BERITAALTERNATIF.COM – Malaysia adalah sebuah negara federal yang terdiri dari tiga belas negeri (negara bagian) dan tiga wilayah federal di Asia Tenggara dengan luas 330.803 km persegi. Ibu kotanya adalah Kuala Lumpur, sedangkan Putrajaya menjadi pusat pemerintahan federal. Jumlah penduduk negara ini mencapai 32.730.000 jiwa pada tahun 2020.
Negara ini dipisahkan ke dalam dua kawasan—Semenanjung Malaysia dan Malaysia Timur—oleh Kepulauan Natuna, wilayah Indonesia di Laut Tiongkok Selatan. Malaysia berbatasan dengan Thailand, Indonesia, Singapura, Brunei, dan Filipina. Negara ini terletak di dekat khatulistiwa dan beriklim tropika.
Kepala negara Malaysia adalah seorang Raja atau seorang Sultan yang dipilih secara bergiliran setiap 5 tahun sekali dari antara raja negara-negara bagian yang diperintah. Raja Malaysia biasanya memakai gelar Sri Paduka Baginda Yang di-Pertuan Agong dan pemerintahannya dikepalai oleh seorang Perdana Menteri. Model pemerintahan Malaysia mirip dengan sistem parlementer Westminster.
Malaysia sebagai negara federal tidak pernah ada sampai tahun 1963. Sebelumnya, sekumpulan koloni didirikan oleh Britania Raya pada akhir abad ke-18, dan bagian barat Malaysia modern terdiri dari beberapa kerajaan yang terpisah-pisah. Kumpulan wilayah jajahan itu dikenal sebagai Malaya Britania hingga pembubarannya pada 1946, ketika kumpulan itu disusun kembali sebagai Uni Malaya.
Seiring dengan semakin meluasnya tentangan, kumpulan itu lagi-lagi disusun kembali sebagai Federasi Malaya pada tahun 1948 dan kemudian meraih kemerdekaan pada 31 Agustus 1957.
Pada 16 September 1963, sesuai dengan Resolusi Majelis Umum PBB 1514, dalam proses dekolonialisasi, Singapura, Sarawak, Borneo Utara atau yang sekarang lebih dikenal sebagai Sabah berubah menjadi negara bagian dari federasi bentukan baru yang bernama Malaysia termasuk dengan Federasi Malaya.
Singapura kemudian dikeluarkan dari Malaysia pada 9 Agustus 1965 dan menjadi negara merdeka yang bernama Republik Singapura. Saat tahun-tahun awal pembentukan federasi baru, terdapat pula tentangan dari Filipina dan konflik militer dengan Indonesia.
Bangsa-bangsa di Asia Tenggara mengalami ledakan ekonomi dan menjalani perkembangan yang cepat di penghujung abad ke-20. Pertumbuhan yang cepat pada dasawarsa 1980-an dan 1990-an, rata-rata 8% dari tahun 1991 hingga 1997, telah mengubah Malaysia menjadi negara industri baru.
Perdagangan internasional berperan penting di dalam ekonominya karena Malaysia adalah salah satu dari tiga negara yang menguasai Selat Malaka.
Pada suatu ketika, Malaysia pernah menjadi penghasil timah, karet dan minyak kelapa sawit di dunia.
Industri manufaktur memiliki pengaruh besar bagi ekonomi negara ini. Malaysia juga dipandang sebagai salah satu dari 18 negara berkeanekaragaman hayati terbesar di dunia.
Bangsa Melayu menjadi bagian terbesar dari populasi Malaysia. Terdapat pula etnis (“ras”) Tionghoa Malaysia dan India Malaysia yang cukup besar. Bahasa Melayu dan Islam masing-masing menjadi bahasa dan agama resmi negara.
Malaysia adalah anggota perintis ASEAN dan turut serta di berbagai organisasi internasional, seperti PBB. Sebagai bekas jajahan Inggris, Malaysia juga menjadi anggota Negara-Negara Persemakmuran. Malaysia juga menjadi anggota D-8 (Developing-8), yakni sebuah kesepakatan untuk kerja sama pembangunan delapan negara anggotanya: Bangladesh, Indonesia, Iran, Malaysia, Mesir, Nigeria, Pakistan, dan Turki.
Sejarah Awal
Semenanjung Malaya berkembang sebagai pusat perdagangan utama di Asia Tenggara karena pertumbuhan perdagangan antara Tiongkok dan India dan negara lainnya melalui Selat Malaka yang ramai.
