BERITAALTERNATIF.COM – Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah menilai surplus neraca perdagangan Indonesia beberapa tahun terakhir belum optimal menyumbang devisa negara.
Padahal, sepanjang 2022 kinerja ekspor Indonesia berhasil membukukan kinerja yang moncer, ditopang kenaikan berbagai harga komoditas.
“Harusnya surplus perdagangan internasional ini menyumbang devisa yang dicatatkan oleh Bank Indonesia,” ujarnya melalui keterangan resmi, Kamis (16/2/2023).
Dia kemudian memaparkan, secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari sampai Desember 2022 mencapai US$ 291,98 miliar atau naik 26,07 persen dibanding 2021. Kinerja ini pun meneguhkan posisi neraca perdagangan Indonesia, bahkan hingga surplus 33 bulan bila dihitung sampai Januari 2023.
Neraca perdagangan Indonesia pada 2022 mencatatkan surplus tertinggi dalam sejarah, yakni sebesar US$ 54,46 miliar. Tren ini kembali berlanjut pada Januari 2023, dengan surplus US$ 3,87 miliar.
Akan tetapi, pada Desember 2022, posisi Cadangan Devisa (Cadev) mencapai US$ 137,2 miliar. Bila dibandingkan dengan posisi Januari 2023, Cadev hanya sedikit meningkat US$ 2,2 miliar ke posisi US$ 139,4 miliar.
“Dengan menggunakan basis komparasi di atas, tampak perbedaan jumlah surplus perdagangan dengan posisi Cadev. Posisi Cadev tampak lebih rendah dengan yang didapat dari neraca perdagangan,” jelas Said.
Menurutnya, jika ditambahkan besaran penarikan pembiayaan, baik dari SBN maupun pinjaman luar negeri, harusnya posisi Cadev lebih besar dari nilai surplus neraca perdagangan.
Dia pun menilai situasi ini menggambarkan surplus neraca perdagangan tidak menjelma menjadi kue ekonomi yang nyata di dalam negeri. Bahkan, problem ini terus menghantui Indonesia berulang kali.
Maka dari itu, Anggota DPR Asal Sumenep tersebut meminta pemerintah untuk betul-betul mengawasi penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam, dan Peraturan BI sebelumnya tentang DHE melalui PBI No 24/18/PBI/2022 tentang DHE dan Devisa Pembayaran Impor.
Kedua belied tersebut sejatinya mewajibkan pelaku ekspor Sumber Daya Alam (SDA) yang menerima DHE untuk menempatkan dananya ke Rekening Khusus (Reksus), paling lambat akhir bulan ketiga setelah bulan pendaftaran pemberitahuan pabean ekspor.
“Peraturan ini juga mewajibkan eksportir untuk memindahkan escrow account, jika terlanjur membuat escrow account di luar negeri, dengan diberikan tenggat waktu paling lama 90 hari sejak 10 Januari 2019,” papar politisi PDIP ini.
Melihat permasalahan tersebut, Said pun menilai kedua peraturan yang telah dikeluarkan pemerintah belum berjalan dengan efektif. Oleh karena itu, dia pun meminta pemerintah dapat melakukan perbaikan dengan segera.
Pertama, pengaturan terkait DHE SDA tidak cukup sekedar dicatatkan, dan penggunaannya diawasi untuk kebutuhan transaksi perdagangan internasional. Terlebih, Bank Indonesia tidak mengategorikan hal tersebut sebagai Dana Pihak Ketiga (DPK).
Menurutnya, jika pengaturannya seperti ini, maka ekonomi dalam negeri tidak mendapatkan manfaat optimal atas penempatan DHE di perbankan nasional. Negara hanya mendapatkan penerimaan perpajakan atas bunga DHE di Reksus.
“Ada baiknya Bank Indonesia tidak meletakkan DHE SDA sebagai ‘lahan parkir’ istimewa yang tidak memberi manfaat banyak bagi keuangan domestik,” imbau dia.
Agar manfaat finansial dan tanggung jawab perbankan lebih mengikat, ia menambahkan, ada baiknya DHE SDA yang berada di Reksus dihitung sebagai acuan. Sehingga dapat digunakan untuk menilai GWM, dan rasio intermediasi prudensial dari bank penerima.
Kedua, pembayaran yang diterima oleh eksportir dalam bentuk DHE seharusnya dicatatkan sebagai pendapatan usaha oleh perusahaan eksportir.
Hal ini dilakukan untuk membuka peluang bagi pemerintah dan Bank Indonesia guna mendorong DHE SDA menjadi alternatif sumber investasi dalam negeri, terutama terhadap sektor prioritas yang menjadi perhatian pemerintah.
“Jika pemerintah bisa memberikan penawaran yang menarik, khususnya peluang-peluang investasi baru yang menjanjikan, dan imbal hasil menarik, seharusnya pemilik DHE SDA tertarik untuk terlibat dalam penawaran tersebut,” urai Said.
Maka dari itu, dia menekankan, pemerintah sebaiknya membuka menu investasi yang menarik buat mereka. Salah satu contohnya adalah penawaran pada skema repatriasi modal saat tax amnesty beberapa waktu lalu.
Ketiga, pemerintah juga perlu mengatur lebih lanjut terhadap DHE Non-SDA, seperti halnya pemerintah mengatur DHE SDA.
“Memang benar hasil DHE Non-SDA tidak sebesar SDA. Ke depan, bisa jadi hasil DHE Non SDA ini bisa melampaui DHE dari SDA, mengingat tidak semua hasil SDA bisa diperbaharui,” sebutnya.
Dalam tujuh tahun terakhir, Said membeberkan, remitansi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) per tahun minimal US$ 8,69 miliar per tahun. Capaian tertinggi kiriman remitansi TKI pada 2019, mencapai US$ 11,44 miliar, atau lebih dari Rp 160 triliun.
“Tentunya, devisa yang dihasilkan TKI akan semakin besar sumbangannya, bila mampu merambah sektor yang skillfull dan hightech. Sektor ini perlu dipikirkan oleh pemerintah, karena banyak sekali devisa dari TKI selama ini tertelan untuk kebutuhan konsumsi,” terangnya.
Dia pun berharap pemerintah mampu mengorkestrasi berbagai perkumpulan TKI untuk masuk, melakukan investasi pada sektor produktif yang menjanjikan imbal hasil yang logis, legal, dan berkelanjutan.
Menurutnya, langkah ini menguntungkan semua pihak. Selain TKI, dunia digital dan sektor kreatif juga dapat tumbuh menjadi prospek masa depan devisa Indonesia.
Dalam kacamata Said, kekayaan kreatif Indonesia juga belum optimal digarap untuk menghasilkan devisa. Selama ini, tumpuan Indonesia masih pada sektor pariwisata saja.
Padahal kekayaan seni dan arsitektural, serta hak kekayaan intelektual bangsa, sangat menjanjikan untuk menghasilkan devisa.
“Meskipun bukan yang terdepan, sektor jasa teknologi informasi dalam bentuk web design, animasi, desain grafis, dari tangan-tangan kreatif Indonesia telah diminati oleh berbagai perusahaan internasional,” pungkasnya. (*)
Sumber: CNN Indonesia