Oleh: Dr. Dina Sulaeman*
Di tanggal 17 Agustus 2023 ini, saya membaca buku berjudul “Demi Republik: Perjuangan Kapten Harun Kabir 1942-1947.” Buku ini membuat saya sangat terharu. Buku ini bercerita tentang seorang tokoh pejuang yang namanya mungkin tak banyak dikenal, yaitu Harun Kabir. Sebelum baca buku karya sejarawan Hendi Jo ini, saya belum mendengar namanya.
Latar belakang singkatnya begini, pada tanggal 17 Agustus 1945, Sukarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Saat itu, di Bogor, serdadu Jepang masih berkuasa dan berupaya mempertahankan status quo. Di Bogor berdirilah laskar-laskar pemuda yang berupaya mengambil alih berbagai institusi/lembaga yang masih dikuasai Jepang.
Di antaranya, berdiri Lasjkar Rakjat Tjiwaringin 33, disingkat LR 33, pada September 1945. LR33 diinisiasi tokoh bernama Harun Kabir, di rumahnya yang berada di Jalan Ciwaringin 33 Bogor. Istrinya, Soekrati, memimpin Palang Merah Indonesia cabang Bogor, juga di rumah itu.
Lalu, pada tanggal 19 September 1945 terjadi demo besar-besaran di Lapangan Ikada (saat ini menjadi kawasan Monas) untuk menunjukkan dukungan pada proklamasi kemerdekaan dan pemimpin Indonesia, Sukarno-Hatta. Para demonstran datang dari berbagai daerah, delegasi LR33 juga bergabung.
Besoknya, tentara Jepang bergerak menangkapi tokoh-tokoh pemuda yang menggalang aksi demo itu, termasuk juga berniat menangkap Bung Karno (BK). BK sekeluarga kemudian mengungsi ke Bogor, lalu anak BK (Guntur), dan ortu bu Fatmawati (Hasan Din & Ibu Siti Chadijah) dititipkan di rumah Harun Kabir (BK sudah kenal lama dengan Harun). Di rumah Harun saat itu juga sedang ada Tan Malaka, yang juga mengungsi di rumah itu. BK dan Tan Malaka sempat berdiskusi di sana.
Di bulan September itu juga, yaitu tanggal 15 September 1945, kapal perang Inggris beserta ribuan serdadunya mendarat di Tanjung Priok. Tujuan utamanya adalah membantu Belanda untuk kembali menguasai Indonesia. Selanjutnya terjadi kerusuhan-kerusuhan, di mana laskar-laskar rakyat ada yang menyerang orang-orang Eropa, Minahasa, Maluku, Tionghoa, dan Indo (yang dianggap pro-Belanda); lalu serdadu Inggris dan Belanda melakukan serangan balasan.
Di Bogor juga terjadi kerusuhan serupa. Orang-orang yang dianggap pro-Belanda ditangkapi dan diperlakukan tidak manusiawi. Harun Kabir menolak sikap demikian dan mengatakan bahwa “Kita berjuang bukan demi kepentingan kita saja, tetapi juga demi kemanusiaan.” Bahkan rumahnya di Jalan Ciwaringin ia buka untuk menampung dan menyelamatkan orang-orang yang dianggap antek Belanda itu.
Tapi, watak dasar penjajah Eropa memang bengis, brutal, dan tidak kenal kemanusiaan. Seluruh jenis kejahatan sudah khatam mereka lakukan, di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Tentara Inggris pun datang ke Bogor, hendak menangkapi “kaum Republik”, termasuk LR 33. Padahal, justru LR 33 yang membantu orang-orang Eropa yang mengungsi. Harun Kabir dan keluarganya pun pergi mengungsi, dan rumah di Jalan Ciwaringin 33 itu ditinggalkan, dihuni oleh para pengungsi.
Guntur dan ortu Ibu Fatmawati juga ikut mengungsi bersama Harun Kabir, keluarganya, dan LR 33, tapi di suatu tempat mereka dijemput oleh utusan BK.
Harun Kabir lanjut ke Sukabumi. Di sana, Harun Kabir dan pasukan LR 33 bergabung dengan Resimen III Tentara Keamanan Rakjat (TKR) yang baru dibentuk Oktober 1945.
TKR kemudian berperang melawan Belanda yang ingin menguasai lagi wilayah-wilayah yang penting bagi mereka, antara lain Sukabumi yang punya perkebunan teh, kopi, dan karet terbesar di Asia Tenggara, yaitu Perkebunan Cipetir.
Sementara TKR berjuang, Ibu Soekrati, istri Harun Kabir, yang tinggal di pengungsian, tidak tinggal diam. Ia bersama ibu-ibu lainnya membuat dapur umum untuk menyediakan makan bagi para prajurit.
Singkat cerita, serdadu Belanda secara khusus mengejar Harun Kabir karena ia dianggap sebagai tokoh Republik yang sangat berbahaya. Dengan keji, serdadu Belanda menembaknya, hingga nyaris terpisah antara kepala dan dadanya. Padahal saat itu Harun (dan dua pengawalnya) sudah dalam keadaan menyerah dan tangannya sudah diikat. Dan yang lebih sadis lagi, eksekusi dilakukan tentara Belanda itu di depan istri dan 3 anak perempuan Harun.
Kata-kata terakhir yang terdengar dari mulut Harun Kabir (diceritakan oleh anaknya), adalah: “Merdeka!”
Sungguh, setelah membaca buku ini, saya jadi miris, ingat betapa beratnya perjuangan meraih dan mempertahankan kemerdekaan. Tapi, betapa banyaknya orang jahat hari ini yang korupsi, merampok, merusak, mengadu domba, intoleran, menebar ideologi kebencian dan teror, dll. Semua kejahatan itu menghambat tercapainya cita-cita kemerdekaan yang sejati. Benar juga kata Bung Karno dulu, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.” (*Tokoh Perempuan Indonesia)
Disclaimer: Sudah tentu, tulisan singkat ini jauh berbeda kualitasnya dengan bukunya, yang ditulis dengan didasari riset yang teliti, dan memaparkan berbagai kisah detil dengan cara yang sangat enak dibaca.