Search
Search
Close this search box.

Dialektika Asyura

Ilustrasi. (Istimewa)
Listen to this article

Oleh: Dr. Muhsin Labib*

10 Muharram yang juga dikenal dengan Asyura adalah sebuah drama nyata yang menghadirkan dua peran sentral: peran protagonis yang merupakan perhimpunan nilai-nilai keluhuran yang diperagakan oleh Al-Husain putra Ali dan peran antagonis yang dimainkan secara “sempurna” oleh sosok Yazid yang merupakan saripati dari nilai-nilai kebiadaban.

Seni kematian indah yang diperagakan al-Husain di panggung sejarah mengandung spektrum nilai yang sangat paripurna. Al-Husain telah merelakan dirinya menjadi tumbal bagi kejayaan Islam dan kemanusiaan. Pengorbanan heroik Al-Husain bukan hanya sebuah museum sejarah atau objek ratapan semata.

Advertisements

Pesan pengorbanan al-Husain di Karbala selayaknya menjadi bahan renungan kita bersama. Ketika umat manusia yang mengalami erosi moral, kehilangan cinta kasih dan nilai-nilai spiritual, pesan pengorbanan al-Husain dapat menjadi penawar dahaga bagi mereka yang merindukan kemerdekaan jiwa kemanusiaannya.

Al-Husain dengan segala kebesarannya rela hidup menderita melawan tiran sangat otoriter ketika para putra pejabat dan mantan pejabat seusianya hidup dalam gemerlap kemewahan. Al-Husain memperkenalkan “seni mati terhormat”.

Karena itulah, kita perlu melakukan instrospeksi sembari merekonstruksi perjuangan dan pengorbanan al-Husain, serta menyampaikan belasungkawa yang sedalam-dalamnya kepada Nabi Muhammad, kepada umat Islam dan kepada para pejuang kemanusiaan.

Sudah selayaknya kita memperluas pandangan sebagian kita tentang 10 Muharram dan perjuangan al-Husain agar dapat dijadikan sebagai inspirasi dan “alat analisa” yang senantiasa relevan dalam setiap konteks dan zaman. Peristiwa 10 Muharram tidak hanya mengajarkan betapa besar pengorbanan al-Husain, tapi juga menohok kita untuk merenungkan kegigihan kaum perempuan yang diperlakukan sebagai tawanan dan hamba sahaya dan kesetiaan para sahabatnya yang merupakan komunitas yang marginal secara sosial dan politik.

Dalam karavan al-Husain ada pasangan budak yang menunda bulan madu karena bergabung dengan al-Husain yang kebetulan berpapasan dengan mereka. Dalam kafilah al-Husain ada sahabat Nabi yang sangat renta bernama Anas bin Kahil yang tubuhnya hancur karena dicincang. Ada mantan budak Abu Zar yang dikenal pemberani yang melepas baju baja karena ingin segera berenang di telaga syahadah. Ada Sukainah yang menjerit kesakitan karena anting di telinganya dicerabut. Ada bayi yang memerah karena dihunjam panah. Ada mantan panglima musuh yang tulus dan berani. Ada dahaga. Ada tenda yang hangus terbakar. Ada lengan seorang jawara yang terputus bersama girbah. Ada pendeta Nasrani yang sesenggukan melihat tombak berujung kepala al-Husain. Ada yang dengan perlahan melucuti urat leher seorang lawan yang sudah setengah pingsan akibat luka di sekujur tubuh. Ada yang memotong jari al-Husain demi mengambil cincin.

Di panggung Karbala, semua nilai ditawarkan, nilai acak dan rapi, kebiadaban dan keluhuran. Yazid, Syimr, Ubaidillah, Umar bin Sa’ad dan gerombolannya telah memainkan peran dengan sempurna. Al-Husain, Muslim bin Aqil, Hani bin Urwah, Habib bin Madhahir, al-Hur ar-Riyahi telah memainkan peran dengan sempurna. Bagaimana dengan kita? Tragedi Asyura tentu tidak hanya untuk diratapi, namun juga untuk diresapi. Asyura tidak hanya hitam tapi juga merah. Ada duka dan ada marah.

Tragedi terbesar dalam sejarah umat Islam dan kemanusiaan itu tidak semestinya diperlakukan hanya sebagai sebuah fakta historis semata yang melulu menjadi tema diskusi klasik dan objek ratapan semata, apalagi diabaikan dan dicemooh karena dianggap menghidupkan dendam.

Al-Husain menyambut syahadah itu dengan hati berbunga dan mata berbinar, sebagaimana sesumbarnya, “Jika kematianku adalah tumbal dan syarat bagi tegaknya agama Muhammad, maka, hai pedang-pedang, ambillah aku!”

Yang perlu untuk diratapi adalah kebenaran dan keadilan yang menjadi tujuan pengorbanan dan prinsip al-Husain. Teriakan al-Husain “Tidakkah kalian lihat kebenaran telah diabaikan dan kepalsuan tidak lagi dicegah!!” itulah yang membuat kita larut dalam duka dan gelora sebagai bekal energi melawan lusinan Yazid yang terus mengalami up-date seiring putaran daur waktu. Karbala Asyura kapan dan di mana pun! (*Cendekiawan Muslim)

Advertisements

Kunjungi Berita Alternatif di :

Bagikan

Advertisements

BERITA TERKAIT