Claudius Ptolemaeus menunjukkan Semenanjung Malaya pada peta dininya, “Golden Chersonese” dengan Selat Malaka ditulis sebagai “Sinus Sabaricus“. Dari pertengahan hingga akhir milenium pertama, sebagian besar semenanjung, termasuk Nusantara, berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
Kerajaan Melayu yang paling awal tercatat dalam sejarah mulai bertumbuh dari kota pelabuhan tepi pantai yang mulai dihuni pada abad ke-10. Di antara kerajaan-kerajaan ini termasuk Langkasuka dan Lembah Bujang di Kedah, dan juga Beruas dan Gangga Negara di Perak dan Pan Pan di Kelantan. Diperkirakan semuanya adalah kerajaan Hindu atau Buddha. Islam tiba pada abad ke-14 di Terengganu.
Terdapat banyak kerajaan Tiongkok dan India pada abad ke-2 dan ke-3 M—sebanyak 30 buah menurut sumber Tiongkok. Kedah—yang dikenal sebagai Kedaram, Cheh-Cha (menurut I-Ching), atau Kataha di dalam tulisan Palawa atau bahasa Sanskerta kuno—berada di jalur keramaian pedagang dan raja India.
Rajendra Chola, seorang kaisar Tamil kuno yang diduga berada di sekitar Kota Gelanggi, menaklukkan Kedah pada 1025, tetapi penerusnya, Vira Rajendra Chola, harus melumpuhkan pemberontakan Kedah untuk mengatasi para penyerbu.
Kedatangan Chola berhasil meredam keagungan Sriwijaya, yang memberi pengaruh besar kepada Kedah dan Pattani bahkan sampai ke Ligor.
Kerajaan Buddhis Ligor segera kembali mengendalikan Kedah. Rajanya, Chandrabhanu, menggunakan tempat ini sebagai basis untuk menyerang Sri Lanka pada abad ke-11, sebuah peristiwa yang dipahat di atas prasasti batu di Nagapattinum di Tamil Nadu dan di dalam kisah-kisah bangsa Sri Lanka, Mahavamsa.
Selama milenium pertama, masyarakat di Semenanjung Malaya beragama Hindu dan Buddha dan berbahasa Sanskerta, hingga mereka beralih kepada Islam.
Ada beberapa laporan dari wilayah lain yang lebih tua dari Kedah—misalnya kerajaan kuno Gangga Negara, di sekitar Beruas di Perak, mendorong sejarah Malaysia lebih jauh ke belakang. Jika itu belum cukup, sebuah puisi Tamil, Pattinapillai, dari abad ke-2 M, menjelaskan barang-barang dari Kadaram menumpuk di jalanan ibu kota Chola.
Sebuah drama sanskerta dari abad ke-7, Kaumudhimahotsva, merujuk Kedah sebagai Kataha-nagari. Agnipurana juga menyebutkan sebuah daerah yang dikenal Anda-Kataha dengan salah satu batasnya menggambarkan sebuah puncak gunung, yang diyakini para sarjana sebagai Gunung Jerai. Kisah-kisah dari Katasaritasagaram menjelaskan kemewahan hidup di Kataha.
Pada permulaan abad ke-15, Kesultanan Melaka didirikan di bawah sebuah dinasti yang didirikan oleh Parameswara, pangeran dari Palembang, Indonesia, di dalam kerajaan Sriwijaya. Penaklukan memaksa dia dan pendukungnya melarikan diri dari Palembang.
Untuk menghindari penganiayaan, Parameswara berlayar ke Temasek demi mendapatkan perlindungan Temagi, seorang penghulu Melayu dari Pattani yang ditunjuk oleh Raja Siam sebagai bupati Temasek.
Beberapa hari kemudian, Parameswara membunuh Temagi dan mengangkat dirinya sendiri sebagai bupati. Kira-kira lima tahun kemudian, dia meninggalkan Temasek karena ancaman dari Siam. Selama periode ini, Temasek juga diserang oleh serombongan armada Jawa dari Majapahit.
Dia kemudian memimpin ke utara untuk mendirikan permukiman baru. Di Muar, Parameswara berkehendak mendirikan kerajaan barunya di Biawak Busuk atau di Kota Buruk. Mengetahui lokasi Muar tidaklah cocok, dia meneruskan perjalanannya ke utara.
Di sepanjang jalan, dia mengunjungi Sening Ujong (nama lama untuk Sungai Ujong modern) sebelum sampai di sebuah perkampungan nelayan di bibir Sungai Bertam (nama lama untuk Sungai Melaka modern). Tempat itu lambat laun berkembang menjadi lokasi Melaka masa kini.
