of Understanding (MoU) untuk proyek pipa gas Iran-Irak-Suriah ditandatangani pada Juli 2012, bersamaan dengan masuknya invasi milisi bersenjata ke Damaskus dan Aleppo.
Pada bulan Februari 2013, Irak juga menandatangani kontrak pembangunan pipa gas tersebut, disusul kontrak Rusia-Suriah pada akhir 2013 untuk proyek eksplorasi gas di Mediterania timur, yang diperkirakan mengandung 122 triliun kubik kaki gas alam.
Sedemikian besarnya kekayaan yang diperebutkan di Suriah, sampai-sampai Barat bersekutu dengan Qatar dan Arab Saudi untuk menumbangkan Assad. Bila rezim Assad bisa diganti dengan pemerintahan pro-Barat, perusahaan AS seperti Halliburton akan leluasa membangun pipa migas di Suriah, untuk kemudian dipasarkan di Eropa oleh perusahaan AS seperti Exxon.
Di sini Turki juga berkepentingan. Jalur pipa migas yang diinginkan Qatar akan melewati Aleppo. Turki selama Perang Suriah memberikan dukungan kepada milisi-milisi bersenjata yang mengontrol Aleppo karena bila Turki memiliki kontrol atas Aleppo, kemungkinan dibangunnya pipa migas Qatar akan semakin besar, sehingga wilayah Turki akan menjadi ‘penghubung’ antara berbagai produsen migas dari Rusia, Asia Tengah, Kaspia, Mediterian timur, dan Timur Tengah.
Artinya, Turki akan semakin ‘lega’, tidak terlalu bergantung lagi pada suplai gas dari Rusia. Namun Rusia tidak tinggal diam.
Negeri Beruang Merah ini mengepung Turki dengan menduduki Krimea, mengirim pasukan ke Armenia, dan mengerahkan sistem pertahanan udara canggihnya S-400 ke Suriah.
Namun demikian, seperti sudah disinggung sebelumnya, agenda penggulingan Assad tidak direncanakan mendadak setelah penolakan Assad pada proposal Qatar tahun 2009.
Bahkan pada 1949, ketika Assad belum berkuasa, CIA sudah berencana menggulingkan pemerintah sekuler Suriah agar Saudi bisa memiliki jalur yang murah untuk mengalirkan minyaknya ke Eropa.
RAND Corporation, sebuah lembaga think tank yang dibiayai militer AS, pada 2008 menulis laporan bahwa ekonomi negara-negara industri sangat bergantung kepada minyak di Timur Tengah.
“Area yang terbukti menyimpan minyak merupakan basis kekuatan jaringan jihad-Salafi. Hal ini menciptakan kaitan antara suplai minyak dengan perang yang panjang yang tidak bisa diselesaikan dengan mudah, atau dijelaskan dengan mudah…. Di masa depan, pertumbuhan produksi minyak dunia dan total produksi akan didominasi oleh sumber-sumber di Teluk Persia…. Karenanya, kawasan itu harus menjadi prioritas strategis dan prioritas ini akan terkait kuat dengan pelaksanaan perang yang panjang,” tulis RAND Corporation.
Dengan kata lain: RAND merekomendasikan bahwa agar AS bisa menguasai minyak di Timur Tengah, perlu terjadi perang yang panjang. RAND juga merekomendasikan caranya, yaitu: pecah-belah di antara sesama kelompok jihad-Salafi sehingga mereka kehabisan energi karena konflik internasional.
Usulan RAND lainnya, yang persis tengah terjadi di Suriah, “Pemimpin AS juga bisa memilih untuk memanfaatkan ‘konflik abadi Syiah-Sunni’ dengan berpihak pada rezim Sunni konservatif melawan gerakan pemberdayaan Syiah di dunia Muslim… mungkin mendukung pemerintahan Sunni yang otoritatif melawan Iran yang selalu bermusuhan.”
Lalu, apa hubungan migas dengan Israel? Jawabannya bisa didapatkan dengan menjawab soal ini: ‘siapa pemilik saham perusahaan-perusahaan migas terbesar di dunia (Big Oil)’? Tak lain, pengusaha-pengusaha pro-Zionis. Dan karena mahalnya biaya demokrasi di AS, para kandidat presiden menerima bantuan dari Big Oil untuk kemudian kebijakan yang diambil juga menguntungkan Big Oil.
Menurut Center for Responsive Politics, Obama menerima sumbangan sebesar 213.000 dolar dari Big Oil. Hillary mendapatkan lebih banyak lagi, sekitar 300.000 dolar, sementara John McCain 1,3 juta dolar.
Big Oil tidak hanya mengucurkan uang untuk para kandidat presiden, tetapi juga kepada para kandidat dan anggota Kongres (parlemen) AS.
Tak heran bila para kandidat presiden AS biasanya berpidato di depan organisasi-organisasi lobi Yahudi di AS untuk meminta dukungan, dengan janji ‘akan menjaga keamanan Israel, karena AS dan Israel memiliki kepentingan yang sama’. (Sumber: Dina Sulaeman dalam buku Salju di Aleppo)