Oleh: Ahmad Fauzi*
Kita hidup di era penuh dengan kehampaan: bergerak hanya sebatas bergerak; bekerja hanya sekedar bekerja; mengejar dan mendapatkan kekuasaan tanpa tanggung jawab moral; terobos sana dan sini demi suksesi; mengikuti tren sesuai dengan frekuensi pribadi; tidak peduli dengan orang lain; hingga pada saatnya nanti mati dengan segenap penyesalan yang tiada arti.
Kita tak ubahnya seperti benda mekanis yang dituntut untuk memproduksi lalu akan dibuang apabila sudah rusak dan tak berarti.
Begitulah ketika kita mengalami disorientasi tujuan. Disorientasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kesamaran arah. Itulah yang terjadi pada kebanyakan kita.
Dewasa ini, hegemoni materialisme global yang masif membuat kita gamang untuk menentukan sebuah keputusan-keputusan yang tepat. Kita dirundung berbagai macam masalah dan tuntutan yang mengharuskan kita mengejar sesuatu yang tidak penting. Sesuatu yang lagi tren di luar langsung diadopsi tanpa melihat kultur dan sistem moral yang berlaku di tempat kita. Di sisi lain, kita terus dipompa untuk produktif, mengerjakan sesuatu dengan cepat, mendapatkan uang yang banyak hingga dituntut untuk merdeka secara finansial (financial freedom).
Hal ini memunculkan dua perilaku: Pertama, skeptis (ragu-ragu) dalam memutuskan semua tindakan; kedua, over confidence (terlalu percaya diri) sehingga menerobos norma-norma yang berlaku .
Dua kutub ekstrem ini akan terus memunculkan masalah hingga menghalangi terwujudnya tatanan sistem yang proporsional.
Gamang
Sebagian besar kita pernah atau hingga saat ini masih berada di zona gamang atau tidak tahu apa tujuan hidup sehingga membuat kita cenderung mengikuti apa yang dikatakan orang lain tanpa tebang pilih; tidak bisa menyelesaikan masalah yang dihadapi dan condong menghindarinya; terjebak di suatu kondisi di mana dirinya sadar atau tanpa sadar disetir oleh orang lain. Hal itu karena kita tidak memiliki pendirian yang kuat.
Sering kali sebagian dari kita mengikuti pendapat orang lain dengan perasaan tanpa mengukur kemampuan diri apakah layak untuk melakukan itu atau tidak. Karena suntikan-suntikan motivasi dari sang motivator atau mentor yang mungkin sedikit sama dengan tujuan kita lalu kita menerjang norma-norma berhubungan antar sesama hingga terjadinya perselisihan yang tidak menguntungkan dan konflik yang tidak penting. Langkah mundur ini dilakukan hanya sebatas untuk mencapai tujuan-tujuan personal kita.
Kadang kala kita terjebak dalam suatu kompetisi atau permainan-permainan tertentu agar bisa menguasai dan mendapatkan sesuatu, sehingga melupakan dasar awal yang menjadi tujuan kita secara personal dan tujuan manusia secara komunal. Kita jatuh pada kepentingan-kepentingan yang menjadikan kita manusia yang rakus dan oportunis. Berteman dan berhubungan antar sesama berdasarkan kepentingan perut dan syahwat kekuasaan semata. Kita gamang, gentayangan, dan pasti akan jatuh dalam angkara murka.
Meluruskan Tujuan
Literasi tentang eksistensi (keberadaan) diri sebagai manusia yang minim membuat kita goyah kala menghadapi situasi dan kondisi tertentu sehingga bergerak tanpa kesadaran.
Sebagai manusia kita pasti membutuhkan berbagai macam kebutuhan seperti sandang, pangan, dan papan. Kita wajib mendapatkannya. Namun yang menjadi masalah adalah ketika kita ingin mendapatkan kebutuhan-kebutuhan itu, kita menggunakan cara-cara yang tidak rasional yaitu dengan menghalalkan segala cara. Kita menerjang hukum-hukum Ilahi yang telah memberikan kita segala sesuatu. Kadang kala kita panik karena sulitnya mendapatkan kebutuhan-kebutuhan atau lebih tepatnya keinginan-keinginan yang tertancap di benak kita, sehingga kita menganggap tidak ada jalan lain selain mengambil hak orang lain, memperbudak saudara dan melakukan tindakan-tindakan yang tidak bermoral.
Meluruskan tujuan berarti meluruskan niat. Sebelum meluruskan tujuan, yang harus dilakukan adalah menetapkan tujuan dan itu harus dengan pengetahuan. Alasan kita harus memulai segala sesuatu harus dengan pengetahuan adalah agar kita tidak terombang-ambing oleh masalah-masalah yang mempengaruhi tujuan kita di masa mendatang. Banyak contoh kasus aktivis-aktivis yang baik yang semula bertujuan mulia, lalu terjun ke dunia politik dan terwarnai oleh dominasi sistem yang pragmatis sehingga membuatnya melupakan tujuan awal untuk mengabdikan diri kepada masyarakat. Konsekuensi yang didapatkan dari bergesernya tujuan itu adalah masalah hukum dan terkucilkan dari lingkungannya.
Terlalu banyak teori dan pertimbangan-pertimbangan juga akan menjadi masalah tersendiri yang menghasilkan kaburnya tujuan.
Yang dimaksud dengan pengetahuan (makrifah) adalah analisa yang terukur dalam menentukan tujuan dengan melihat kesiapan sumber daya manusia, menyusun sistem atau regulasi yang sehat, menetapkan kejelasan jadwal untuk mencapai tujuan merupakan langkah-langkah yang bisa dilakukan agar tujuan kita tetap lurus dan berkelanjutan.
Bagi kita yang saat ini sudah terlanjur menempati profesi tertentu, maka hendaknya memahami lebih dalam tujuan kita agar bisa berkiprah lebih luas dan bermanfaat bagi orang lain serta lingkungan sekitar.
Tujuan yang Berdampak pada Komunal
Ketahanan pangan yang lemah, harga barang dan jasa yang tidak stabil, kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin yang meningkat adalah grand desain yang diciptakan oleh kolonialisme/penjajah untuk mendapatkan manfaat dari suatu komunitas yang dijajahnya. Mereka memveto kebijakan-kebijakan suatu negara di berbagai aspek agar menguntungkan komunitasnya.
Begitu pula dalam lingkungan keseharian kita. Apabila dalam urusan-urusan pribadi kita lemah dan tidak stabil akan mudah dijajah oleh penjajah-penjajah kecil yang berada di lingkungan kita. Maka di situlah diperlukan independensi. Independensi bukan berarti mengekslusifkan diri dan tidak berhubungan dengan orang lain. Independensi di sini adalah bebas bersikap dan membangun kerja sama dengan siapa pun untuk mencapai tujuan bersama dalam asas kesetaraan.
Setelah mempraktekkan independensi maka secara otomatis seseorang atau perkumpulan bisa fokus mendorong tujuan yang berdampak positif bagi komunal. (*CEO Berita Alternatif)