Menurut Sejarah Melayu, di situlah dia menyaksikan kancil mengelabui anjing ketika berteduh di bawah pohon Melaka. Dia mengambil apa yang dilihatnya sebagai pertanda yang baik dan kemudian dia mendirikan sebuah kerajaan yang disebut Melaka, kemudian dia membangun dan memperbaiki fasilitas untuk tujuan perdagangan.
Peralihan agama Parameswara ke Islam tidaklah jelas. Sabri Zain mengemukakan, Parameswara menjadi seorang Muslim ketika dia menikahi seorang Puteri Samudera Pasai dan menyertakan gelar bergaya Persia “Syah”, dengan menyebut dirinya Iskandar Syah.
Juga ada referensi yang menunjukkan bahwa beberapa anggota kelas penguasa dan komunitas saudagar yang menetap di Melaka telah menjadi Muslim.
Kisah-kisah Tiongkok menyebutkan bahwa pada 1414, putra penguasa pertama Melaka mengunjungi Ming untuk mengabari mereka bahwa ayahnya telah wafat.
Putra Parameswara diakui secara resmi sebagai penguasa kedua Melaka oleh Kaisar Tiongkok dan bergelar Raja Sri Rama Vikrama, Raja Parameswara dari Temasik dan Melaka dan dia dikenal sebagai tokoh Muslim Sultan Sri Iskandar Zulkarnain Syah atau Sultan Megat Iskandar Syah, dan dia menguasai Melaka dari 1414 sampai 1424.
Kerajaan ini menguasai wilayah yang sekarang ini disebut Semenanjung Malaya, selatan Thailand—Pattani, dan pantai timur Sumatra. Kerajaan ini berlangsung selama lebih dari satu abad, dan dalam periode tersebut menyebarkan Islam ke seluruh Nusantara.
Melaka, sebagai pelabuhan perdagangan penting, terletak hampir di tengah-tengah rute perdagangan Tiongkok dan India.
Pada 1511, Melaka ditaklukkan oleh Portugal, yang mendirikan sebuah koloni di sana, maka berakhirlah Kesultanan Melaka. Tetapi, Sultan terakhir melarikan diri ke Kampar, Riau, Sumatra dan meninggal di sana.
Putra-putra Sultan Melaka terakhir mendirikan dua kesultanan di tempat lain di semenanjung dan Kesultanan Perak di utara, dan Kesultanan Johor (mulanya kelanjutan kesultanan Melaka kuno) di selatan.
Setelah jatuhnya Melaka, tiga negara berjuang menguasai Selat Malaka: Portugis (di Melaka), Kesultanan Johor, dan Kesultanan Aceh. Konflik ini berlangsung sampai tahun 1641, ketika Belanda (bersekutu dengan Kesultanan Johor) untuk merebut Melaka.
Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kesultanan Melaka tua, tetapi sekarang dikenal dengan nama Kesultanan Johor, yang masih ada sampai sekarang. Setelah jatuhnya Melaka, tiga negara berebut untuk mengambil kontrol Selat Malaka: Portugis (di Melaka), Kesultanan Johor, dan Kesultanan Aceh; dan peperangan berakhir pada 1641, ketika Belanda (bersekutu dengan Kesultanan Johor) merebut Melaka.
Mendaratnya Britania
Britania Raya mendirikan koloni pertamanya di Semenanjung Malaya pada 1786, dengan penyewaan pulau Pinang kepada Perusahaan Hindia Timur Britania oleh Sultan Kedah. Pada 1824, Britania Raya menguasai Melaka setelah ditandatanganinya Traktat London atau Perjanjian Britania-Belanda 1824 yang membagi kepemilikan Nusantara kepada Britania dan Belanda, Malaya untuk Britania, dan Indonesia untuk Belanda.
Pada 1826, Britania mendirikan Koloni Mahkota di Negeri-Negeri Selat, menyatukan kepemilikannya di Malaya: Pulau Pinang, Melaka, Singapura, dan pulau Labuan.
Pulau Pinang yang didirikan pada 1786 oleh Kapten Francis Light sebagai pos komersial yang dianugerahkan oleh Sultan Kedah. Negeri-Negeri Selat pada awal mulanya diurus di bawah British East India Company di Kalkuta, sebelum Pulau Pinang, dan kemudian Singapura menjadi pusat pengurusan koloni mahkota, hingga 1867, ketika tanggung jawab pengurusan dialihkan kepada Kantor Kolonial di London.
Selama abad ke-19, banyak negeri Melayu berupaya untuk mendapatkan bantuan Britania untuk menyelesaikan konflik-konflik internal mereka. Kepentingan komersial pertambangan timah di negeri-negeri Melayu bagi para saudagar di Negeri-Negeri Selat membuat pemerintah Britania melakukan campur tangan di dalam negeri-negeri penghasil timah di Semenanjung Malaya.
Diplomasi Kapal Meriam Britania ditugaskan demi mewujudkan resolusi perdamaian terhadap kekacauan sipil yang disebabkan oleh bandit Tiongkok dan Melayu. Pada akhirnya Perjanjian Pangkor 1874 menjadi jalan untuk memperluas pengaruh Britania di Malaya.
Memasuki abad ke-20, negeri Pahang, Selangor, Perak, dan Negeri Sembilan yang dikenal sebagai Negeri-negeri Melayu Bersekutu (berbeda dengan Federasi Malaya), di bawah kendali de facto residen Britania diangkat untuk menasihati para penguasa Melayu. Orang Britania menjadi “penasihat” di atas kertas, tetapi sebenarnya, mereka menjalankan pengaruh penting di atas para penguasa Melayu.
Lima negeri lainnya di semenanjung, dikenal sebagai Negeri-Negeri Melayu Bersekutu, tidak diperintah langsung dari London, juga menerima para penasihat Britania di akhir abad ke-20.
Empat dari lima negeri itu: Perlis, Kedah, Kelantan, dan Terengganu sebelumnya dikuasai Siam. Negeri yang tidak bersekutu lainnya, Johor, satu-satunya negeri yang memelihara kemerdekaannya di sebagian besar abad ke-19.
Sultan Abu Bakar dari Johor dan Ratu Victoria kenalan pribadi, dan mengakui satu sama lain sederajat. Hal ini tidak pernah terjadi hingga 1914 ketika pengganti Sultan Abu Bakar, Sultan Ibrahim menerima seorang penasihat Britania.
Di pulau Borneo, Sabah diperintah sebagai koloni mahkota Borneo Utara, sedangkan Sarawak diperoleh dari Brunei sebagai kerajaan pribadi keluarga Brooke, yang berkuasa sebagai Raja Putih.
Mengikuti invasi Jepang ke Malaya dan pendudukan beruntunnya selama Perang Dunia II, dukungan rakyat untuk kemerdekaan tumbuh. Pasca-perang, Britania berencana menyatukan pengelolaan Malaya di bawah koloni mahkota tunggal yang disebut Uni Malaya didirikan dengan mendapat tentangan keras dari Suku Melayu, yang melawan upaya pelemahan penguasa Melayu dan mengizinkan kewarganegaraan ganda kepada Tionghoa-Malaysia dan kaum imigran lainnya.
Uni Malaya, didirikan pada 1946 dan terdiri dari semua kepemilikan Britania di Malaya, kecuali Singapura, dibubarkan pada 1948 dan diganti oleh Federasi Malaya, yang mengembalikan pemerintahan sendiri para penguasa negeri-negeri Malaya di bawah perlindungan Britania.
Selama masa itu, pemberontakan di bawah kepemimpinan Partai Komunis Malaya melaksanakan operasi gerilya yang direncanakan untuk mengusir Britania dari Malaya dan peristiwa itu dikenal dengan Darurat Malaya yang berlangsung sejak 1948 hingga 1960, dan melibatkan kampanye anti-kekacauan oleh serdadu Persemakmuran di Malaya.
Meskipun kekacauan dapat dengan cepat diatasi tetapi masih saja menyisakan kehadiran serdadu persemakmuran, dengan latar belakang Perang Dingin. Melawan latar belakang ini, kemerdekaan untuk Federasi di dalam Persemakmuran diberikan pada 31 Agustus 1957.
Setelah Kemerdekaan
Kemerdekaan Malaya, Pulau Pinang dan Melaka dicapai pada 31 Agustus 1957 dengan nama Federasi Malaya. Singapura masih berada di bawah kekuasaan Britania Raya pada saat itu karena letaknya yang strategis.
Pada 16 September 1963, Federasi Malaya bersama-sama dengan koloni mahkota Britania, yaitu Sabah (Borneo Utara), Sarawak, dan Singapura, membentuk Malaysia.
Kesultanan Brunei, meski mulanya berminat menggabungkan Federasi, menarik kembali rencana penyatuan itu karena adanya penentangan dari sebagian penduduk, juga dalih tentang pembayaran royalti minyak dan status Sultan di dalam perencanaan penyatuan.
Tahun-tahun permulaan pembentukan atau kemerdekaan diganggu oleh konflik dengan Indonesia yang dicetuskan oleh Soekarno melalui Dwikora karena ketidak-sesuaian dengan laporan Sekretaris Jenderal PBB menyangkut pelanggaran Manila Accord dalam pembentukan Malaysia.
Dalam perjalanan federasi ini kemudian diikuti dengan keluarnya Singapura pada 1965 karena kembali adanya ketidak-sesuaian dengan Perjanjian Pembentukan Malaysia dengan dipicu oleh politik diskriminasi, dan pertikaian antar-ras di dalam Insiden 13 Mei pada 1969.
Filipina juga membuat pengakuan aktif terhadap Sabah dengan penyelesaian damai pada periode itu berdasarkan penyerahan sebagian wilayah Kesultanan Brunei, yakni bagian timur-utara kepada Kesultanan Sulu pada 1704. Pengakuan atas wilayah ini masih dilanjutkan hingga saat ini oleh pihak Filipina.
Setelah Insiden 13 Mei pada 1969, Kebijakan Ekonomi Baru yang kontroversial—upaya penaikan hasil bagi kue ekonomi bumiputra (pribumi, yang menyertakan sebagian besar orang Melayu, tetapi tidak selalu penduduk asli) dibandingkan dengan kelompok suku lainnya—diluncurkan oleh Perdana Menteri Abdul Razak.
Malaysia sejak saat itu memelihara keseimbangan politik kesukuan yang lunak, dengan sistem pemerintahan yang memadukan pertumbuhan ekonomi dengan kebijakan ekonomi dan politik yang mendukung keikutsertaan yang cepat dari semua ras.
Di antara tahun 1980-an dan pertengahan 1990-an, Malaysia mengalami pertumbuhan ekonomi yang berarti di bawah kepemimpinan perdana menteri keempat, Dr. Mahathir Mohamad.
Pada periode ini Malaysia mengalami lompatan dari ekonomi berbasis pertanian ke ekonomi berbasis manufaktur dan industri—terutama bidang komputer dan elektronika rumahan.
Pada periode ini juga, bentang darat Malaysia berubah dengan tumbuhnya beraneka mega-proyek. Proyek paling terkemuka adalah Menara Kembar Petronas (sempat menjadi gedung tertinggi di dunia), Bandar Udara Internasional Kuala Lumpur (KLIA), Lebuhraya Utara-Selatan, Sirkuit Internasional Sepang, Koridor Raya Multimedia (MSC), bendungan Pembangkit Listrik Tenaga Air Bakun, dan Putrajaya, pusat pemerintahan persekutuan baru.
Pada akhir tahun 1990-an, Malaysia diguncang oleh Krisis Finansial Asia 1997, juga tidak stabilnya politik yang disebabkan oleh penahanan Wakil Perdana Menteri Dato’ Seri Anwar Ibrahim. Terdapat pula tentangan dari kaum sosialis dan reformis, sampai kepada upaya pembentukan negara Islam.
Pada 2003, Mahathir, perdana menteri Malaysia yang paling lama menjabat, mundur dan digantikan oleh wakilnya, Abdullah Ahmad Badawi. Pemerintahan baru mengadvokasikan pandangan moderat negara Islam yang didefinisikan oleh Islam Hadhari.
Pada November 2007, Malaysia digoyang oleh dua unjuk rasa anti-pemerintah. Unjuk rasa Bersih 2007 sejumlah 40.000 orang dilaksanakan di Kuala Lumpur pada 10 November menganjurkan reformasi daerah pemilihan. Itu dipicu oleh dugaan-dugaan korupsi dan ketidaksesuaian di dalam sistem pemilihan di Malaysia yang condong kepada partai politik yang sedang berkuasa, Barisan Nasional, yang selalu memerintah Malaysia sejak kemerdekaan 1957.
Unjuk rasa lainnya dilakukan pada 25 November di ibu kota Malaysia dan dipimpin oleh HINDRAF. Penggerak unjuk rasa ini, Hindu Rights Action Force, melakukan protes berkenaan kebijakan yang tidak adil, mengutamakan suku Melayu. Jumlah peserta ditaksir antara 5.000 sampai 30.000.
Di kedua-dua kasus itu, pemerintah dan kepolisian berupaya menangani dan mencegah penculikan dari tempat kejadian.
Pada 16 Oktober 2008, HINDRAF dilarang karena pemerintah mengecap organisasi yang tidak terdaftar itu sebagai “ancaman bagi keamanan nasional” karena berusaha mendapatkan bantuan dan dukungan dari kelompok teroris. (Sumber: Wikipedia)